Dimas adalah seorang anak disabilitas yang periang. Dimas nama panggilannya, nama sebenarnya tercatat dalam akta Kelahiran adalah Budiman. Ayahnya mengganti namanya menjadi Dimas, karena saat namanya Budiman, sering sakit-sakitan, dan sering dibawa ke dokter dan klinik.
Ayahnya takut Dimas kebanyakan makan obat jadi ayahnya berpikir mungkin nama Budiman terlalu berat untuk anaknya sehingga ayahnya mengganti namanya menjadi Dimas. Sejak diberi nama Dimas, dia jarang sakit-sakitan.Â
Dimas saat ini sudah berusia 30 tahun dan ayahnya sudah berusia 70 tahun dan masih sehat, yang merawat Dimas sejak ditinggalkan oleh ibunya.
Dimas yang berusia 30 tahun saat ini, hanya mampu berdiri dengan ditopang oleh ayahnya, dan tidak mampu berbicara. Kita ketahui bahwa disabilitas adalah keterbatasan pada tubuh maupun pikiran yang mengakibatkan pengidapnya menjadi sulit melakukan aktivitas sehingga membutuhkan bantuan orang lain.Â
Dimas lahir di kampung, ayahnya tidak melihatnya karena ayahnya bekerja di Jakarta. Ayahnya baru memegang dan melihat Dimas saat berusia 40 hari.
Saat ayahnya pertama kali melihat Dimas, dalam hatinya berkata, anak saya kenapa botak ya, rambutnya jelek? Tetapi ayahnya tetap menyayanginya hingga sekarang.
Setelah Dimas lahir ayahnya membawa keluarganya untuk tinggal di Jakarta. Dimas lahir tahun 1994 dan adiknya lahir tahun 1996. Mamanya meninggalkan mereka bersama anak keduanya yang sehat, sementara Dimas ditinggal bersama dengan ayahnya. Ayahnya pun pasrah saja ditinggal oleh mamanya, mereka tidak punya masalah tetapi mamanya pergi saja meninggalkannya.Â
Apakah Dimas awalnya disabilitas?
Menurut pemaparan ayahnya, Dimas lahir normal, bisa jalan normal pada usia 15 bulan. Hanya saat Dimas sakit dan demam, hingga 40 derajat celcius, istrinya memanggil tukang urut.
Istrinya berasal dari kampung, jadi kurang mengerti, mungkin pemahamannya kalau demam ya diurut, jadi pada saat Dimas demam tinggi dan kejang dia diurut sama tukang urut.
Nah, Dimas makin kejang, akhirnya dibawa ke RS Sukula Warakas, Tanjung Priok, Jakarta. Waktu itu menghabiskan uang 400 ribu dan uang sebanyak itu pada tahun 1996 masih besar buat ayah Dimas.
Ayah Dimas terus berjuang agar Dimas sehat dan untuk mencukupi biaya rumah sakit dan biaya hidup sehari-hari.Â
Sejak kecil ayahnya rajin membawa Dimas jalan-jalan. Dimas duduk di kursi roda dan ayahnya mendorong dan menjaganya melewati jalan raya. Mereka jalan pagi hanya depan rumahnya saja dengan duduk di kursi roda.
Motorik Dimas lambat, kalau dipanggil sulit untuk menangkap, sulit untuk mencerna dan tidak langsung konek. Memorinya bisa nangkap umur 13 tahun.
Saat sudah usia dua puluhan Dimas mulai dapat menggerakkan tubuhnya, dipapah berjalan karena tulang kakinya tidak dapat kuat untuk menopang tubuhnya.Â
Sebelum Dimas demam tinggi dan kejang-kejang ayahnya bermimpi buruk. Dari pengakuannya diia melihat serat daun nanas, serat nenas ada di tengah sawah dan kebaret, setelah itu dia bermimpi lagi, seluruh badan Dimas ditaburin bedak agak putih badannya, lalu bermimpi ayahnya masak pagi hari sorenya nasinya sudah basi.
"Kenapa dengan mimpi saya?" Hati ayahnya tidak tenang, dia bertanya-tanya, dan setelah beberapa hari, terjadilah peristiwa Dimas sakit demam tinggi.
Bagaimana mereka bertahan hidup? Sementara Dimas harus dijaga terus karena disabilitas.
Menurut penuturan ayah Dimas, awalnya saat ayahnya masih muda, dia menjual bakmi di dekat gereja Katolik Trinitas Cengkareng dan laku. Saat Dimas ditinggal oleh ibunya, mereka pindah ke Cengkareng, Jalan Fajar Baru Selatan. Saat itu ayah Dimas berjualan rokok keliling di Puri Agung.
Dimas kecil juga ikut berjualan, dia duduk di kursi roda dan ayahnya berjualan rokok. Banyak yang membeli rokok orang-orang Chinese, pemilik-pemilik counter handphone dan orang-orang di sekitar Puri Agung.
Saat ayahnya berjualan para pembeli tidak mau menerima uang kembalian rokok, jadi ayahnya merasa tidak enak hati, dia tidak mau ada sangkaan nantinya dia jualan hanya formalitas saja, masa beli kembaliannya tidak diambil, jadi rokoknya masih banyak, uangnya sudah penuh.
"Jadi besoknya saat kita jualan, lewat counternya, jadi malu hati. Karena itu saya cari profesi lainnya, yaitu memulung," begitulah penuturan ayah Dimas.Â
Dia menuturkan lagi, "Sebenarnya tidak apa-apa ya mba seperti itu?"
"Iya, pak," jawabku, "Kan, banyak orang juga tergerak hati untuk memberi pak, bersedekah juga kan amal ibadah pak.
"Iya, mba", jawab ayah Dimas
"Oh... iya, saya ingat mba, tetapi saya tidak tahu mba siapa. Saya ingat sebelum pandemi ya, sekitar lima atau enam tahun lalu mba kasih saya duit segepok. Dalam hati saya, 'Waduh banyak sekali'. Saya ingat betul itu, di dekat tukang buah dingin, daerah RSUD Cengkareng, mbanya langsung pergi".
"Iya, benar pak," kataku.
"Mba memberi dengan tangan kanan tetapi tidak diketahui tangan kiri".
"Iya pak, saya memang tidak ingin dikenal, sampai sekarang saja bapak tidak mengenal saya bukan?"
"iya, mba, saya tidak kenal mba, mba pakai masker", kata si bapak.
Sebelum saya ke rumah bapak yang ini, saya sudah pernah ke rumah bapak yang di belakang beberapa tahun yang lalu," kataku.
"Oh saya tidak ingat mba" kata bapak itu.
"Iya banyak yang bapak temui mungkin orang-orang seperti saya, kalau saya kan memang dulu hampir tiap bulan memberi sama bapak, walau bapak tidak kenal saya, biasanya saya memberi dengan kantong plastik, dan saya memberinya ketika bapak mulung di area RSUD Cengkareng dan Mall Taman Palem, saya naik motor dan pakai helm. Saya memang sengaja pak pakai helm, agar bapak tidak kenal saya".
"Iya mba, saya lupa, saya tidak ingat lagi," katanya.
"Iya pak, karena saya langsung pergi setelah bapak terima," kataku.
"Iya, mba, memberi dengan tangan kanan tanpa diketahui tangan kiri," kata si bapak.
Ayahnya Dimas adalah seorang pemulung, biasanya mengutip sampah, botol-botol mineral mulai dari jam satu siang dan pulang jam lima sore untuk dijual. Penghasilan per hari sekitar Rp 25.000 hingga Rp 50.000 paling tinggi, kebanyakan Rp 25.000 kadang dipungut langsung jual, tetapi kadang karena ada lahan di belakang rumahnya jadi ayah Dimas mengumpulkan barang rongsokannya baru dijual.
Daerah tempat memulung bapak dan Dimas adalah area sekitar jalan Rumah Sakit Umum Cengkareng, dulu Hotel Aston, Mall Taman Palem dan kembali ke rumah.
Mereka setiap hari memulung. Ayahnya selalu membawa Dimas setiap hari dengan duduk di kursi roda. Ayahnya mendorong Dimas melewati jalan-jalan tersebut.
Saat kami ngobrol, terlihat Dimas menonton sinetron di HP-nya. Dia berteriak-teriak, sayapun bingung, tetapi ayahnya melihat tontonan anaknya
"Oh... itu artinya anaknya digotong dibawa ke Rumah Sakit dalam sinetron itu. Ada beberapa bahasa isyarat dia yang sama," kata ayah Dimas.Â
Saat saya menanyakan apakah ada bantuan tiap bulan dari pemerintah. Ayah Dimas menjawab ada dapat jawab bapak tersebut.
"Awalnya saya menerima Rp 600.000 tetapi sekarang jadi Rp 300.000, dari Bansos seperti beras dapat juga. Kalau dari RT/RW ada kartu untuk penebus beras, namanya KKS. KKS dapat sekali dua bulan jumlahnya Rp 200.000 tadinya Rp 400.000," katanya.
KKS adalah Kartu Keluarga Sejahtera adalah kartu yang diterbitkan oleh pemerintah untuk memberikan bantuan sosial kepada keluarga kurang mampu atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).Â
Ayah Dimas adalah orang yang sangat tangguh, bertanggungjawab dan penuh kasih sayang kepada Dimas.
Semoga sehat, umurnya panjang dan diberikan kemudahan rezeki. Kita banyak belajar dari ayah Dimas yang penuh kasih sayang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H