Lebih lanjut dikemukakan bahwa, tindakan para teroris yang demikian sampai pada tahap melakukan bom bunuh diri sebagai katarsis guna menyalurkan akumulasi emosi yang sudah sekian lama membebani hidupnya.
Kemudian, dengan itu, lalu yang bersangkutan akan mencari pembenaran dengan situasi batinnya, kemudian diyakini sebagai emansipasi jiwa yang diberi label syahid, agar terbebas dari beban hidup, dan bisa tersenyum saat menghabisi nyawa orang lain, apalagi tokoh politik atau pejabat negara.
Demikian juga, bagi pelaku terorisme itu sendiri, di mana yang bersangkutan akan selalu tetap tersenyum saat jalan kematian sudah berada di depan mata, dan meyakini pula bahwa, surga menanti dengan tujuh bidadari yang cantik menawan dan mempesona.
Pandangan yang disebut terakhir ini, secara psikologis menimbulkan kekaguman kepada aktor yang jeli dan sukses merekrut pengikut dan berhasil melatih mereka sehingga menjadi amat militan.
Sebagai negara yang beragama dan Berketuhanan yang Maha Esa, maka Indonesia dikenal di berbagai kalangan manca negara sebagai negara yang aman dan damai.
Namun demikian, belakangan ini, negeri kita dikenal juga sebagai surga bagi para teroris.
Hal ini disebabkan karena teroris sangat bebas berkeliaran kapan saja dan di mana saja di setiap sudut republik ini.
Bahkan, hari ini, teroris dapat dengan semau gue untuk membunuh siapa saja, termasuk Menko Polhukam Republik Indonesia, dan tidak terkecuali Presiden Republik Indonesia sekalipun.
Hal ini disebabkan karena, antusiasme teroris terhadap aksi teror bertolak dari restrukturisasi nilai moral mengenai kekerasan dan pembunuhan. Sebab, teror tidak dilihat sebagai kejahatan, tetapi merupakan perjuangan untuk menegakkan tujuan luhur.
Teror bernilai suci dan luhur, yang oleh Hilaly Basya (2005) disebut sebagai Psiko-Teologis setelah melalui mekanisme pelepasan moral.
Oleh karena itu, bukanlah merupakan suatu hal yang aneh, jika di belakang para tokoh teroris yang sudah ditangkap masih banyak teroris lain yang memiliki militansi yang tidak kalah kuatnya.