Uskup Francesco Ravinale juga merasakan relasi yang hidup dan mendalam dengan Imam Abdessamad. Baginya, relasi ini adalah model yang baik bagi umat Katolik dan Muslim. Relasi ini akan membuat kedua komunitas beragama memperdalam iman mereka. Itulah sebabnya, Uskup Ravinale tetap yakin, meski mereka bertemu, kedua komunitas umat beragama tidak mencampuradukkan iman mereka. Pertemuan iniโsambung Ravinaleโjustru membuat seorang beriman makin beriman dalam komunitas agama yang dianutnya.
Relasi ini kiranya bukan saja dalam tetapi juga suci. Pertemuan itu adalah semangat hidup yang indah. Dalam Perayaan Ekaristi Gereja Katolik, yang berhak membaca Injil adalah Pastor atau Uskup atau juga Diakon. Umat lain boleh membaca tetapi tidak dalam Ekaristi, kecuali kalau diberikan izin terlebih dahulu dari Pastor sebagai Pemimpin Perayaan.
Dalam relasi Pastor dan Imam Muslim ini, teks Injil itu menjadi makin suci. Boleh jadi, ada umat Katolik yang mencibir, bacaan Injil kok dibacakan oleh Imam Muslim. Atau sebaliknya, orang Islam berpikir, Imam Muslim kok membaca Kitab Sucinya orang kafir. Cibiran dan pikiran negatif ini memang ada. Biarlah mereka berpikir demikian. Sebab, mereka sebenarnya tidak mampu melihat keindahan dalam relasi ini.
Dalam peristiwa ini, kita justru diajak untuk masuk dalam keindahan yang lebih dalam. Bahwa relasi hidup antara pemeluk agama tidaklah dikekang oleh aturan ketat suatu agama atau juga oleh kata-kata provokasi dari para pemimpin agama yang tidak becus. Peristiwa Imam Abdessamad membaca Injil dalam Perayaan Misa di Gereja Katolik membuktikkan bahwa kita memang bersaudara meski agama kita berbeda. Teks suci justru mempersatukan dan bukan menciptakan suasana permusuhan.
Teladan Imam Abdessamad mengajak para Pemimpin Agama untuk selalu mawas diri, baik dalam kata-kata maupun dalam tindakan. Pemimpin agama seperti Abdessamad kiranya adalah model pemimpin agama yang dibutuhkan saat iniโtermasuk di Indonesia-Jakartaโdi mana sebagian Pemimpin Agama justru menampilkan sikap kurang bijaksana terhadap umat agamanya dan terhadap umat agama lain.
Dengan pertemuan yang menyatukan para pemeluk agama berbeda ini, masihkah kita berpikir bahwa agamaku saja yang benar ataukah berpendapat bahwa perbedaan agama tidak bisa menyatukan kita yang berbeda?
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
PRM, 19/3/2017
Gordi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H