Toleransi itu mungkin. Termasuk antara seorang Imam Muslim dan seorang Pastor Katolik. Di Italia, peristiwa itu benar-benar terjadi dan bukan hanya dalam berita. Inilah toleransi yang hidup, dan bukan toleransi sebagai perjanjian di atas kertas.
Suatu hari, Abdessamad Latfaoui (49) sedang mencari rumah untuk tempat tinggal di sekitar kota Asti, Provinsi Piemonte, Italia Utara. Tak disangka, pencariannya membuahkan hasil. Dan hasilnya amat mengejutkan. Dia menemukan sebuah rumah milik para Pastor Katolik dari Kongregasi Santo Yosef (Oblati di San Giuseppe). Para Pastor Giuseppini—demikian mereka sering dipanggil—memiliki sebuah Rumah Jompo “Monsignor Marello”. Di sini terdapat banyak kamar kosong. Kamar inilah yang mereka berikan untuk Abdessamad sebagai tempat tinggal.
Pertemuan ini amat menarik untuk disimak. Abdessamad adalah seorang Imam Muslim. Sebagai Imam, tanggung jawabnya besar. Hidup hariannya memang bersinggungan dengan kehidupan banyak kaum Muslim lainnya di sekitar kota Asti. Dia adalah penanggung jawab untuk 4500 orang muslim yang sudah tiba di Italia sejak 3 tahun lalu. Abdessamad mengunjungi mereka yang tinggal tersebar di beberapa tempat seperti di 3 tempat berdoa, di penjara, dan di rumah sakit.
Profesi Imam bagi Abdessamad berarti memerhatikan sesama kaum Muslim. Profesi inilah yang membuatnya melayani sesama kaum Muslim dari berbagai negara. Abdessamad berasal dari Casablanca (Maroko) namun dia bertemu dengan sesama Muslim dari Khorakhanè-Kosovo, Macedonia, Bosnia, dan Montenegro.
Pada umumnya, kaum Muslim yang dilayani Abdessamad masih bermasalah secara politis. Sebagain dari mereka belum mendapatkan kartu izin tinggal di Italia. Sebagian lagi sedang mengurus kartu izin dengan alasan sebagai pencari suaka politik, sebagian lagi dalam kesulitan secara ekonomi. Kehadiran Imam Abdessamad bagi mereka adalah oase di tengah hiruk-pikik masalah hidup yang mereka alami. Bagi mereka, Abdessamad bukan sekadar Imam tetapi juga bapak yang mendengar ocehan kehidupan mereka.
Abdessamad mempunyai hubungan yang baik dengan Para Pastor Giuseppini. Sebelum bertemu dengan kaum Muslim lainnya, dia sudah bekerja di rumah para pastor ini selama 3 tahun. Rentang waktu ini baginya adalah kesempatan untuk mengenal dunia Katolik secara umum dan dunia para Pastor Giuseppini secara khusus. Dari perkenalan ini, lahirlah kesempatan untuk saling membantu.
Sebagai pendatang, Abdessamad tidak ingin melupakan identitasnya. Dia tahu, kehidupan para pendatang tidaklah mudah. Hidup di negeri orang—baginya—berarti belajar budaya dan kebiasaaan warga setempat. Ini juga yang membuatnya mau menjadi penanggung jawab bagi para pendatang lainnya. Tugas ini juga membawanya pada pucuk pimpinan sebagai pemimpin agama untuk umat Muslim di Villa Quaglina.
Villa ini adalah tempat penampungan sekaligus penerimaan bagi para pendatang dari Timur Tengah milik pemerintah kota Asti. Bersama pemerintah kota, para pengelola villa saat ini sedang menyiapkan proyek pendidikan bagi pendatang. Kegiatan ini akan melibatkan para pendatang untuk belajar budaya, etika, dan masalah sosial di kota Asti dan sekitarnya.
Peran serta Abdessamad di tempat ini, membawanya pada pertemuan dengan tokoh Katolik. Di sinilah ia bertemu secara intens dengan beberapa pastor Giuseppini. Pastor Luigi Roasio adalah tempat referensi bagi Abdessamad. Keduanya hampir bertemu setiap hari. Terlebih lagi, Pastor Roasio selain sebagai ekonom juga mengemban tugas sebagai Penanggung Jawab Rumah Jompo di mana Abdessamad tinggal.
Melalui pertemuan ini, keduanya merasakan relasi yang hidup dan mendalam. Bukan saja relasi sebagai pemeluk 2 agama berbeda tetapi juga sebagai warga negara (nasional dan asing). Abdessamad merasakan indah dan begitu dalamnya pelayanan yang diberikan oleh para Pastor Giuseppini di Rumah Jompo. “Ini adalah rumah saya, saya sungguh tersentuh ketika kami bicara tentang tema ramah tamah yang saya terima dari para pastor. Saya menjadi orang khusus sekaligus contoh yang menginpirasi bagi teman-teman lainnya,” demikian komentar Abdessamad kepada jurnalis harian Avvenire. (Avvenire 17/2/2017)
Uskup Francesco Ravinale juga merasakan relasi yang hidup dan mendalam dengan Imam Abdessamad. Baginya, relasi ini adalah model yang baik bagi umat Katolik dan Muslim. Relasi ini akan membuat kedua komunitas beragama memperdalam iman mereka. Itulah sebabnya, Uskup Ravinale tetap yakin, meski mereka bertemu, kedua komunitas umat beragama tidak mencampuradukkan iman mereka. Pertemuan ini—sambung Ravinale—justru membuat seorang beriman makin beriman dalam komunitas agama yang dianutnya.
Relasi ini kiranya bukan saja dalam tetapi juga suci. Pertemuan itu adalah semangat hidup yang indah. Dalam Perayaan Ekaristi Gereja Katolik, yang berhak membaca Injil adalah Pastor atau Uskup atau juga Diakon. Umat lain boleh membaca tetapi tidak dalam Ekaristi, kecuali kalau diberikan izin terlebih dahulu dari Pastor sebagai Pemimpin Perayaan.
Dalam relasi Pastor dan Imam Muslim ini, teks Injil itu menjadi makin suci. Boleh jadi, ada umat Katolik yang mencibir, bacaan Injil kok dibacakan oleh Imam Muslim. Atau sebaliknya, orang Islam berpikir, Imam Muslim kok membaca Kitab Sucinya orang kafir. Cibiran dan pikiran negatif ini memang ada. Biarlah mereka berpikir demikian. Sebab, mereka sebenarnya tidak mampu melihat keindahan dalam relasi ini.
Dalam peristiwa ini, kita justru diajak untuk masuk dalam keindahan yang lebih dalam. Bahwa relasi hidup antara pemeluk agama tidaklah dikekang oleh aturan ketat suatu agama atau juga oleh kata-kata provokasi dari para pemimpin agama yang tidak becus. Peristiwa Imam Abdessamad membaca Injil dalam Perayaan Misa di Gereja Katolik membuktikkan bahwa kita memang bersaudara meski agama kita berbeda. Teks suci justru mempersatukan dan bukan menciptakan suasana permusuhan.
Teladan Imam Abdessamad mengajak para Pemimpin Agama untuk selalu mawas diri, baik dalam kata-kata maupun dalam tindakan. Pemimpin agama seperti Abdessamad kiranya adalah model pemimpin agama yang dibutuhkan saat ini—termasuk di Indonesia-Jakarta—di mana sebagian Pemimpin Agama justru menampilkan sikap kurang bijaksana terhadap umat agamanya dan terhadap umat agama lain.
Dengan pertemuan yang menyatukan para pemeluk agama berbeda ini, masihkah kita berpikir bahwa agamaku saja yang benar ataukah berpendapat bahwa perbedaan agama tidak bisa menyatukan kita yang berbeda?
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
PRM, 19/3/2017
Gordi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI