Meskipun demikian, Â menutup sekolah berkepanjangan telah berdampak negatif bagi perkembangan anak didik, Â selain memicu berbagai masalah sosial lainnya, Â juga kondisi seperti ini telah menimbulkan masalah psikologis dan pedagogis yang berkelindan satu sama lain.
Akan tetapi keinginan dan atau kehendak dari sebagian pihak agar segera dilakukan pembukaan kembali sekolah di tengah Pandemi Covid-19, dan jika tidak dipertimbangkan secara matang dan bijaksana,  maka hal itu dapat memicu masalah yang lebih besar sehingga  diperlukan strategi dan pendekatan agar dapat mengurangi risikonya.Â
Sehubungan dengan itu, Â para epidemilog telah memperingatkan bahwa, Â pembukaan sekolah sebelum wabah terkendali, Â malah bakal memicu ledakan penularan yang jauh lebih besar. Â Mereka mengingatkan bahwa, Â sekolah hanya boleh dibuka jika trasmisi Virus Corona di komunitas sudah sangat kecil dan bisa dikendalikan.
Masalahnya,  menurut Ahmad Arif (Kompas,  8/8/2020), di Indonesia,  pengendalian wabah masih jauh dari harapan. Ketika zona hijau gagal diperluas,  yang dilakukan kemudian adalah mengizinkan pembukaan sekolah di zona kuning. Dan hal ini merupakan pertaruhan yang amat besar. Kemudian disinyalirnya bahwa, kalaupun wabah ini terkendali,  'risiko nol' tidak pernah akan  terjadi selama Pandemi belum benar-benar dieliminasi dari seluruh muka bumi.  Oleh karena itu yang bisa dilakukan adalah mengurangi risiko penularan dengan selalu dan tetap menjaga protokol kesehatan secara amat ketat, kapan dan dimanapun kita berada.
Adapun dilema moral dalam pertimbangan kebijaksanaan yang perlu direnungkan bersama adalah bahwa,  hak anak untuk hidup dan bertumbuh berkembang haruslah yang menjadi  prioritas pertama dan utama.  Pembukaan kembali kelas tatap muka di sekolah semestinya menghormati hak hidup dan keselamatan anak-anak sebagai buah hati keluarga dan generasi masa depan.
Pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikdud) Â Nomor 4 Tahun 2020, dimana ditegaskan bahwa, siswa tidak dibebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas atau pun kelulusan.
Belajar dari rumah lebih difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup sesuai dengan minat dan kondisi masing-masing. Umpan balik dari guru bisa berbentuk kualitatif tanpa keharusan memberi skor secara kuantitatif.
Dalam sudut pandang tata kelola kehidupan sosial, amat wajar untuk dapat dipahami bahwa, rasa bosan di rumah atau pun capek mendampingi anak belajar di rumah tidak akan sebanding  dengan perasaan melihat anak terbaring sakit di ruang gawat darurat karena terpapar Virus Corona. Â
Ketika seorang anak tertular Covid-19, dia harus dirawat,  demikian pula orang tuanya. Sementara itu, sekolah belum tentu merujuk  ke rumah sakit dan membiayai. Hal seperti itulah yang mestinya dipikirkan oleh semua pihak,  karena Virus Corona memang sedang 'menginfeksi' dunia pendidikan.
Goris Lewoleba
Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Â Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Dewan Pakar dan Juru Bicara VOX POINT INDONESIA