Beberapa petinggi kerajaan Eropa juga pernah singgah dan menetap di kota ini. Sebut saja beberapa di antaranya Ludovico Gonzaga I-III, keluarga bangsawan Canossa, Bonacolsi, dan sebagainya. Mantova memang menjadi seperti seorang remaja yang mencari-cari dan juga berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Peninggalan sejarah yang ada sekarang ini menjadi milik warga Mantova. Mereka mesti merawatnya karena menjadi bagian dari sejarah dan budaya nenek moyang mereka. Peninggalan itu misalnya beberapa palazzo, gedung gereja antik, 3 danau buatan, dan sebagainya.
Saya beruntung berkunjung ke kota Mantova ini pada tahun 2014 yang lalu. Saat itu, guru bahasa Italia kami mengajak kami ke sana. Kabut meliputi kota ini dan hujan mengguyur saat kami tiba. Dari Parma, kami sudah merasakan hujan ini. Musim dingin seakan-akan terus menunjukkan pada kami bahwa Mantova dan Italia juga Eropa memang sedang dingin. Apa boleh buat, kami dan guru bahasa Italia kami sudah menetapkan tanggal ini jauh-jauh hari sebelumnya.
Guru kami ini bercerita bahwa dia juga termasuk keturunan dari salah satu keluarga bangsawan kota ini. Anak matanya yang biru itu memang tidak bisa menyembunyikan statusnya sebagai turunan bangsawan. Dia juga sedang berbahagia karena berada di antara lelaki. Dia satu-satunya Hawa di antara para Adam ini. Tetapi, ini Italia. Bukan di Mesir sana yang membeda-bedakan peran laki dan perempuan. Di sini semuanya dipandang sepadan tetapi tetap menghormati perbedaan.
Sambil menunggu hujan reda, kami berputar di sekeliling danau buatan itu. Kami hanya berhasil mengelilingi satu di antara tiganya. Niat untuk berkeliling di dua lainnya surut lantaran macet sehingga tak cukup waktu.
Kami pun menuju tempat parkir yang terletak di sekitar Castello di San Giorgio. Ini adalah salah satu palazzo (rumah) bangsawan (dari keluarga Gonzaga) di Mantova. Palazzo ini dibangun pada abad XIV dan XV (1935-1406). Bangunannya megah. Salah satu sisi bangunannya menghadap ke tiga danau buatan itu. Di sinilah kami memarkir mobil kami.
Bagian luar gereja ini sedang direnovasi saat kami masuk. Masuk tanpa pungut biaya. Di dalam suasananya masih gelap. Hanya lampu lukisan yang menyala. Dilarang membuat rumor. Petugas jaga ada di setiap sudut. Rupanya masih dipakai sebagai tempat berdoa sehingga di altar gereja ini masih ada tanda-tanda akan ada misa.
Dari sini kami keluar dan menuju ke Gereja Katedralnya. Letaknya tidak jauh dari palazzo di san Giorgio. Hanya 15 menit berjalan kaki. Sebelum masuk gereja, kami melewati halaman gereja yang sekarang menjadi pasar mingguan. Di sini kami berjumpa dengan banyak imigran dari Timur Tengah dan Asia. Dari Timur Tengah biasanya dari Turki, Tunisia, Iran, dan sebaginya. Sebagian besar berbahasa Arab. Dari Asia berasal dari Banglades, India, dan Pakistan. Ada juga beberapa orang Cina.