Mohon tunggu...
OdieL Palm
OdieL Palm Mohon Tunggu... Administrasi - only a human

Meninggalkan jejak demi segores kata.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar Mandiri Sejak Dini untuk Hari Depan

10 April 2011   11:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:57 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BERBAGI kasih dengan anak-anak yang mengalami luka masa lalu. Demikian misi yang diemban dari pembangunan Panti Asuhan dan Panti Werdha Pangamaseang.
***

SEBUAH bangunan berpagar putih berdiri kokoh di sebuah sudut jalan Baji Gau II. Dua remaja putri terlihat sedang sibuk menyapu halaman bangunan tersebut. Gemerisik sapu lidi dari tangan keduanya yang menyapu tanah menandakannya.

Panti Asuhan dan Panti Werdha Pangamaseang. Demikian yang tertera di sebuah papan penunjuk di atas pagar.

Saat saya mendekati pagar dan mengetuk-ngetuk gerendel pagar, kedua remaja itu spontan berbalik secara bersamaan. Aktivitas mereka terhenti sejenak sambil memperhatikan kedatangan saya.

“Lewat samping ki’ kak,” salah seorang di antaranya memberitahukan jalan masuk kepada saya.

Di sebelah kanan pagar saya menapaki sebuah jalan sepanjang lima meter. Seorang penghuni panti kembali saya dapatkan. Kali ini seorang wanita yang berjalan tertatih-tatih dengan bantuan alat penyangga. Rambutnya yang sebahu tampak memutih.

Saya kemudian menanyai sang wanita. “Ada Pastor, Bu?”

Wanita itu terdiam sejenak, tampak berpikir. “Mungkin ada di dapur,” jawabnya kemudian sambil menunjukkan arah yang dimaksud.

Saat mendekati pintu dapur, tiba-tiba si wanita berkata lagi. “Atau coba cari di kamarnya, itu di sana,” ujarnya tampak kebingungan.

Saya kemudian menuju sebuah bangunan seukuran kamar yang dimaksud wanita tadi. Semakin mendekat, dari jendela kamar tersebut saya dapat melihat sosok seseorang yang sedang sibuk menekuni kegiatannya di balik sebuah komputer. Dialah sang pastor yang saya cari.

Saya menuju pintu kamar itu sambil mengetuk. “Selamat pagi, Pastor,” ujar saya menyapa.

Dari dalam terdengar sahutan, “Ya.” Jawaban itu diiringi suara langkah-langkah mendekati pintu.

Pintu terbuka, dan seraut wajah yang cukup familiar muncul. Pastor Van Rooij, demikian sosok ini dikenal di kalangan umat Katolik di Makassar.

Sang Pastor kemudian menyilakan saya masuk ke ruangan yang ternyata sebuah ruang kerja.

“Mari masuk ke kandang Betlehem, tapi ini sangat rantasa’,” ajak Pastor berdarah Belanda ini.

Meskipun keturunan luar negeri, Van Rooij sangat fasih menggunakan dialek Makassar. Bagaimana tidak? Pastor ini sudah 42 tahun bermukim di Indonesia, tepatnya di Keuskupan Agung Makassar.

Van Rooij adalah pendiri sekaligus pembina dari kedua panti yang saya kunjungi ini. Panti Asuhan dan Panti Werdha Pangamaseang. Meskipun berada dalam satu area, keduanya tidak berdiri secara bersamaan.

Dikisahkan Van Rooij, panti tersebut dulunya adalah sebuah pabrik roti. Entah sejak kapan bangunan tersebut berdiri di Jalan Baji Gau.

“Pada tahun 1995, panti asuhan ini mulai dibangun,” kenang Van Rooij sambil megajak saya menuju ke dalam area panti. Pembangunan panti ini sebagai salah satu bentuk sifat sosial sang Pastor.

Saat melewati dapur, beberapa remaja putri dan putra sedang sibuk memasak. Ada yang memotong-motong sayur, ada yang menggoreng tempe dan tahu.

Diungkapkan Van Rooij, pembangunan Panti Asuhan dan Panti Werdha Pangamaseang bermula dari perbincangannya dengan mantan Uskup Agung Makassar, Alm. Mgr Frans van Roessel.

“Dia kemudian memberi dorongan kepada saya untuk mendirikan Yayasan Sosial Keuskupan Agung Makassar dan mengambil inisiatif untuk memulai sebuah panti asuhan,” urai dia mengisahkan.

Pembangunan panti kemudian dapat berjalan lancar berkat bantuan dari segenap umat Keuskupan Agung Makassar. Tak hanya itu, lanjut Van Rooij, banyak anggota masyarakat yang bermukim di sekitar panti juga turut memberikan dukungan dalam pembangunan panti asuhan tersebut.

“Saya merasa bersyukur karena dapat membahagiakan anak-anak yang membutuhkan kasih sayang dan cinta kasih ini,” tutur mantan Vikaris Episkopal Makassar ini.

Diakuinya, perasaan anak-anak tersebut dapat dipahaminya, karena sejak kecil Van Rooij telah ditinggal mati sang ayah, Alm Marinus Van Rooij. Dengan bimbingan sang ibu, Petronella Hoorn, Van Rooij akhirnya dapat tumbuh menjadi pribadi yang senang memberikan pelayanan sosial.

Sampai saat ini, Panti Asuhan dan Panti Werdha Pagamaseang telah mengasuh puluhan anak. Baik yang yatim piatu, maupun yang tidak diperhatikan dan dibuang keluarganya.

“Sekarang anak-anak di sini ada 25 orang,” jelas sang pembina. Anak-anak tersebut berkisar pada usia taman kanak-kanak hingga ada yang sudah di bangku kuliah.

Pengelola Panti Asuhan Pangamaseang, Suster Yosephine Palit YMY, menjelaskan, mereka berasal dari beragam suku dan daerah yang ada di Indonesia. Ada yang dari Toraja, Muna, Ambon, dan bahkan ada yang dari Papua.

“Mereka datang ke panti kebanyakan dibawa oleh para pastor paroki di daerah masing-masing,” ucap Van Rooij menjelaskan. Ada pula anak-anak yang dibawa langsung oleh keluarga yang tidak mampu lagi mengurusnya.

“Banyak anak di sini yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh keluarga mereka sendiri,” sela Sr Yosephine. Dia menunjukkan salah seorang anak yang masih TK yang berasal dari Flores sebagai contohnya.

Diuraikan Sr. Yosephine anak tersebut sering mendapat perlakuan kasar dari orang tuanya. “Dulu waktu masih di Flores dia sering dipukul bahkan sampai disileti,” tutur Sang Suster dengan mata berkaca-kaca.

Selama di panti, ke semua anak tersebut disekolahkan dan diberikan beragam pengetahuan tambahan. Mereka juga tak lupa dibina untuk mulai mandiri sejak usia dini.

“Setiap hari mereka dibiasakan membersihkan area panti, serta membantu di pabrik lilin,” ujar Van Rooij saat mengajak saya memasuki pabrik lilin yang terletak di dalam area panti.

Di dalam ruangan tersebut terdapat beberapa karung bahan baku lilin. Di rak yang berada di bagian dalam terdapat deretan lilin aneka warna dan bentuk.

Selain itu, anak-anak panti juga diberikan dorongan untuk mendapatkan nilai yang baik dalam ujian di sekolah. Salah satu contohnya saat Natal kemarin, mereka dijanjikan akan diberikan insentif oleh Pastor Van Rooij bila tidak mendapat nilai merah di raport.

“Puji Tuhan dengan dorongan seperti itu, nilai mereka jadi membaik,” ucap Van Rooij penuh syukur.

Dijelaskan Van Rooij, saat ini sudah lebih dari sepuluh anak yang telah mandiri dan memiliki pekerjaan masing-masing. Mereka bahkan saat ini sudah tinggal sendiri di luar panti.

Untuk memperhatikan kesehatan seluruh “anaknya”, dalam waktu dekat Van Rooij juga merencanakan untuk menyewakan rumah untuk perawat bagi mereka di sekitar panti. Tujuannya agar dapat mengontrol kesehatan mereka lebih cepat.

“Satu yang saya harapkan, agar ke depan mereka dapat berhasil dan tidak lagi mengingat luka masa lalu dan masa kecil yang dialaminya dulu,” kunci Pastor yang menjuluki dirinya “Monyet Putih” ini. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun