Mengingat fakta materil mereka berbeda beda serta kurang adanya bukti maka gugatan class action mungkin bisa dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan judicial review terhadap pasal
75 UU Perasuransian. Mengapa hal ini musti dilakukan ?
Dalam UU Perasuransian pasal 75 pada redaksinya ditulis kata "setiap orang". Kira-kira redaksinya demikian, Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan informasi atau
memberikan informasi yang tidak benar dan atau menyesatkan kepada Pemegang Polis, tertanggung atau peserta sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat 2 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak lima milyar rupiah.
Redaksi kata SETIAP ORANG tersebut harus dijudicial review terlebih dahulu agar pihak yang bertanggungjawab dalam hal kesalahan informasi yang diberikan itu adalah perusahaan asuransi
bukan agen. Karena jika saat pengajuan gugatan tetap saja perusahaan tidak dapat dikenai tanggung jawab untuk dipidana denda karena redaksi pasal tersebut merujuk pada kata SETIAP ORANG.Â
Pasal-pasal yang menganggap bahwa perusahaan harus bertanggung jawab pasti mencantumkan tidak demikian redaksinya tapi SETIAP ORANG ATAU BADAN HUKUM.
Setelah mendapat putusan judicial review dari Mahkamah Konstitusi dan disetujui maka hasilnya dapat dipakai sebagai testimonium de auditu sebagai dasar kesamaan fakta melakukan gugatan
kelompok. Jadi putusan judicial review ini bisa menjadi benang merah dari berbagai fakta berbeda dari nasabah dan mantan nasabah asuransi.
Cara ini mempunyai kelemahan yaitu kesatu, belum tentu uji materinya disetujui oleh MK dan kedua sekalipun hasil judicial review bisa dijadikan bukti sebagai alasan kesamaan fakta tetap
saja preliminary hearing tentang penentuan kelas harus tergantung pada putusan hakim dan yang ketiga gugatan class action kebanyakan dalam ranah perdata.
2. Melalui mekanisme lembaga penyelesaian sengketa atau LAPS SJK
Penyelesaian melalui mekanisme ini sangat dimungkinkan namun menurut data pada situs LAPS SJK sendiri sejak lembaga penyelesaian sengketa ini dibentuk karena merupakan gabungan
lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dulu ada, lembaga ini baru pada tahap menerima laporan pengaduan saja namun belum sama sekali ada kasus yang ditangani.
Kasus kasus yang ada barulah kasus kasus yang sedang dikerjakan oleh lembaga-lembaga yang akan berkonsolidasi
dengan LAPS. Beda dengan dahulu ada BMAI atau Badan Mediasi Asuransi Indonesia.
Pertanyaannya adalah apakah LAPS SJK sanggup menangani kasus sebanyak ini yang menuntut penyelesaian cepat dan hanya ingin putusannya satu yaitu FULL REFUND?
Selain itu saya agak kawatir jika melihat daftar mediator dan arbiternya di situs LAPS SJK yang rata-rata hanya menguasai jenis asuransi konvensional atau asuransi syariah saja. Sedangkan unit link bukanlah asuransi konvensional tapi non konvensional yang menurut saya punya detail detail khusus yang unik yang tidak bisa dipelajari hanya dalam waktu sebentar saja.Â