Mohon tunggu...
R. Graal Taliawo
R. Graal Taliawo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Asli orang Halmahera Selatan-Maluku Utara | Minat "OTAK-ATIK" STATUS QUO | SAYA MENGHARGAI HAK BERKEYAKINAN & MENDUKUNG KEBEBASAN BERAGAMA | MENOLAK SISTEM EKONOMI KOMPETISI SEHAT | Suka makan Nasi Kucing & minum Teh Hangat Manis | www.graaltaliawo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Kampung Pulo: Ahok Berebut Dua Hak Milik

26 Agustus 2015   10:24 Diperbarui: 26 Agustus 2015   10:24 3966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Ahok, Gubernur DKI Jakarta, kini mendapat sorotan. Kali ini, Ahok menjadi perbincangan terkait relokasi, penggusuran, peminggiran, dan atau pengusiran warga Kampung Pulo ke Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Jatinegara Barat dari tanah mereka. Kebijakan sang gubernur itu menimbulkan peolemik dari berbagai kalangan.

Bagi kelompok yang mendukung, warga itu membandel, maka layak dipaksa. Mereka menyetujui cara Ahok yang pakai “tangan besi” untuk memindahkan. Ada juga yang mendukung pemindahan dengan dalih pemukiman Kampung Pulo itu ilegal karena menduduki tanah yang sudah dikelolah pemerintah/tanah bebas (lahan nganggur) atau biasa disebut tanah negara, warga tidak memiliki sertifikat hak milik “ala” Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sebagian lagi memuji sikap keras Ahok itu karena Kampung Pulo dipandang sebagai lokasi banjir dan bahkan sebagai salah satu penyebab utama banjir. Apalagi, ketika mereka memandang “solusi” yang ditawarkan Ahok, yakni fasilitas Rusunawa Jatinegara, mereka seakan kian mantap dengan posisinya itu. Bahkan, mereka menyebut Ahok sedang memanusiakan orang Kampung Pulo. Ahok justru membuat mereka bermartabat, sebab memindahkan warga ke tempat bebas banjir, dan dengan fasilitas yang tergolong “mewah”. Itu kata mereka.

Namun, ada yang berkeberatan dengan kebijakan yang dianggap kasar dan tidak demokratis itu. Mereka  menolak cara-cara Ahok yang melakukan tindakan kasar memaksa warga untuk pindah, padahal ruang dialog sesungguhnya masih terbuka, mengingat sebagian besar warga menyetujui relokasi. Mereka juga menolak sikap arogansi Ahok yang menyebut pemukiman warga itu ilegal, mengingat surat-surat legal yang menunjukan kepemilikan adat, sejenis girik, petuk pajak bumi, jual beli di bawah tangan, dan verponding Indonesia dan lain sebagainya dimiliki warga, yang secara konstitusional diakui sah dalam UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 Pasal 3 sebagai bukti kepemilikan—yang pasca pemberlakuan UU tersebut, tinggal  diubah/dikonversi bentuknya ke dalam rupa sertifikat hak milik “ala” BPN. Yang jadi persoalan, selama ini BPN dianggap menyusahkan warga dalam mengurus proses konversi tersebut. Bahkan kalaupun bisa, mereka harus mengeluarkan dana sebesar 30 juta untuk mengurus sertifikat. Apakah warga akan mampu jika harus membayar sebesar itu?

Perebutan hak milik

Jika mencermati diskusi tentang Kampung Pulo melalui media dan juga beberapa tayangan diskusi di youtube antara Ahok dengan Komunitas Ciliwung Merdeka (KCM) pada 21 Juli 2015 dan antara KCM, perwakilan warga, dan Ahok pada 04 Agustus 2015, kita segera bisa menarik benang merah basis utama konflik yang sedang terjadi ini.

Warga setuju dengan kebijakan normalisasi sungai. Artinya, warga juga memahami bahwa masalah banjir akan sedikit terselesaikan dengan penataan ulang Kampung Pulo. Bukankah dalam soal ini antara warga dan gubernur telah mendapat titik temu? Jawabnya, Ya! Lalu mengapa sebagian warga melakukan perlawanan ketika proses pengusuran terjadi?

KCM telah mengajukan usulan bahwa penataan Kampung Pulo bisa dilakukan secara komprehensif, dimana kelak warga tetap bisa tinggal di lokasi, namun masalah banjir juga bisa teratasi. KCM sudah siapkan desain pemukiman yang mereka sebut, “KAMPUNG SUSUN BERBASISKAN KOMUNITAS SEBAGAI SITUS BUDAYA KEANEKARAGAMAN.” Karena dalam KCM juga terdiri dari orang-orang yang ahli di bidang tata kota, arsitek, dan lain sebagainya. Ahok pada pertemuan 21 Juli 2015 telah menyatakan setuju dengan usulan tersebut. Desain pemukiman Rumah Susun akan disediakan oleh teman-teman KCM, dan Pemda DKI Jakarta yang akan membangunnya menggunakan dana APBD. Itu komitmen Ahok ketika pertemuan dilakukan. Dalam konteks itu, Rusunawa Jatinegara ditempatkan sebagai tempat transit sementara—sekali lagi, Rusunawa Jatinegara hanyalah transit—bagi warga, sebelum akan balik lagi ke Kampung Pulo. Saat desain pemukiman baru ramah lingkungan dan bersahabat dengan air tersebut tuntas direalisasikan, warga Kampung Pulo akan kembali lagi bermukim di sana.

Namun, sampai di situ saja ternyata masalah yang fundamental terkait hak milik atas tanah di Kampung Pulo belum tersentuh, termasuk status hak milik Rumah Susun baru di Kampung Pulo itu. Ketika Kampung Pulo kembali dibangun, tanah tersebut milik siapa? Apakah akan tetap menjadi milik warga dengan difasilitasi pemerintah untuk dibuatkan sertifikat “ala” BPN didasarkan pada bukti-bukti sejenis girik, dan bukti lain, ataukah serta merta akan menjadi milik Pemda DKI Jakarta? Dan siapa juga pemilik hak milik rumah susun tersebut?

Ternyata, Ahok juga “berminat” dan hendak menguasai tanah tersebut sebagai Hak Milik Pemda DKI Jakarta. Dengan berbagai dalih, termasuk menuduh secara kejam bahwa warga itu ilegal karena tidak memiliki sertifikat ala BPN, Ahok lantas bersuara lantang memulai perang “merebut” hak tanah dari warga. Di sinilah letak masalah itu sesungguhnya.

Ahok mengajukan usulan dibarengi klaim sepihak bahwa karena warga menduduki tanah negara, maka ketika rumah susun Kampung Pulo dibangun, maka warga hanya akan diberikan hak pakai (sewa), bukan hak milik. Ahok memilih membangun jenis Rumah Susun Sewa! Warga tidak memiliki hak milik atas tanah juga rumah susun tersebut. Bahkan, Rusunawa yang akan dibangun juga hanya diperuntuhkan bagi masyarakat yang memiliki sertifikat hak milik tanah. Terhadap masyarakat yang tidak memiliki sertifikat tanah, mereka akan diberikan fasilitas Rusunawa di tempat yang lain.

Di sisi lain, warga Kampung Pulo setuju dan mendukung kebijakan normalisasi, dengan konsekuensi mereka harus direlokasi sementara. Namun, dalam pikiran mereka, hak atas tanah itu tetap menjadi miliknya mengingat mereka adalah pemukim sah atau legal—sesuai dengan bukti-bukti surat sejenis girik, dan lain sebagainya itu. Dan rumah susun baru yang akan dibangun pun bukanlah jenis Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa), seperti usulan sepihak Ahok, tetapi milik atau Rumah Susun Milik (Rusunami).

Perbedaan jenis rumah susun merupakan masalah ikutan dari konsekuensi siapa pemilik hak tanah tersebut. Jika masyarakat diakui hak milik tanah, maka jenis Rusunami yang akan dibangun, tetapi jika tanah tersebut milik negara yang hak kelolahnya dimiliki Pemda DKI Jakarta, maka jenis Rusunawa lah yang dibangun. Yang satu harus menyewa (hak pakai), sedangkan yang satunya lagi adalah hak milik. Tentu warga juga tahu harus memilih yang mana.

Akan tetapi, niat baik tersebut tidak disambut dengan elegan oleh gubernur Ahok. Karena memiliki agenda lain (menyewakan rumah susun: berdagang?), dengan syarat menguasai tanah tersebut, Ahok lantas membuang wacana ke media—dan kemudian serta merta diamini oleh sebagian kelompok masyarakat—bahwa warga Kampung Pulo itu mendiami tanah milik negara. Karena itu, Pemda DKI Jakarta dilegitimasi berhak menguasainya, dan menggusur mereka yang mendudukinya. Padahal, secara normatif, klaim atau tuduhan Ahok tidak berdasar, masih harus dibuktikan dulu di pengadilan. Dan karena Ahok yang menuduh, maka beban pembuktian ada padanya. Ahok harus mampu menunjukan bahwa Pemda DKI Jakarta lebih berhak, dibandingkan dengan warga yang telah lebih dulu menduduki Kampung Pulo sejak tahun 1930-an—sebelum Ahok lahir dan Indonesia merdeka, serta bisa dibuktikan dengan surat-surat sejenis girik, petuk pajak bumi, jual beli di bawah tangan, dan verponding Indonesia. Tetapi hingga kini belum ada keputusan pengadilan terkait sengketa kepemilihan lahan tersebut.

Pengakuan atas hak milik tanah merupakan hal mendasar dari konflik ini. Kalau hak tanah menjadi milik warga, maka rumah susun di atasnya adalah rumah susun jenis hak milik, bukan sewa. Namun, jika tanah tersebut adalah milik negara dikelola Pemda DKI Jakarta, maka status rumah susun akan berbentuk sewa dan milik Pemda DKI Jakarta. Dalam konteks itu, demi memuluskan ambisi dan keinginan Ahok, maka pertama-tama warga harus dicap/dianggap ilegal terlebih dahulu biar mereka dianggap tidak berhak atas tanah. Dengan demikian, rumah susun baru di Kampung Pulo pun bisa disewakan oleh Pemda DKI Jakarta, bukan menjadi hak milik warga. Ahok juga bahkan mewacanakan hanya akan memberikan Rusunawa tersebut kepada warga yang memiliki sertifikat. Kepada yang tidak bersertifikat, akan diberikan Rusunawa yang lain. Ini sesungguhnya kebijakan jahat kepada warga yang belum berkesempatan mengubah atau mengkonversi surat-surat sejenis girik ke bentuk sertifikat. Mereka lantas akan ke mana? Mereka akan “diusir” secara halus dari Kampung Pulo dengan menempati rumah susun di wilayah lain, dan atau harus keluar dari Jakarta!  

Ironinya, di saat penyelesaian sengketa atas status tanah tersebut belum dilakukan, baik secara hukum dan dialog, penggusuran sepihak sudah dilaksanakan. Ketika rumah warga sudah dihancurkan, dan tanah mereka sudah “dirampas”, lalu wargalah yang disuruh ke ranah hukum. Ini tindakan yang tidak logis dan terbalik-balik. Ahok lah yang seharusnya ke ranah hukum, dan sesudah itu, barulah ada tindakan lain dilakukan. Silahkan gusur jika memang Pemda DKI Jakarta yang dimenangkan. Tetapi jika warga yang menang, Pemda DKI Jakarta juga harus siap mundur.

Akan tetapi meski memiliki surat-surat yang bisa menunjukan kepemilikan, warga lebih memilih jalur dialog dan diselesaikan secara damai. Proses hukum dipandang tidak relevan dalam menghadapi sengketa atas tanah tersebut. Karena pasti akan membuang banyak energi dan masalah menjadi berlarut. Apalagi, warga juga memiliki niat baik yang sama antara warga dan Pemda DKI Jakarta untuk menata ulang pemukiman agar lebih sehat dan tidak menjadi sebab banjir. Oleh karena itu, KCM lantas menjadi inisiator guna menjadi fasilitator untuk membangun komunikasi antara warga dan Pemda DKI Jakarta. Pada masalah normalisasi dan relokasi sementara, kedua pihak telah bersepakat. Namun, pada soal kepemilikan atau hak atas tanah dan jenis rumah susun (sewa atau milik) itulah, yang nampaknya masih belum terselesaikan, sehingga mendapat protes dari sebagian warga ketika proses penggusuran sepihak itu dilakukan.

Makna tanah

Tanah, seluas apa pun, adalah sumberdaya penting bagi setiap kelompok sosial masyarakat. Tanah berperan signifikan bagi masyarakat dalam mengembangkan dan mempertahankan hidup. Di atas tanah kehidupan dikreasikan. Manusia tidak bisa lepas dari ikatannya terhadap tanah. Mereka yang tidak memiliki tanah, secara otomatis kehilangan berbagai potensi manfaat atas tanah dan kesempatan-kesempatan atasnya.

Tanah bagi sebagian masyarakat kita—utamanya ekonomi mapan—adalah sebatas komuditas. Tidak lebih dari itu. Masalahnya berbeda bagi sebagian masyarakat lain, yang menempatkan tanah sebagai bagian integral dari dirinya. Mereka melihat tanah sebagai identitas. Kehilangan tanah adalah sesuatu yang menyakitkan. Apalagi jika di atas tanah itu sudah terbentuk berbagai kepentingan dan bentuk solidaritas, seperti kepentingan ekonomi, ikatan sosial, dan budaya. Tentu tanah akan lebih memiliki makna lagi bagi individu dan komunitas tersebut.

Pada konteks kepemilikan tanah sebagai modal ekonomi, mereka yang tidak mempunyai tanah memiliki potensi lebih besar untuk menjadi miskin dan jatuh ke dalam jurang kemiskinan, belajar dari konflik tanah di Indonesia. Apalagi, jika mereka juga minus dalam modal sosial (jaringan sosial), modal simbolik (berpendidikan rendah), dan modal ekonomi lainnya. Apa lagi yang bisa diandalkan masyarakat untuk bertahan dan mengembangkan hidupnya, jika dalam kepemilikan modal di luar tanah sudah tidak dimiliki, lalu modal mereka atas tanah juga ikut dirampas? Tentu yang terjadi adalah proses pemiskinan yang akan kian menengelamkan mereka. Masyarakat yang kehilangan hak penguasaan atas tanah akan semakin terpuruk secara ekonomi. Itu artinya, negara memang sudah seharusnya ikut terlibat dalam menyediakan hak warga atas tanah yang sesuai dengan amanat konstitusi, sehingga tidak membuat mereka kian miskin, dan bukan sebaliknya: merampas dan mengusir mereka dari tanah yang mereka telah kuasai.   

Sepintas, masyarakat Kampung Pulo seakan lebih dimanusiakan melalui relokasi dan memberikan rumah susun sepetak, dan dengan berbagai fasilitas. Tetapi apa gunanya mendapatkan semua itu, jika tidak menjadi hak milik dan sebatas hak pakai (sewa), dibandingkan dengan memilikinya sendiri?

Dua hal inilah yang nampak belum terselesaikan, tetapi di saat yang sama kebijakan pemindahan sepihak dan proses relokasi dengan kasar telah dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta, sehingga daripada warga kehilangan semuanya, memang lebih baik jika mereka meminta ganti rugi saja sekalian: Pemda DKI Jakarta membayar tanah yang adalah hak mereka itu. Namun, terhadap hal ini pun Pemda DKI Jakarta juga tidak menanggapi secara pantas, dengan dalih tuduhan ilegal: mereka tidak memiliki sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh BPN. Warga yang merasa diperlakukan secara tidak adil lantas melakukan perlawanan.

Apa yang dilakukan Pemda DKI Jakarta oleh sebagian kita disebut sangat manusiawi. Padahal, jika membandingkan dengan pilihan yang bisa didapatkan warga dengan konsep dan desain pemukiman yang ditawarkan mereka, maka tentu hal-hal di atas tidaklah sebanding. KCM dan warga mengajukan usulan yang tentu ini lebih menguntungkan dan di sisi lain masalah banjir Jakarta juga ikut teratasi. Namun, disayangkan, ide cemerlang yang lebih berpihak kepada kepentingan kepemilikan hak atas tanah itu nampaknya tidak disambut baik oleh Pemda DKI Jakarta, Ahok. Usulan warga agar hak atas tanah mereka tetap dilindungi dan di saat yang sama masalah banjir juga ikut terselesaikan, justru oleh Pemda DKI Jakarta dibalas dengan kekerasan menggunakan alat negara: aparat.

Akhirnya, kita pun lantas bertanya, apa sebenarnya yang ingin dilakukan Ahok ini, apakah dia memang berniat memanusiakan warga Kampung Pulo atau malah membuat masyarakat semakin miskin dengan merampas hak mereka atas tanah dan bangunan? Mari terus cermati! (*) sumber foto: kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun