Setiap tahun, pemerintah Italia memilih satu kota untuk menjadi ibu kota kebudayaan. Tahun lalu, 2015, ibu kota itu disandang oleh kota Ravenna, salah satu kota seni di Italia Utara. Tahun 2016, ibu kota ini berpindah ke kota Mantova, atau Mantua dalam literatur berbahasa Inggris.
Mantova sebagai The Italian Capital of Cultures tidak mau berhenti di level nasional. Mantova juga rupanya terus melejit ke tingkat yang lebih besar lagi. Dengan nominasi ini saja, Mantova sebenarnya menjadi terkenal di seluruh Italia. Namun, Mantova bak gadis remaja yang ingin terus merasa lebih. Mantova ingin meraih predikat di level Eropa. Dan level ini pun diraih. Mantova bersama beberapa kota di Regione Lombardia (Bergamo, Brescia, dan Cremona) akan menjadi The European Capital of Gastronomy pada tahun 2017.
Dengan predikat ini, Mantova akan menjadi terkenal lagi. Baik kiranya jika ditelisik sejauh mana Mantova menjadi terkenal dan apa yang membuatnya menjadi terkenal. Atau kalau mau lebih dalam lagi, mengapa dia menjadi ibu kota kebudayaan Italia di tahun 2016.
Pemilihan ibu kota kebudayaan ini memang menjadi komitmen pemerintah Italia. Setiap tahun ada 1 kota yang menjadi ibu kota kebudayaan. Tentu saja penilaian ini muncul dari tim yang dibentuk oleh pemerintah. Berbagai kriteria dibentuk, lalu berbagai penilaian dibuat oleh tim, sehingga akhirnya pemerintah menetapkan ibu kotanya.
Penilaian ini muncul dari berbagai sisi. Bisa saja karena kotanya belum maju secara budaya dan wisata. Bisa juga karena saking majunya tetapi pengunjungnya menurun. Juga alasan lainnya. Singkatnya, selalu ada alasan di balik pemilihan ini. Jadi, bukan karena kota Mantova mundur dari segi budaya, bukan juga karena terlalu maju, bukan dan bukan. Mantova dipilih karena berbagai pertimbangan tim pemilih.
Kota kecil dan besar sama-sama menuju ke arah yang lebih baik. Tentu saja di sini perlu perjuangan besar dari warga dan pemerintahnya. Kota besar seperti Roma misalnya tidak bisa disandingkan dengan Mantova yang kecil itu. Pemerintah daerah dan rakyat pun tahu kelemahan dan kelebihan kota mereka. Bersama pemerintah, mereka diajak untuk melihat, menemukan, mempelajari, dan memperbaiki berbagai persoalan di kota mereka. Maka, cinta akan kota itu memang tumbuh setelah bahu membahu membangun kota.
Kota Mantova adalah kota kecil. Dia bukan selevel dengan Napoli yang ibu kota Provinsi Campania di Italia selatan itu. Mantova hanya setingkat kabupaten seperti kota Bogor atau kota Labuan Bajo di Indonesia. Meski seperti kota Bogor dan Labuan Bajo, kota Mantova tidak kalah elit dari segi budaya dengan kota Napoli.
Kota Mantova hanya berpenduduk 48.671 pada tahun 2016. Penduduk yang sedikit ini memungkinkan kota ini untuk terus bersolek ria. Warganya dilatih untuk mengurus kota mereka secara mandiri. Tidak perlu ada perintah dari pemerintah pusat. Warga Mantova memang sudah turun temurun menjadi warga kaum bangsawan.
Beberapa petinggi kerajaan Eropa juga pernah singgah dan menetap di kota ini. Sebut saja beberapa di antaranya Ludovico Gonzaga I-III, keluarga bangsawan Canossa, Bonacolsi, dan sebagainya. Mantova memang menjadi seperti seorang remaja yang mencari-cari dan juga berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Peninggalan sejarah yang ada sekarang ini menjadi milik warga Mantova. Mereka mesti merawatnya karena menjadi bagian dari sejarah dan budaya nenek moyang mereka. Peninggalan itu misalnya beberapa palazzo, gedung gereja antik, 3 danau buatan, dan sebagainya.
Saya beruntung berkunjung ke kota Mantova ini pada tahun 2014 yang lalu. Saat itu, guru bahasa Italia kami mengajak kami ke sana. Kabut meliputi kota ini dan hujan mengguyur saat kami tiba. Dari Parma, kami sudah merasakan hujan ini. Musim dingin seakan-akan terus menunjukkan pada kami bahwa Mantova dan Italia juga Eropa memang sedang dingin. Apa boleh buat, kami dan guru bahasa Italia kami sudah menetapkan tanggal ini jauh-jauh hari sebelumnya.
Guru kami ini bercerita bahwa dia juga termasuk keturunan dari salah satu keluarga bangsawan kota ini. Anak matanya yang biru itu memang tidak bisa menyembunyikan statusnya sebagai turunan bangsawan. Dia juga sedang berbahagia karena berada di antara lelaki. Dia satu-satunya Hawa di antara para Adam ini. Tetapi, ini Italia. Bukan di Mesir sana yang membeda-bedakan peran laki dan perempuan. Di sini semuanya dipandang sepadan tetapi tetap menghormati perbedaan.
Sambil menunggu hujan reda, kami berputar di sekeliling danau buatan itu. Kami hanya berhasil mengelilingi satu di antara tiganya. Niat untuk berkeliling di dua lainnya surut lantaran macet sehingga tak cukup waktu.
Kami pun menuju tempat parkir yang terletak di sekitar Castello di San Giorgio. Ini adalah salah satu palazzo (rumah) bangsawan (dari keluarga Gonzaga) di Mantova. Palazzo ini dibangun pada abad XIV dan XV (1935-1406). Bangunannya megah. Salah satu sisi bangunannya menghadap ke tiga danau buatan itu. Di sinilah kami memarkir mobil kami.
Bagian luar gereja ini sedang direnovasi saat kami masuk. Masuk tanpa pungut biaya. Di dalam suasananya masih gelap. Hanya lampu lukisan yang menyala. Dilarang membuat rumor. Petugas jaga ada di setiap sudut. Rupanya masih dipakai sebagai tempat berdoa sehingga di altar gereja ini masih ada tanda-tanda akan ada misa.
Dari sini kami keluar dan menuju ke Gereja Katedralnya. Letaknya tidak jauh dari palazzo di san Giorgio. Hanya 15 menit berjalan kaki. Sebelum masuk gereja, kami melewati halaman gereja yang sekarang menjadi pasar mingguan. Di sini kami berjumpa dengan banyak imigran dari Timur Tengah dan Asia. Dari Timur Tengah biasanya dari Turki, Tunisia, Iran, dan sebaginya. Sebagian besar berbahasa Arab. Dari Asia berasal dari Banglades, India, dan Pakistan. Ada juga beberapa orang Cina.
Guru saya menengok ke arah saya saat kami lewat di depan stand orang Cina. Entah karena kami sama-sama Asia. Atau mungkin untuk menghangatkan suasana saja. Sebab, saat lewat di depan orang India, dia juga menengok ke arah teman saya dari Brasil. Entah ada kesamaan warna kulit. Cuaca dingin membuat kami cepat-cepat melangkah ke dalam Gereja.
Dari gereja ini, kami mampir di bar sambil menunggu gerimis reda. Guru kami sengaja bertanya pada kami tentang jenis minuman yang paling disukai. Ini sebenarnya bukan tujuan pertanyaan. Tujuaannya adalah mengasah kemampuan kami dalam menjawab dalam bahasa Italia. Jadi, perjalanan ini memang bukan sekadar jalan-jalan tetapi juga menjadi kesempatan untuk belajar. Termasuk belajar bahasa dan budaya dan sejarah bangsa Italia.
Setelah minum kopi hangat plus beberapa makanan hangat lainnya, kami bergegas ke palazzo T. Salah satu palazzo terkenal di Mantova. Sayangnya, kami tidak bisa masuk. Hujan terus mendera. Kami pun berhenti di pendopo setelah berlari dari halaman palazzo T yang luas itu. Dinamakan T karena bentuknya seperti huruf T.
Petualangan kami pun sampai di pendopo ini. Kami balik ke Parma. Dalam tempo 1,5 jam, kami tiba kembali di Parma. Terima kasih ya, grazie mille, Maestra.
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
PRM, 15/7/2016
Gordi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H