Di sebuah ruangan dengan kaca sebagai dinding di satu sisi ruangan, beberapa orang gadis tengah melenggokan badannya kesana dan kemari. Dari cara mereka menari, orang pun dapat melihat, mereka bukan sembarang penari yang asal asalan.
"Bagaimana jika kita cukupkan untuk hari ini? ini sudah pukul 7 malam" ucap salah satunya. Yang ikut disetujui yang lain
"wah, tidak disangka sangka kita bisa sebagus ini, ini semua karena Alora" ucap yang lainnya
"Tentu saja, Alora adalah salah satu yang paling berbakat disekolah" timpal yang lainnya. Semua tertawa menyetujui diikuti wajah memerah dari orang yang namanya disebut sebut.
"Ah, tentu tidak. Kita sebagus ini karena kalian semua juga hebat" ucap gadis itu dengan senyum lebar.
Setelah perbincangan kecil itu mereka memilih untuk membubarkan diri dan kembali ke rumah masing masing. tidak berbeda dengan Alora, gadis muda itu telah sampai di rumah dengan tubuh yang tidak segar dan lelah. Saking lelahnya bahkan gadis itu mengabaikan sang ibu yang sudah menunggunya di depan pintu rumah.
"Alora, darimana saja kau? Kenapa baru pulang? Bukannya sekolah sudah selesai beberapa jam lalu?" tanya ibunya panjang lebar sambil mengikuti Alora yang masuk tanpa mempedulikannya.
"Menari" ucap gadis itu singkat tanpa ekspresi. Raut wajahnya seakan menandakan ia tidak tertarik dengan pembicaraan yang sedang berlangsung.
"Sekolah mu menghubungi ibu. Katanya kau tidak mengumpulkan tugas lagi" ucap sang ibu dengan raut wajah lemas. Karena sebenarnya, ini bukan yang pertama kali. Entah apa lagi yang harus dilakukan sang ibu agar bisa mengubah pemikiran anaknya yang kolot ini. hidupnya seolah olah dirancang hanya untuk menari dan menari. Selain menari, gadis itu tidak memiliki kehidupan lagi.
"Hmm, baiklah, akan ku kumpulkan lain kali" ucap gadis itu lalu beranjak pergi ke kamar. Setelah membersihkan diri, Alora membaringkan diri di ranjang nya. Baru saja 5 menit, pintunya sudah diketuk dan menampilkan seorang pria tinggi yang kemudian masuk ke kamarnya.
"Apalagi ini? kakak ingin menasihatiku juga?" tanya gadis itu dengan wajah malas.
"Harusnya aku yang bertanya begitu! Apalagi yang kau lakukan?" tanya kakaknya berdiri beberapa meter di depannya.
"Memang apa yang aku lakukan?" tanya gadis itu sambil memasang tampang tak bersalah.
"Jangan tunjukan tampang seolah tidak tau. Jika ibu kelihatan sedih seperti itu, berarti kau membuat masalah" ucap sang kakak sambil menyenderkan diri di dinding. Namun sayangnya gadis itu hanya bisa memutar bola matanya, bagaimana bisa ia membantah jika yang dikatakan kakaknya memang benar? Mereka terdiam selama beberapa waktu sampai sang kakak menghela nafas lelah.
"Dengarkan aku. Tidak ada satupun di keluarga yang meminta mu berhenti menari. Tapi paling tidak lakukan kewajibanmu. Jangan membuat semua orang khawatir" ucap sang kakak serius. Bukankah itu anugrah bagi Alora? Walaupun ia sudah kehilangan sosok ayah, namun gadis itu masih memiliki seorang ibu yang pengertian dan seorang kakak yang bijaksana. Tidak semua orang punya keluarga seperti itu. Namun sepertinya sifat baik dari ibu maupun kakaknya tidak menurun padanya. Bahkan gadis itu hanya mengangguk angguk sampai membuat kakaknya jengkel.
"Jangan hanya mengangguk angguk! Pikirkan ucapanku sebelum semuanya terlambat! Wah, gadis ini benar benar" ucap pria itu kesal sambil keluar dari kamar sang adik. Sementara Alora tertawa kecil.
-------------------
"Hey, dimana kau? Ini sudah jam 8 malam! Ibu menelpon ku berkali kali hanya karena mengkhawatirkanmu!" teriak orang di seberang telfon.
"Iya, iya, sebentar lagi aku sampai, aku sedang...." ucapan gadis itu terhenti. Terdengar suara berdentum dan teriakan orang orang. Telepon genggam gadis itu terlempar, sedangkan tubuhnya tergelimpang di tengah jalan. Rasanya badannya seolah tak bisa digerakkan lagi, rasanya sungguh sakit. Beberapa bagian tubuhnya mati rasa. Tak lama kemudian pandangannya mengabur dan matanya menutup
-------------------
Hal yang pertama kelihatan hanyalah ruang putih yang diisi dengan pria berjas putih dan seorang wanita paruh baya. Gadis itu melenguh, kepalanya masih pusing.
"Alora? Kau tak apa?" tanya wanita paruh baya itu mendekatinya.
"Ibu?" ucapnya sambil memicingkan mata. Sementara sang ibu hanya tersenyum, mencoba menenangkannya. Namun kini matanya beroleh kepada sosok pria berjas putih di sebelah ibunya.
"Aku kenapa, dok?" tanya gadis itu lagi. sang dokter sempat memandang sang ibu sebentar sebelum bicara.
"Kamu mengalami kecelakaan. Tidak ada luka serius di bagian kepala dan badan, namun kakimu mengalami patah di beberapa bagian, sehingga tidak bisa di gerakkan untuk beberapa lama. Jika pun sudah pulih, tidak boleh dipakai untuk aktivitas berat seperti menari" ucap sang dokter.
Gadis itu terdiam, ia mengangguk dan tersenyum pada sang dokter sambil mengatakan terima kasih. Sementara sang ibu berbicara dengan dokter diluar, meninggalkan Alora sendirian. Gadis itu merenung. Tentu saja dia sedih, sangat sedih sebenarnya. Mendengar kenyataan bahwa ia tak bisa menari lagi membuatnya terpukul.
Namun disaat seperti ini gadis itu juga berpikir. Keadaan seperti inilah yang selalu dikhawatirkan ibunya, keadaan seperti Inilah yang dibicarakan kakaknya beberapa hari lalu. Inilah keadaan yang dinamakan ketika semuanya sudah "terlambat". Seharusnya gadis itu langsung mengubah prilakunya setelah dinasihati, namun walaupun tahu yang benar, tapi gadis itu tetap melakukan apa yang hanya ia mau, hal hal yang kelihatan mudah untuknya.
Gadis itu tersenyum miris, "karena pada akhirnya semuanya hanyalah penyesalan" ,pikirnya. Hanya saja, paling tidak pola pikirnya telah berubah, dan paling tidak kali ini ia telah belajar menghargai kepedulian orang orang di sekitarnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI