Pada masa ketika itu, disinyalir bahwa,  jika  ada warga negara  yang bicara mengenai sosok Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan,  atau berpendapat mengenai suatu hal yang berkaitan dengan tata kelola pemerintahan,  serta memberikan komentar atas apa pun kebijakan yang diambil oleh Presiden, maka sehari kemudian, warga Negara yang bersangkutan juga langsung "diambil" dan diinterogasi untuk mempertanggungjawabkan pernyataannya sebelum ditetapkan sebagai tersangka subversif oleh otoritas pemerintah melalui  Intelijen dan Laksus (Pelaksana Khusus)  pada  waktu itu.
Kemudian, kisah sejarah dalam rentang  waktu yang demikian itu pun berlalu begitu saja, dan  ketika memasuki Orde Reformasi sejak Tahun 1998, Negeri ini mulai mengalami Transformasi dalam beragam hal, baik secara Sosial,  Ekonomi,  Politik, Hukum  dan Budaya serta Hak Azasi Manusia yang  menuju ke arah baru dengan dimensi yang lebih bebas, dinamis  dan merdeka.
Bahkan sangking bebasnya di era itu, maka Orde Reformasi itu pun sering pula  disebut sebagai Reformasi yang
Kebablasan seperti "kawanan kuda" Â yang lepas dari kandang, dan berlarian entah kemana, seolah tanpa arah dan tujuan yang jelas.
Demikian pula,  modus operandi kepemimpinan para Presiden setelah Orde Reformasi, memiliki cita rasa sosial politik yang beragam, dengan orientasi dan aksentuasi Pembangunan Bangsa dan Negara yang tidak pernah seirama secara berkelanjutan  di mata dan hati Rakyat Indonesia.
Oleh karena itu maka,  ketika muncul pertama kali ke atas panggung politik di Negeri ini sebagai Calon Presiden, Jokowi hampir  tidak masuk dalam perhitungan banyak pihak bahwa, Jokowi  bakal akan tampil sebagai seorang Pemimpin Besar yang Bereputasi Internasional, yang diakui di dalam negeri maupun di kalangan mancanegara.
Dikatakan demikian karena,  sejatinya Jokowi adalah seorang "Tukang Kayu", dan  Pedagang Mebel dari Kota Solo yang karena garis tangannya dari Yang Maha Kuasa, sehingga Jokowi dapat menjadi seorang Wali Kota di Jawa Tengah, yang reputasinya relatif datar dan biasa saja.
Meskipun demikian, karena takdir politik yang demikian itulah, maka Jokowi  hadir di Jakarta untuk mencoba keberuntungan politik di rimba raya Ibu Kota untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Ketika memimpin DKI  Jakarta bersama Basuki Tjahaja Purnama, banyak hal impresif yang telah dilakukan untuk membangun Jakarta sebagai Ibu Kota Negara dengan pola pendekatan kepemimpinan yang humanis dan merakyat  sampai ke level akar rumput di seantero DKI Jakarta Raya.
Kemudian, dalam dinamika politik yang fenomenal, Jokowi lalu maju sebagai Calon Presiden, Â dan pada akhirnya tampil sebagai pemenang dan menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke tujuh, berpasangan dengan HM. Jusuf Kalla pada periode pertama dan KH. Ma'aruf Amin pada periode ke-dua sampai saat ini.
Dalam periode Kepemimpinannya, telah terjadi banyak terobosan Isolasi Sosial Politik dan Kebangsaan, terutama telah membuka banyak Sekat Sosial Ekonomi melalui Pembangunan Infra Struktur, baik di darat, di laut dan di udara yang hampir merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahkan,  terobosannya  yang paling fenomenal dan legendaris adalah merangkul dengan ketulusan hati  seluruh Anak Bangsa di Negeri ini dalam hamparan Wilayah di Indonesia Bagian Timur yang sudah sekian lama  "dibiarkan"  seolah seperti Anak Tiri di  Rumah  Sendiri, yaitu  Rumah Bersama  Indonesia Raya.