Hari-hari belakangan ini, ruang publik  di Tanah Air sedang ramai membicarakan salah satu isu penting dan sensitif di bidang Sosial Politik  dan Pemerintahan yaitu, hal yang berkaitan dengan soal Resuffle Kabinet Pemerintahan Presiden Joko Widodo-KH. Ma'ruf Amin.
Sejatinya, isu mengenai reshuffle kabinet merupakan hal yang lumrah dalam setiap rezim dalam Kabinet Pemerintahan Presiden siapa pun di negeri ini sejak dari era Reformasi.
Hal ini disebabkan karena resuffle kabinet merupakan Hak Prerogatif Presiden dalam menata kembali Kabinet Pemerintahannya dengan melakukan kocok ulang bagi para menterinya demi untuk menemukan formula kabinet yang lebih kuat dan solid guna mencapai tujuan dan target kerja pemerintahan dalam melayani masyarakat secara lebih optimal.
Meskipun demikian, bagi sebagian kalangan, isu Resuffle Kabinet dapat menjadi semacam kabar gembira, meskipun bagi sebagian kalangan hal itu merupakan berita yang sebaliknya, yang dapat pula membuat hati sebagian orang berdebar gusar tak menentu, baik yang sedang duduk di kursi kabinet, maupun yang juga sedang mengincar dan berharap cemas akan mendapat kursi menteri di Kabinet Presiden Joko Widodo.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa, kemungkinan terjadinya perubahan komposisi suatu kabinet, berikut menterinya di suatu kementerian dalam suatu situasi tertentu, merupakan dinamika dan diskresi politik Presiden.
Keputusan Politik Presiden seperti itu dilakukan dengan maksud untuk mengantisipasi dan menjawab kebutuhan mendesak dalam suatu sistem pemerintahan yang sedang berjalan, melalui  perbaikan dan peningkatan kinerja para menterinya sebagai Pembantu Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan.
Apalagi jika dikaitkan dengan Kinerja Kabinet Indonesia Maju yang belakangan ini tampak tidak optimal dan kontra produktif dalam menangani tatakelola kementerian sebagai akibat dari merebaknya Virus Corona atau Pendemi Covid-19 yang sedang disorot oleh berbagai pihak.
Virus Corona dan Realitas Sosial  Politik
Sudah menjadi semacam fakta sosial bahwa, memang Pandemi Covid-19 atau Virus Corona telah mencekam kenyataan hidup, dan sedang dialami oleh siapa pun dan dimana pun mereka berada. Â
Berkenaan dengan hal itu, maka sebagaimana ditegaskan oleh Budi Hardiman (2020) bahwa Pandemi Covid-19 tidak menimbulkan horor dan teror, seandainya laju infeksinya tidak sangat tinggi sambil merenggut nyawa sesuka hatinya atau jika obatnya sudah ditemukan.
Horor dan teror yang dibawanya berkaitan erat dengan kecemasan eksistensial kita bahwa setiap saat nyawa kita dapat hilang oleh kehadiran virus itu di dalam tubuh kita.Â
Dalam kesadaran keseharian hidup kita, perkumpulan-perkumpulan orang, seperti ibadat, belajar, pesta, festival, karnaval, mudik lebaran, selama ini tampak sebagai keniscayaan dunia yang objektif. Sungguh pun demikian, semua kenyataan itu hanyalah kulit luar yang menjauhkan kita dari kesadaran bahwa, setiap saat semua hal itu akan berakhir.
Dengan demikian, maka dengan meminjam Anthony Giddens, dalam Karyanya Runway World. How Globalisation is Reshaping Our Lives, London: Profile Books (1999) dikatakan bahwa, dunia hari-hari ini yang menurut Gidens "di luar kendali kita, yang merupakan sebuah Runway World tiba-tiba menjadi melambat. Dikatakan demikian, karena sekat-sekat nasional yang telah  dibuka lebar oleh globalisasi harus ditutup secara cepat dan mendesak. Kengerian yang ditimbulkan virus ini benar-benar mencekam dalam berbagai bidang kehidupan, tidak terkecuali dalam bidang sosial politik dan pemerintahan.