Pasal 406 dari Undang-Undang Penerbangan dapat diterapkan dalam kasus Lion Air JT 601 ini. Pada pasal  406 ini terdapat frasa "setiap orang", yang berarti maskapai penerbangan sipil sebagai korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana pada pasal ini. Kemudian unsur kesalahannya adalah mengoperasikan pesawat udara yang tidak memenuhi standar kelaik udaraan.Â
Maskapai penerbangan pasti tahu pesawat mana saja yang  laik udara. Selain itu akibat dari mengoperasikan pesawat terbang yang tidak laik udara adalah membahayakan keselamatan dan keamanan yang dapat dijangkau oleh rasio manusia. Sehingga sebenarnya, pengoperasian pesawat udara yang tidak memenuhi standar kelaik udaraan dilakukan "dengan sengaja" sehingga unsur kesengajaan sudah terpenuhi.
 Unsur selanjutnya yang harus terpenuhi adalah akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut yaitu "kematian seseorang dan kerugian harta benda".Â
Pasal ini tidak memuat frasa "kecelakaan pesawat" sebagai sebab kematian seseorang tersebut, tetapi dapat dimengerti bahwa mengoperasikan pesawat yang tidak laik udara dan menimbulkan kematian seseorang tentulah karena terjadi karena unsure kesengajaan.
Mengenai pertanggungjawabnnya yang tertuang dalam pasal 441 ayat (2) Undang-Undang penerbangan menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana di bidang penerbangan dilakukan oleh suatu korporasi maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Artinya, dimungkinkan korporasi saja, pengurus saja, atau kedua-duanya.
Untuk sanksi pidananya dapat dilihat dalam Pasal 406 yaitu dihukum dengan pidana  penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah), jika mengoperasikan pesawat udara yang tidak memenuhi standar kelaikudaraan.
 Selain itu dalam Pasal 443 Undang-Undang N0. 1 Tahun 2009 menyebut bahwa selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditentukan pada pasal ketentuan pidana. Berarti, pasal 406 dijatuhkan kepada maskapai penerbangan sipil, selain pengurus dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). Kepada korporasi juga dibebankan pidana denda paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa pihak Maskapai Penerbangan yang lalai menjaga keselamatan penerbangan dan hak hidup penumpang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana walaupun selama ini kita lebih mengenal pertanggungjawaban secara perdata dan administratif dalam bentuk denda dan ganti kerugian. Pertanggungjawaban secara pidana ini memiliki kelebihan "efek jera" kepada maskapai penerbangan agar di lain waktu tidak secara sembrono mengoperasikan pesawat yang diduga mengalami kerusakan demi mengejar keuntungan, karena nyawa manusia taruhannya.
Kehilangan secara tiba-tiba dari keluarga korban tidak serta merta dapat diganti dengan uang, Beberapa diantara korban adalah bread winner atau penyokong nafkah keluarga, kiranya dengan gugatan secara pidana ini Maskapai Penerbangan seperti Lion Air dapat jera mengorbankan nyawa penumpang demi keuntungan ekonomi semata.
Referensi:
1. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46014750