Hari-hari belakangan ini, Â ruang publik di Tanah Air sedang ramai dan semarak memperbincangkan soal dunia pendidikan di Indonesia.
Pasalnya, di tengah Pandemi Covid-19 ini, isu runyamnya tata kelola dunia pendidikan selalu menyisakan banyak masalah yang hampir tak pernah berujung pangkal untuk dapat menemukan  solusi dan jalan keluarnya.
Sudah  sekian lama negeri ini merdeka dari para penjajah,  dan sudah sekian lama pula ganti Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,  tetapi urgensi soal mengenai masalah pendidikan di Indonesia tidak pernah ditangani secara tuntas.
Hal ini disebabkan karena setiap kali ganti Menteri,  maka ganti pula kebijakan dalam dunia pendidikan sesuai dengan selera  rezim dari Menteri yang bersangkutan.  Lalu, anak didik hanya akan selalu menjadi semacam 'kelinci percobaan' atas kebijakan yang diusung oleh Menteri Pendidikan pada periode itu.
Berkenaan dengan situasi yang demikian maka,  sebagaimana dikemukakan oleh Iwan Pranoto (Kompas, 13/8/2020) bahwa, meski Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan berusia 75 tahun pada tanggal  19 Agustus 2020 ini,  tetapi Indonesia masih terjebak pada dikotomi nomen klatur mengenai Pemerataan dan Penyeragaman Pendidikan yang diterapkan secara tumpang tindih dalam praktek pendidikan di Indonesia, sehingga hal itu telah menjadi penyebab dari merosotnya mutu pendidikan di Indonesia.
Sebagai dampak dari salah kapra seperti itu maka, Â upaya pemerataan pendidikan ini, pada kenyataannya kerap kali disederhanakan hanya sebagai keseragaman dalam dunia pendidikan di Indonesia. Â Pada hal pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan harusnya dapat dan perlu mengalami peningkatan secara bersamaan dalam pola pendekatan yang bersifat komplementer atau saling melengkapi.
Namun demikian faktanya bahwa,  dalam praktek pendidikan selama Indonesia merdeka,  apa yang dibelajarkan dan bagaimana mengajarkannya di Jakarta,  dipaksa sama  misalnya dengan wilayah di Indonesia Bagian Timur, atau di berbagai daerah lain di pelosok Tanah Air.
Dengan demikian, maka cara berpikir seragam juga dengan  sedirinya dipaksakan untuk Indonesia dengan kondisi geografis yang unik serta sistem sosial budaya yang amat beragam. Penyeragaman pendidikan seperti ini yang kemudian menjadi penghambat utama langkah perbaikan mutu pendidikan di Indonesia.
Dalam sudut pandang perekonomian global, Â maka untuk mencapai target peningkatan PDB (Produk Domestik Bruto), diperlukan modal manusia (human capital) yang mampu mengatasi tantangan revolusi industri 4.0 dan tantangan global menuju Indonesia maju.
Sementara itu,  berdasarkan hasil kajian Bank Dunia tahun 2019, Idonesia masih terkendala oleh rendahnya mutu model manusia. Indonesia berada di peringkat  ke-87 dari 157 negara dalam Human Capital Index (HCI),  yang diterbitkan oleh Bank Dunia pada tahun 2018. Indeks ini menilai negara berdasarkan hasil pendidikan dan kesehatan serta dampaknya terhadap produktivitas.
Oleh karena itu maka,  Satryo Soemantri Brodjonegoro (2020) menegaskan bahwa,  meningkatkan mutu model manusia Indonesia merupakan agenda yang kompleks dan perlu pelaksanaan dalam waktu yang panjang yang harus menjadi inti dan strategi pembangunan pemerintah.  Untuk  itu diperlukan peningkatan sistem pendidikan di seluruh jenjang,  mulai dari pendidikan anak usia dini,  hingga pendidikan tinggi serta komponen belajar seumur hidup.