Kebijakan ini memang nyata. Seorang teman saya yang masih SMA kelas 2 saat liburan musim panas tahun lalu harus mendekam di rumah agar kewajiban ini tercapai. Setiap hari dia menghabiskan 4-5 jam pada pagi hari untuk menyelesaikan tugas liburannya. Dia harus membaca beberapa buku pelajaran sekolah dan mengerjakan tugas Matematika dan Fisika. Tiga pelajaran ini menjadi menu hariannya. Baginya, pagi hari adalah kesempatan untuk berkutat dengan tugas liburan. Dia memutuskan untuk memberikan jatah 5 jam agar sorenya dia bisa bersantai-santai.
Kebiasaan ini rupanya menjadi kebiasaan warga Italia pada umumnya. Generasi sebelumnya juga merasakan ini. โKalau tidak begini, mana mungkin sya bisa seperti ini?โ demikian jawaban seorang ibu saat saya tanya informasi ini. Ibu yang berprofesi sebagai pekerja di rumah sakit ini rupanya mendukung kebijkakan sekolah ini. Ini berarti betapa pentingnya menumbuhkan minat baca pada anak-anak.
Memang, orang tua mestinya mendukung kebijakan agar anak-anaknya mau membaca. Baru-baru ini sebuah lembaga riset di ItaliaโDoxaโmembuat penelitian tentang biaya yang dikeluarkan orang tua Italia dalam mendidik anak-anak. Dalam bidang pendidikan, Doxa menemukan bahwa ada peningkatan yang besar dalam hal membeli buku. Antara tahun 2015 dan 2016, terjadi kenaikan biaya membeli buku sebesar 5,3%. Peningkatan iniโhasil penelitian Doxaโ sekaligus juga mengonfirmasikan kemampuan anak-anak dalam membaca buku. Doxa menemukan bahwa sampai saat ini, anak-anak Italia masih mencintai budaya membaca. Bahkan, Doxa memberi label โgrandi lettoriโ alias pembaca yang hebat kepada anak-anak.
Meski cenderung naik, pengeluaran untuk membeli buku rupanya masih kalah dengan pengeluaran untuk alat mainan. Anak-anak memang cenderung untuk bermain ketimbang membaca buku. Doxa merilis sekitar 1 miliar dan 600 juta euro pada tahun 2016 yang lalu untuk pos ini. Biaya ini begitu tinggi dibanding dengan biaya karcis masuk saat kunjungan ke taman-taman main yang hanya 400 juta euro. Pengeluaran untuk buku, koran, dan komik yang meningkat rupanya berkisar di 232 juta euro. Biaya ini terhitung tinggi dan rupanya buku yang laris dibeli oleh anak-anak Italia tahun lalu adalah serial terbaru dari Harry Potter, karangan J.K: Rowling, Harry Potter dan Anak yang Terkutuk.
Tingginya biaya untuk membeli buku menunjukkan bahwa, anak-anak saat ini masih mencintai budaya membaca buku. Anak-anak masih menganggab buku sebagai sarana yang berguna demi pengembangan ilmu pengetahuan mereka.
Ada perbedaan antara membaca buku manual dan membaca di perangkat digital (komputer, hp, iPad, tablet, e-reader, dsbg). Meski banyak yang menganggap peringkat digital ini makin diminati dan memudahkan pembaca, kenyataannya justru terbalik. Memang, dengan perangkat ini, kita dengan mudah membawa satu perpustakaan dengan banyak judul buku kemana-mana. Tetapi, rupanya dengan model seperti ini, kita bahkan tidak bisa membaca buku dengan baik.
Sebuah penelitian di Australia membicarakan dengan gamblang tentang ini. Seorang peneliti di salah satu Universitas di Perth, Australiaโsebagaimana dikutip oleh koran anak Italia, Popotus 23 Maret 2017โmenemukan bahwa, ada penurunan tingkat minat baca pada anak-anak yang membaca dengan perangkat digital dibanding dengan membaca buku manual. โAda kecenderungan untuk tidak melakukan kegiatan lain dan juga ada kesulitan untuk berkonsentrasi saat anak membaca di perangkat digital,โ kata peneliti yang membuat penelitian terhadap 1000 anak-anak Australia itu.
Ini menunjukkan bahwa, buku manual tidak akan mati. Buku ini tetap akan ada dan tidak tergusur oleh kehadiran perangkat digital atau buku elektronik. Namun, lepas dari persaingan antara dua model buku ini, yang lebih utama adalah menumbuhkan minat baca pada anak-anak.
Sudahkah Anda mendampingi anak-anak Anda membaca setiap hari?
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
PRM, 23/3/2017