Salah satu tantangan di era digital adalah menumbuhkan minat baca. Membaca memang mesti menjadi budaya bagi setiap orang dan setiap bangsa. Bangsa yang tidak mempunyai budaya baca adalah bangsa terbelakang. Lihat budaya tua di dunia, hampir semuanya dikembangkan dalam kultur budaya baca yang tinggi. Tengok India, Mesir, Yunani, Italia, Prancis, Jerman, dan sebagainya.
Sebuah budayaโseperti apa pun bentuknyaโakan bertahan lama jika diformat dalam bentuk tulisan. Kitab tua dari India seperti Mahabrata dan Ramayana sampai ke Indonesia karena sudah diformat dalam bentuk buku. Buku ini bertahan lama dan sampai berabad-abad. Penemuan Kitab Suci dalam dunia Kristen pun tidak lepas dari peranan budaya tulis menulis. Saat ini, kita mengenal kertas yang membentuk buku. Di situ tertera jenis tulisan. Bentuk iniโdulunyaโhanyalah berupa perkamen (kulit binatang) tua.
Kulit itulah yang menyimpan banyak kisah dan cerita zaman dulu. Saat ini, kita pun bisa memahaminya karena jasa kulit itu. Saat perkembangan ilmu pengetahuan makin maju, kita pun mengubah kulit binatang itu dalam bentuk yang lebih modern. Tulisan tua itu pun kita pindahkan dalam bentuk kertas. Kertas dengan demikian menjadi sarana yang baik untuk mengenal dan memahami dunia zaman kuno.
Kertas itu pun saat ini sedang diubah lagi dalam bentuk yang lebih modern lagi. Kertas rencananya akan dihilangkan karena memboroskan pohon sebagai bahan dasarnya. Jika kayu banyak digunakan untuk produksi kertas, keberadaan satwa di hutan pun akan rusak. Dan, di sinilah lahir masalah lingkunan hidup. Untuk mengatasinya, lahirlah penemuan baru di mana kita bisa membaca hanya dengan monitor elektronik (komputer, tablet, iPad, hp, e-reader, dan sebagainya)
Kita pun kiranya paham, ini semua hanyalah sarana. Sarana mestinya tetap jadi sarana. Dari pekarmen menjadi kertas dan dari kertas menjadi perangkat elektronik hanyalah sarana yang kita temukan. Di balik sarana, tersimpan budaya yang berharga. Budaya itu adalah seni dan keahlian membaca. Tanpa budaya ini, perkembangan sarana tadi tidak akan kita capai.
Lompatan ini akan berbahaya dan akan ada peluang untuk jatuh bagi mereka yang tidak berbudaya baca sama sekali. Jadinya, merekaโmeski tidak melewati budaya baca buku yang kuatโakan melompat ke dunia digital.
Budaya lompatan seperti ini ada di beberapa negara. Baru-baru ini, badan Unesco dari PBB merilis laporan tingkat kemampuan membaca dari banyak negara di dunia. Dari laporan itu, tampak bahwa beberapa negara masih di bawah jangkauan normal. Masih banyak warga negara yang tidak bisa dan belum bisa membaca. Indonesia dengan penduduknya yang banyak adalah salah satunya. Kita pun bisa paham sebab budaya kita masih melekat dengan kebiasaan berbicara (oral) ketimbang budaya menulis. Kita boleh bangga bisa mengenal isi cerita Mahabrata dari India tetapi sebetulnya kita mesti menyesal. Mengapa kita di Indonesia tidak punya budaya yang kuat dari zaman nenek moyang kita?
Ini menjadi tantangan bagi warga Indonesia untuk giat meneliti teks kuno yang masih tersebar di Indonesia. Teks itu mestinya diteliti. Dan, di sinilah kita perlu meningkatkan terlebih dahulu kemampuan membaca kita. Tanpa kemampuan ini, kita hanya menjadi penonton dari hiruk-pikuknya para geolog dan peneliti zaman kuno dari berbagai negara maju.
Kita kiranya boleh belajar dari Italia dan Australia. Italia tidak diragukan lagi sebagai negara berbudaya baca tinggi. Lihatlah para seniman, penulis, budayawan, sastrawan, arsitek, musisi, dan sebagainya yang dihasilkan oleh Italia. Demikian juga kemampuan beberapa universitas di Australia yang menjadi penghasil para peneliti dan akademikus di berbagai negara di Asia. Kiranya banyak mahasiswa Indonesia menimba ilmu di negeri Kanguru ini.
Kebijakan ini memang nyata. Seorang teman saya yang masih SMA kelas 2 saat liburan musim panas tahun lalu harus mendekam di rumah agar kewajiban ini tercapai. Setiap hari dia menghabiskan 4-5 jam pada pagi hari untuk menyelesaikan tugas liburannya. Dia harus membaca beberapa buku pelajaran sekolah dan mengerjakan tugas Matematika dan Fisika. Tiga pelajaran ini menjadi menu hariannya. Baginya, pagi hari adalah kesempatan untuk berkutat dengan tugas liburan. Dia memutuskan untuk memberikan jatah 5 jam agar sorenya dia bisa bersantai-santai.
Kebiasaan ini rupanya menjadi kebiasaan warga Italia pada umumnya. Generasi sebelumnya juga merasakan ini. โKalau tidak begini, mana mungkin sya bisa seperti ini?โ demikian jawaban seorang ibu saat saya tanya informasi ini. Ibu yang berprofesi sebagai pekerja di rumah sakit ini rupanya mendukung kebijkakan sekolah ini. Ini berarti betapa pentingnya menumbuhkan minat baca pada anak-anak.
Memang, orang tua mestinya mendukung kebijakan agar anak-anaknya mau membaca. Baru-baru ini sebuah lembaga riset di ItaliaโDoxaโmembuat penelitian tentang biaya yang dikeluarkan orang tua Italia dalam mendidik anak-anak. Dalam bidang pendidikan, Doxa menemukan bahwa ada peningkatan yang besar dalam hal membeli buku. Antara tahun 2015 dan 2016, terjadi kenaikan biaya membeli buku sebesar 5,3%. Peningkatan iniโhasil penelitian Doxaโ sekaligus juga mengonfirmasikan kemampuan anak-anak dalam membaca buku. Doxa menemukan bahwa sampai saat ini, anak-anak Italia masih mencintai budaya membaca. Bahkan, Doxa memberi label โgrandi lettoriโ alias pembaca yang hebat kepada anak-anak.
Meski cenderung naik, pengeluaran untuk membeli buku rupanya masih kalah dengan pengeluaran untuk alat mainan. Anak-anak memang cenderung untuk bermain ketimbang membaca buku. Doxa merilis sekitar 1 miliar dan 600 juta euro pada tahun 2016 yang lalu untuk pos ini. Biaya ini begitu tinggi dibanding dengan biaya karcis masuk saat kunjungan ke taman-taman main yang hanya 400 juta euro. Pengeluaran untuk buku, koran, dan komik yang meningkat rupanya berkisar di 232 juta euro. Biaya ini terhitung tinggi dan rupanya buku yang laris dibeli oleh anak-anak Italia tahun lalu adalah serial terbaru dari Harry Potter, karangan J.K: Rowling, Harry Potter dan Anak yang Terkutuk.
Tingginya biaya untuk membeli buku menunjukkan bahwa, anak-anak saat ini masih mencintai budaya membaca buku. Anak-anak masih menganggab buku sebagai sarana yang berguna demi pengembangan ilmu pengetahuan mereka.
Ada perbedaan antara membaca buku manual dan membaca di perangkat digital (komputer, hp, iPad, tablet, e-reader, dsbg). Meski banyak yang menganggap peringkat digital ini makin diminati dan memudahkan pembaca, kenyataannya justru terbalik. Memang, dengan perangkat ini, kita dengan mudah membawa satu perpustakaan dengan banyak judul buku kemana-mana. Tetapi, rupanya dengan model seperti ini, kita bahkan tidak bisa membaca buku dengan baik.
Sebuah penelitian di Australia membicarakan dengan gamblang tentang ini. Seorang peneliti di salah satu Universitas di Perth, Australiaโsebagaimana dikutip oleh koran anak Italia, Popotus 23 Maret 2017โmenemukan bahwa, ada penurunan tingkat minat baca pada anak-anak yang membaca dengan perangkat digital dibanding dengan membaca buku manual. โAda kecenderungan untuk tidak melakukan kegiatan lain dan juga ada kesulitan untuk berkonsentrasi saat anak membaca di perangkat digital,โ kata peneliti yang membuat penelitian terhadap 1000 anak-anak Australia itu.
Ini menunjukkan bahwa, buku manual tidak akan mati. Buku ini tetap akan ada dan tidak tergusur oleh kehadiran perangkat digital atau buku elektronik. Namun, lepas dari persaingan antara dua model buku ini, yang lebih utama adalah menumbuhkan minat baca pada anak-anak.
Sudahkah Anda mendampingi anak-anak Anda membaca setiap hari?
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
PRM, 23/3/2017
Gordi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H