Di sisi lain, warga Kampung Pulo setuju dan mendukung kebijakan normalisasi, dengan konsekuensi mereka harus direlokasi sementara. Namun, dalam pikiran mereka, hak atas tanah itu tetap menjadi miliknya mengingat mereka adalah pemukim sah atau legal—sesuai dengan bukti-bukti surat sejenis girik, dan lain sebagainya itu. Dan rumah susun baru yang akan dibangun pun bukanlah jenis Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa), seperti usulan sepihak Ahok, tetapi milik atau Rumah Susun Milik (Rusunami).
Perbedaan jenis rumah susun merupakan masalah ikutan dari konsekuensi siapa pemilik hak tanah tersebut. Jika masyarakat diakui hak milik tanah, maka jenis Rusunami yang akan dibangun, tetapi jika tanah tersebut milik negara yang hak kelolahnya dimiliki Pemda DKI Jakarta, maka jenis Rusunawa lah yang dibangun. Yang satu harus menyewa (hak pakai), sedangkan yang satunya lagi adalah hak milik. Tentu warga juga tahu harus memilih yang mana.
Akan tetapi, niat baik tersebut tidak disambut dengan elegan oleh gubernur Ahok. Karena memiliki agenda lain (menyewakan rumah susun: berdagang?), dengan syarat menguasai tanah tersebut, Ahok lantas membuang wacana ke media—dan kemudian serta merta diamini oleh sebagian kelompok masyarakat—bahwa warga Kampung Pulo itu mendiami tanah milik negara. Karena itu, Pemda DKI Jakarta dilegitimasi berhak menguasainya, dan menggusur mereka yang mendudukinya. Padahal, secara normatif, klaim atau tuduhan Ahok tidak berdasar, masih harus dibuktikan dulu di pengadilan. Dan karena Ahok yang menuduh, maka beban pembuktian ada padanya. Ahok harus mampu menunjukan bahwa Pemda DKI Jakarta lebih berhak, dibandingkan dengan warga yang telah lebih dulu menduduki Kampung Pulo sejak tahun 1930-an—sebelum Ahok lahir dan Indonesia merdeka, serta bisa dibuktikan dengan surat-surat sejenis girik, petuk pajak bumi, jual beli di bawah tangan, dan verponding Indonesia. Tetapi hingga kini belum ada keputusan pengadilan terkait sengketa kepemilihan lahan tersebut.
Pengakuan atas hak milik tanah merupakan hal mendasar dari konflik ini. Kalau hak tanah menjadi milik warga, maka rumah susun di atasnya adalah rumah susun jenis hak milik, bukan sewa. Namun, jika tanah tersebut adalah milik negara dikelola Pemda DKI Jakarta, maka status rumah susun akan berbentuk sewa dan milik Pemda DKI Jakarta. Dalam konteks itu, demi memuluskan ambisi dan keinginan Ahok, maka pertama-tama warga harus dicap/dianggap ilegal terlebih dahulu biar mereka dianggap tidak berhak atas tanah. Dengan demikian, rumah susun baru di Kampung Pulo pun bisa disewakan oleh Pemda DKI Jakarta, bukan menjadi hak milik warga. Ahok juga bahkan mewacanakan hanya akan memberikan Rusunawa tersebut kepada warga yang memiliki sertifikat. Kepada yang tidak bersertifikat, akan diberikan Rusunawa yang lain. Ini sesungguhnya kebijakan jahat kepada warga yang belum berkesempatan mengubah atau mengkonversi surat-surat sejenis girik ke bentuk sertifikat. Mereka lantas akan ke mana? Mereka akan “diusir” secara halus dari Kampung Pulo dengan menempati rumah susun di wilayah lain, dan atau harus keluar dari Jakarta!
Ironinya, di saat penyelesaian sengketa atas status tanah tersebut belum dilakukan, baik secara hukum dan dialog, penggusuran sepihak sudah dilaksanakan. Ketika rumah warga sudah dihancurkan, dan tanah mereka sudah “dirampas”, lalu wargalah yang disuruh ke ranah hukum. Ini tindakan yang tidak logis dan terbalik-balik. Ahok lah yang seharusnya ke ranah hukum, dan sesudah itu, barulah ada tindakan lain dilakukan. Silahkan gusur jika memang Pemda DKI Jakarta yang dimenangkan. Tetapi jika warga yang menang, Pemda DKI Jakarta juga harus siap mundur.
Akan tetapi meski memiliki surat-surat yang bisa menunjukan kepemilikan, warga lebih memilih jalur dialog dan diselesaikan secara damai. Proses hukum dipandang tidak relevan dalam menghadapi sengketa atas tanah tersebut. Karena pasti akan membuang banyak energi dan masalah menjadi berlarut. Apalagi, warga juga memiliki niat baik yang sama antara warga dan Pemda DKI Jakarta untuk menata ulang pemukiman agar lebih sehat dan tidak menjadi sebab banjir. Oleh karena itu, KCM lantas menjadi inisiator guna menjadi fasilitator untuk membangun komunikasi antara warga dan Pemda DKI Jakarta. Pada masalah normalisasi dan relokasi sementara, kedua pihak telah bersepakat. Namun, pada soal kepemilikan atau hak atas tanah dan jenis rumah susun (sewa atau milik) itulah, yang nampaknya masih belum terselesaikan, sehingga mendapat protes dari sebagian warga ketika proses penggusuran sepihak itu dilakukan.
Makna tanah
Tanah, seluas apa pun, adalah sumberdaya penting bagi setiap kelompok sosial masyarakat. Tanah berperan signifikan bagi masyarakat dalam mengembangkan dan mempertahankan hidup. Di atas tanah kehidupan dikreasikan. Manusia tidak bisa lepas dari ikatannya terhadap tanah. Mereka yang tidak memiliki tanah, secara otomatis kehilangan berbagai potensi manfaat atas tanah dan kesempatan-kesempatan atasnya.
Tanah bagi sebagian masyarakat kita—utamanya ekonomi mapan—adalah sebatas komuditas. Tidak lebih dari itu. Masalahnya berbeda bagi sebagian masyarakat lain, yang menempatkan tanah sebagai bagian integral dari dirinya. Mereka melihat tanah sebagai identitas. Kehilangan tanah adalah sesuatu yang menyakitkan. Apalagi jika di atas tanah itu sudah terbentuk berbagai kepentingan dan bentuk solidaritas, seperti kepentingan ekonomi, ikatan sosial, dan budaya. Tentu tanah akan lebih memiliki makna lagi bagi individu dan komunitas tersebut.
Pada konteks kepemilikan tanah sebagai modal ekonomi, mereka yang tidak mempunyai tanah memiliki potensi lebih besar untuk menjadi miskin dan jatuh ke dalam jurang kemiskinan, belajar dari konflik tanah di Indonesia. Apalagi, jika mereka juga minus dalam modal sosial (jaringan sosial), modal simbolik (berpendidikan rendah), dan modal ekonomi lainnya. Apa lagi yang bisa diandalkan masyarakat untuk bertahan dan mengembangkan hidupnya, jika dalam kepemilikan modal di luar tanah sudah tidak dimiliki, lalu modal mereka atas tanah juga ikut dirampas? Tentu yang terjadi adalah proses pemiskinan yang akan kian menengelamkan mereka. Masyarakat yang kehilangan hak penguasaan atas tanah akan semakin terpuruk secara ekonomi. Itu artinya, negara memang sudah seharusnya ikut terlibat dalam menyediakan hak warga atas tanah yang sesuai dengan amanat konstitusi, sehingga tidak membuat mereka kian miskin, dan bukan sebaliknya: merampas dan mengusir mereka dari tanah yang mereka telah kuasai.
Sepintas, masyarakat Kampung Pulo seakan lebih dimanusiakan melalui relokasi dan memberikan rumah susun sepetak, dan dengan berbagai fasilitas. Tetapi apa gunanya mendapatkan semua itu, jika tidak menjadi hak milik dan sebatas hak pakai (sewa), dibandingkan dengan memilikinya sendiri?