Mohon tunggu...
Goris Lewoleba
Goris Lewoleba Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Wakil Ketua Umum DPN VOX POINT INDONESIA

-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presiden Prabowo Subianto, "Mendayung di Antara Dua Karang"

31 Januari 2025   09:14 Diperbarui: 31 Januari 2025   09:36 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Dr. Goris Lewoleba, M.Si


Wakil Ketua Umum dan Juru Bicara VOX POINT INDONESIA

Diksi politik melankolis "Mendayung di antara Dua Karang"  merupakan ungkapan metaforis dalam dunia politik praktis yang menarasikan gambaran konfiguratif mengenai dinamika dan situasi politik mutakhir di Tanah Air pada masa awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Sebagaimana diketahui oleh publik dalam kancah politik global di berbagai belahan dunia, maupun dalam konteks politik domestik di seantero Tanah Air  bahwa, Prabowo Subianto adalah sosok Tokoh Politik Flamboyan yang sarat dengan pengalaman akan asam garam dan pahit getirnya perjuangan politik yang dilaluinya, demi memperjuangkan kesejahteraan masyarakat bangsa dan negara Indonesia.

Telah banyak jejak langkahnya yang dilukiskan dalam riwayat kisah hidupnya  di masa silam melalui perjuangan politik untuk menjadi Presiden Republik Indonesia,  dengan berulang kali jatuh dan bangun dalam mewujudkan impiannya untuk menjadi presiden Republik Indonesia demi mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat bangsa  dan negara.

Terkait dengan perjuangannya itu, terekam dalam catatan sejarah bahwa, sesungguhnya Prabowo Subianto telah beberapa kali mengikuti kontestasi  pencalonan Presiden, (termasuk menjadi Calon Wakil Presiden),  dan  baru mencapai puncak kemenangannya  menjadi presiden pada Pilpres Tahun 2024, dan pada akhirnya menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke delapan.

Rupanya semangat juang dan panggilan hidup untuk mengabdi pada bangsa dan negara Indonesia, senantiasa berkobar dalam hati sanubari Prabowo Subianto agar dapat menjadi pemimpin bangsa dan negara melalui visi besar dan misi  mulia dengan menjadi Presiden Republik Indonesia.

Memperhatikan jejak langkah dan semangat perjuangannya untuk menjadi Presiden Republik Indonesia melalui jalan yang berliku,  dengan irama yang jatuh dan bangun, tetapi tampaknya, Prabowo Subianto menganut pertimbangan dengan langkah nyata dalam perjuangan politiknya dengan prinsip dasar bahwa, "bukan soal berapa kali kita jatuh, tetapi yang menjadi urgensi soal  adalah berapa kali kita bangun"  !  Itulah yang membuat Prabowo Subianto dapat sukses menjadi Presiden Republik Indonesia dengan semangat juang yang pantang menyerah.

Setelah terpilih dan dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, dan dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Prabowo Subianto membentuk Kabinet Merah Putih dalam ukuran dan postur kabinet yang relatif cukup besar  dengan model pendekatan Politik Akomodatif demi merangkul semua pihak dan elemen yang berperan,  untuk membangun bangsa dan negara Indonesia.

 Melalui portofolio dan  postur kabinetnya  yang demikian besar,  dan berada dalam "Satu Perahu Politik Kebangsaan" dengan awak dan penumpang yang cenderung. over load , Persiden Prabowo sedang berusaha untuk menavigasi visi dan misi perjalanan perahu kabinetnya dengan berupaya untuk "Mendayung di antara Dua Karang",  yakni  dua Tokoh Bangsa  yang sedang "berseteru" secara politik,  yaitu Megawati Soekarnoputri dan  Joko Widodo.

Metafora Politik

Terminologi dari metafora politik " Mendayung di antara Dua Karang" sejatinya menggambarkan
seseorang yang berada dalam situasi sulit atau kondisi dilematis di antara dua pilihan yang beresiko.

Analogi ini, seperti halnya mendayung perahu di antara dua karang yang dapat membahayakan keselamatan para penumpang dari sebuah perahu, apalagi kedua karang itu adalah karang-karang yang tidak bersahabat di tengah laut dan gelombang politik yang menggelora,  dengan citarasa seolah  "seperti api di dalam sekam".

Situasi seperti ini,  dapat merujuk pada kebijakan atau pilihan politik Prabowo Subianto yang mungkin terjebak antara dua kepentingan atau tantangan besar, yaitu kepentingan Aktor Politik di Negeri ini yang berpotensi memengaruhi stabilitas jalannya roda pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

 Dikatakan demikian karena,  frasa metafora politik merujuk pada penggunaan bahasa metaforis untuk menggambarkan dan menganalisis konsep atau situasi dari  dinamika politik yang sedang terjadi.

Pada dasarnya,  metafora ini digunakan untuk menjelaskan gagasan dan atau pemikiran yang kompleks atau abstrak menjadi lebih mudah dipahami oleh publik, atau untuk memberikan sudut pandang dalam sebuah kacamata  baru terhadap situasi politik yang sedang menyita perhatian publik.

Oleh karena itu, metafora politik dapat disaksikan dalam kasat mata berupa "permainan politik" yang kadang memperlihatkan kadar  kualitas tokoh politik yang sedang mengalami degradasi kualitas politik yang melampaui batas etika dan moral publik secara kasat mata.

 Kecuali itu, ada juga metafora seperti "perahu politik," yang menggambarkan bagaimana kelompok atau individu dalam politik harus bekerja sama agar tetap "berlayar" dalam arah yang sama untuk menuju ke suatu Pulau Impian Politik.

Metafora-politik bisa menciptakan narasi yang kuat, tetapi juga bisa memiliki implikasi tertentu yang memengaruhi cara orang memandang masalah atau kebijakan politik untuk suatu target politik,  baik dalam takaran politik jangka pendek,  jangka menengah maupun jangka panjang.

  Presiden Prabowo,  diantara Megawati  dan Jokowi  

Dalam pengalaman dan kenyataan, fakta  politik memperlihatkan bahwa, Prabowo Subianto, Megawati Soekarnoputri, dan Joko Widodo merupakan tiga tokoh penting yang amat berpengaruh secara signifikan terhadap dinamika dan persaingan politik di Tanah Air.

Kemudian, lebih daripada itu,  ketiganya memiliki hubungan yang menarik, terutama dalam konteks politik nasional dan sejarah hubungan mereka bertiga secara paralel dan kompatibel.

Dikatakan demikian karena, Prabowo Subianto, yang adalah mantan Jenderal Kopassus dan politikus kawakan itu, pernah menjadi calon presiden pada beberapa pemilu, termasuk pada 2014 dan 2019.
Bahkan, pada tahun 2014, Prabowo Subianto bersaing secara sangat sengit melawan Joko Widodo dalam pemilu presiden, yang akhirnya dimenangkan oleh Joko Widodo.

Sedangkan Megawati, yang merupakan putri dari Presiden pertama Indonesia, Sukarno, yang juga adalah Srikandi Merah Putih, Tokoh Politik Legendaris, yang tak sanggup ditumbangkan  oleh rezim Orde Baru,  merupakan mantan presiden dan juga Ketua Umum PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Megawati memainkan peran penting dalam politik Indonesia, dan partainya sering kali menjadi kekuatan dominan dalam aliansi politik  di Indonesia dalam versi dan formula politik apapun.

Ada fakta politik yang unik dan menarik, dimana relasi antara mereka bisa dikatakan relatif dinamis dan bersifat esoterik.

 Hal ini disebabkan karena, pada Pilpres 2014, Prabowo berhadapan langsung dengan Jokowi yang didukung oleh Megawati dan PDI-P. Namun, dalam politik Indonesia, hubungan dan relasi politik seperti itu, kerap kali sering berubah,  dan melepas pisah seperti air di daun talas.

Hal seperti ini dapat terkonfirmasi dalam catatan sejarah  politik di negeri ini, misalnya, pada 2019, Prabowo yang sebelumnya menjadi rival Jokowi, pada akhirnya bergabung dengan pemerintahan Jokowi sebagai Menteri Pertahanan,  setelah keduanya melakukan adegan  "Pelukan Politik" di atas MRT di Lebak Bulus, yang telah membuat banyak orang menjadi kecewa berat, dan tak sanggup untuk  move on sampai hari ini.

Hal itu  menunjukkan bahwa, meskipun mereka memiliki perbedaan politik yang fundamental,  tetapi hubungan politik antara Prabowo, Megawati, dan Jokowi tidak selalu konsisten, karena situasi politik dapat berubah seiring waktu,  dengan perubahan konteks dan kondisi politik.

Dengan demikian, maka memang benar adanya ungkapan adagium politik klasik yang menyatakan bahwa, "dalam dunia politik, tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan".
 
Sementara itu, dalam konteks hari ini, posisi Prabowo Subianto dalam politik Indonesia bisa dianggap berada di tengah pusaran politik antara Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo, yang belakangan ini sedang dalam posisi politik yang diametral dan paradoksal, bahkan sebagian kalangan menganggap Joko Widodo telah menjadi semacam  "Malin Kundang" bagi Megawati yang adalah "ibunya" sendiri,  yang telah "melahir besarkannya" dari seorang tukang kayu di kota Surakarta menjadi seorang Presiden Republik Indonesia selama dua periode.

Dalam analisis yang lebih kontekstual, dapat dikatakan bahwa, secara historis, Prabowo memiliki hubungan yang cukup rumit dengan keduanya.

Hal dimaksud secara lebih obyektif dapat dinarasikan bahwa,  pada periode 2004 dan 2009, Prabowo bersaing langsung dengan Megawati dalam pemilihan presiden. Namun, setelah Pilpres 2014, Prabowo bergabung dengan koalisi pemerintah yang dipimpin oleh Jokowi, meskipun sebelumnya dia adalah rivalnya di Pilpres 2014. Pada Pilpres 2019, Prabowo kembali bersaing dengan Jokowi. Namun, pada 2020, Prabowo bergabung dalam kabinet Jokowi sebagai Menteri Pertahanan, yang memperlihatkan hubungan yang lebih kooperatif antara mereka.

Dengan demikian, dalam konteks politik saat ini, Prabowo cenderung lebih dekat dengan Jokowi secara formal sebagai mantan atasan (presiden) dan terutama karena "balas jasa",  meskipun hubungan pribadi dan politiknya dengan Megawati dan PDI-P tetap lebih signifikan, terutama mengingat sejarah PDI-P dan Gerindra yang sering bergandengan tangan di panggung politik.

Meskipun demikian,  secara keseluruhan, Prabowo berada di posisi yang lebih fleksibel dan dapat menavigasi antara relasi politik dengan Megawati atau Jokowi, tergantung pada dinamika politik yang sedang terjadi, meski  relasi politik antara Megawati dan Jokowi saat ini, jaraknya terasa sangat jauh seperti langit dengan bumi.

Lalu, Resiko Politik apa yang akan terjadi

Belakangan ini, publik di Tanah Air sedang menantikan  Pertemuan antara Prabowo Subianto dengan Megawati Soekarnoputri, dimana hal dimaksud dapat membawa sejumlah keuntungan,  baik bagi Prabowo maupun bagi Megawati.

Dalam sudut pandang yang lebih terbuka, dapat dijelaskan bahwa, akan ada beberapa keuntungan yang mungkin diperoleh Prabowo dari pertemuan ini antara lain, adanya peningkatan dukungan politik karena Megawati adalah  tokoh penting dalam politik Indonesia dan pemimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), partai besar di Indonesia dan Partai Pemenang Pemilu Legislatif Tahun 2024.

Selain itu, pertemuan antara Prabowo dan Megawati dapat semakin memperkuat koalisi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Presiden  Prabowo semakin mendapatkan keuntungan dalam membangun aliansi yang lebih kuat di pemerintahan. Koalisi yang lebih stabil bisa meningkatkan peluang sukses dalam pemilu berikutnya, atau dalam menjalankan kebijakan-kebijakan di pemerintahan pada saat ini.

Demikian juga, Prabowo Subianto akan mendapatkan Perspektif Baru, karena Megawati memiliki pengalaman yang lebih luas dalam politik Indonesia. Diskusi dengan Megawati bisa memberikan perspektif dan wawasan baru bagi Prabowo dalam menghadapi tantangan politik dalam menjalankan pemerintahan saat ini.

Dengan demikian,  pertemuan ini dapat menjadi langkah untuk mencapai konsolidasi kekuasaan yang lebih kuat, baik dalam pemerintahan maupun dalam meraih dukungan dari masyarakat.

Hal ini disebabkan karena, boleh jadi dan besar kemungkinan, Prabowo dan Megawati memiliki kesamaan pandangan tentang sejumlah isu penting yang sedang menjadi perhatian publik di Tanah air maupun di kalangan mancanegara.

Meskipun demikian, pada sisi yang lain, pertemuan Prabowo dan Megawati dapat menjadi sumber soal  tersendiri akan resistensi politik bagi Joko Widodo, karena Jokowi akan merasa bahwa akses dan referensi sumber kekuatan politiknya sedang mengalami degradasi serta  reduksi realitas atas  pengaruhnya terhadap Prabowo Subianto.

Sedangkan  bagi Prabowo Subianto, pertemuannya dengan Megawati Soekarnoputri merupakan mekanisme proses sosial politik bagi Presiden Prabowo Subianto untuk menjauhkan diri dari bayang-bayang residu politik Joko Widodo, sehingga dengan demikian, bagi Prabowo Subianto, meski Mendayung di antara Dua Karang, tetapi "sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui".

Dengan demikian maka,  langkah politik Presiden Prabowo Subianto untuk segera bertemu dengan Megawati Soekarnoputri merupakan keputusan politik Prabowo yang mengekspresikan How to get power dan How to use Power. (Bagaimana merebut kekuasaan, dan Bagaimana menggunakan kekuasaan),  dan hal itu sudah jelas didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia, sebagaimana yang dinyatakan dalam persepsi publik (Kompas, 20/1/25) bahwa,  tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebesar 80,9 persen.

Oleh karena itu, metafora politik  "Mendayung di antara Dua Karang" itu, jika  diandaikan  sebagai Takdir Politik, maka sebagai orang yang percaya kepada Tuhan, kita semua boleh mendukung  Prabowo Subianto sebagai Presiden yang bebas dan merdeka,  dengan menyatakan bahwa, Takdir Politik itu tidak dapat ditentukan, tetapi dilalui dalam kehidupan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun