Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menikmati Kemolekan Mantova, Ibu Kota Kebudayaan Italia 2016

15 Juli 2016   16:50 Diperbarui: 16 Juli 2016   03:15 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
halaman palazzo T yang luas itu, kami harus berlari saat hujan mengguyur tiba-tiba


Setiap tahun, pemerintah Italia memilih satu kota untuk menjadi ibu kota kebudayaan. Tahun lalu, 2015, ibu kota itu disandang oleh kota Ravenna, salah satu kota seni di Italia Utara. Tahun 2016, ibu kota ini berpindah ke kota Mantova, atau Mantua dalam literatur berbahasa Inggris.

Mantova sebagai The Italian Capital of Cultures tidak mau berhenti di level nasional. Mantova juga rupanya terus melejit ke tingkat yang lebih besar lagi. Dengan nominasi ini saja, Mantova sebenarnya menjadi terkenal di seluruh Italia. Namun, Mantova bak gadis remaja yang ingin terus merasa lebih. Mantova ingin meraih predikat di level Eropa. Dan level ini pun diraih. Mantova bersama beberapa kota di Regione Lombardia (Bergamo, Brescia, dan Cremona) akan menjadi The European Capital of Gastronomy pada tahun 2017.

Dengan predikat ini, Mantova akan menjadi terkenal lagi. Baik kiranya jika ditelisik sejauh mana Mantova menjadi terkenal dan apa yang membuatnya menjadi terkenal. Atau kalau mau lebih dalam lagi, mengapa dia menjadi ibu kota kebudayaan Italia di tahun 2016.

Pemilihan ibu kota kebudayaan ini memang menjadi komitmen pemerintah Italia. Setiap tahun ada 1 kota yang menjadi ibu kota kebudayaan. Tentu saja penilaian ini muncul dari tim yang dibentuk oleh pemerintah. Berbagai kriteria dibentuk, lalu berbagai penilaian dibuat oleh tim, sehingga akhirnya pemerintah menetapkan ibu kotanya.

Penilaian ini muncul dari berbagai sisi. Bisa saja karena kotanya belum maju secara budaya dan wisata. Bisa juga karena saking majunya tetapi pengunjungnya menurun. Juga alasan lainnya. Singkatnya, selalu ada alasan di balik pemilihan ini. Jadi, bukan karena kota Mantova mundur dari segi budaya, bukan juga karena terlalu maju, bukan dan bukan. Mantova dipilih karena berbagai pertimbangan tim pemilih.

ujung yang lainnya
ujung yang lainnya
Pemilihan seperti ini memang bagus. Pemerintah ikut serta mengajak masyarakat untuk memerhatikan budaya sekaligus wisata. Boleh dibilang, pemerintahlah ujung tombak promosi budaya dan wisata itu. Tak satu kota pun merasa dirinya di depan atau di belakang untuk menjadi nominal ibu kota kebudayaan. Semua kota dipandang sepadan karena pemerintah daerah dan rakyatnya giat memperbaiki keadaan kota mereka. Jadi, rakyat yang memulai dan pemerintah yang memberi semangat.

Kota kecil dan besar sama-sama menuju ke arah yang lebih baik. Tentu saja di sini perlu perjuangan besar dari warga dan pemerintahnya. Kota besar seperti Roma misalnya tidak bisa disandingkan dengan Mantova yang kecil itu. Pemerintah daerah dan rakyat pun tahu kelemahan dan kelebihan kota mereka. Bersama pemerintah, mereka diajak untuk melihat, menemukan, mempelajari, dan memperbaiki berbagai persoalan di kota mereka. Maka, cinta akan kota itu memang tumbuh setelah bahu membahu membangun kota.

dari salah satu pendopo gedung palazzo T
dari salah satu pendopo gedung palazzo T
Tim pemilih ibu kota kebudayaan Italia tentu saja paham betul akan usaha pemerintah daerah dan warga ini. Maka, tim memang sebaiknya tidak berasal dari pemerintah daerah. Tim dengan kata lain harus independen. Kesan nepotismo pun dibuang jauh. Masyarakat kiranya puas dengan keputusan akhir dari tim. Inilah yang unik di Italia. Begitu keputusan tim diumumkan, ucapan selamat langsung datang dari berbagai kota. Tidak ada usaha menggugat apalagi protes ke tim agar mengubah keputusannya. Maka, setelah pemilihan itu, ibu kota terpilih akan terus bersolek demi mewujudkan predikat menjadi ibu kota. Kota lain terus mendukung dengan memperbaiki kota mereka.

Kota Mantova adalah kota kecil. Dia bukan selevel dengan Napoli yang ibu kota Provinsi Campania di Italia selatan itu. Mantova hanya setingkat kabupaten seperti kota Bogor atau kota Labuan Bajo di Indonesia. Meski seperti kota Bogor dan Labuan Bajo, kota Mantova tidak kalah elit dari segi budaya dengan kota Napoli.

Kota Mantova hanya berpenduduk 48.671 pada tahun 2016. Penduduk yang sedikit ini memungkinkan kota ini untuk terus bersolek ria. Warganya dilatih untuk mengurus kota mereka secara mandiri. Tidak perlu ada perintah dari pemerintah pusat. Warga Mantova memang sudah turun temurun menjadi warga kaum bangsawan.

danaunya berkabut, mendung
danaunya berkabut, mendung
Penduduk asli Mantova adalah orang-orang Etruschi. Lalu, datang juga orang-orang Celtic. Penduduk dari dua kelompok bangsawan besar ini diusir oleh kelompok kerajaan Romawi sekitar abad I sebelum Masehi. Saat Romawi berkuasa inilah hidup seorang Penyair terkenal dari Italia yakni Virgilio (70-19 SM).

Beberapa petinggi kerajaan Eropa juga pernah singgah dan menetap di kota ini. Sebut saja beberapa di antaranya Ludovico Gonzaga I-III, keluarga bangsawan Canossa, Bonacolsi, dan sebagainya. Mantova memang menjadi seperti seorang remaja yang mencari-cari dan juga berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Peninggalan sejarah yang ada sekarang ini menjadi milik warga Mantova. Mereka mesti merawatnya karena menjadi bagian dari sejarah dan budaya nenek moyang mereka. Peninggalan itu misalnya beberapa palazzo, gedung gereja antik, 3 danau buatan, dan sebagainya.

Saya beruntung berkunjung ke kota Mantova ini pada tahun 2014 yang lalu. Saat itu, guru bahasa Italia kami mengajak kami ke sana. Kabut meliputi kota ini dan hujan mengguyur saat kami tiba. Dari Parma, kami sudah merasakan hujan ini. Musim dingin seakan-akan terus menunjukkan pada kami bahwa Mantova dan Italia juga Eropa memang sedang dingin. Apa boleh buat, kami dan guru bahasa Italia kami sudah menetapkan tanggal ini jauh-jauh hari sebelumnya.

masih kabut juga, dari sisi yang lainnya
masih kabut juga, dari sisi yang lainnya
Rasa dingin ini tidak menyurutkan niat kami. Kami berusaha untuk tidak kalah dari rasa dingin. Jaket musim dingin, topi, kaus tangan, dan syal pun dibawa serta. Dalam mobil, rasa dingin ini dibius oleh penghangat mobil. Laju mobil terus kencang. Sopir yang adalah guru kami ini memang terbiasa ngebut di jalanan. Apalagi dia kiranya sedang berbahagia mengantar kami orang asing ini ke kota nenek moyangnya.

Guru kami ini bercerita bahwa dia juga termasuk keturunan dari salah satu keluarga bangsawan kota ini. Anak matanya yang biru itu memang tidak bisa menyembunyikan statusnya sebagai turunan bangsawan. Dia juga sedang berbahagia karena berada di antara lelaki. Dia satu-satunya Hawa di antara para Adam ini. Tetapi, ini Italia. Bukan di Mesir sana yang membeda-bedakan peran laki dan perempuan. Di sini semuanya dipandang sepadan tetapi tetap menghormati perbedaan.

Sambil menunggu hujan reda, kami berputar di sekeliling danau buatan itu. Kami hanya berhasil mengelilingi satu di antara tiganya. Niat untuk berkeliling di dua lainnya surut lantaran macet sehingga tak cukup waktu.

Kami pun menuju tempat parkir yang terletak di sekitar Castello di San Giorgio. Ini adalah salah satu palazzo (rumah) bangsawan (dari keluarga Gonzaga) di Mantova. Palazzo ini dibangun pada abad XIV dan XV (1935-1406). Bangunannya megah. Salah satu sisi bangunannya menghadap ke tiga danau buatan itu. Di sinilah kami memarkir mobil kami.

Bagian dalam Gedung Gereja Katedral kota Mantova
Bagian dalam Gedung Gereja Katedral kota Mantova
Target kami bukan palazzo ini karena dari luar kami bisa melihat sekeliling palazzo ini. Tinggal masuk saja kalau mau melihat bagian dalam. Kami pun memutuskan untuk melihat yang lain misalnya Gereja Katedralnya. Juga salah satu Gereja terkenal yakni Gereja Santo Stefanus.

Bagian luar gereja ini sedang direnovasi saat kami masuk. Masuk tanpa pungut biaya. Di dalam suasananya masih gelap. Hanya lampu lukisan yang menyala. Dilarang membuat rumor. Petugas jaga ada di setiap sudut. Rupanya masih dipakai sebagai tempat berdoa sehingga di altar gereja ini masih ada tanda-tanda akan ada misa.

Dari sini kami keluar dan menuju ke Gereja Katedralnya. Letaknya tidak jauh dari palazzo di san Giorgio. Hanya 15 menit berjalan kaki. Sebelum masuk gereja, kami melewati halaman gereja yang sekarang menjadi pasar mingguan. Di sini kami berjumpa dengan banyak imigran dari Timur Tengah dan Asia. Dari Timur Tengah biasanya dari Turki, Tunisia, Iran, dan sebaginya. Sebagian besar berbahasa Arab. Dari Asia berasal dari Banglades, India, dan Pakistan. Ada juga beberapa orang Cina.

Guru saya menengok ke arah saya saat kami lewat di depan stand orang Cina. Entah karena kami sama-sama Asia. Atau mungkin untuk menghangatkan suasana saja. Sebab, saat lewat di depan orang India, dia juga menengok ke arah teman saya dari Brasil. Entah ada kesamaan warna kulit. Cuaca dingin membuat kami cepat-cepat melangkah ke dalam Gereja.

pasar di halaman bagian depan Gereja
pasar di halaman bagian depan Gereja
Gereja ini juga termasuk peninggalan sejarah dari abad XIV sampai XV. Masih di zaman keluarga bangsawan Gonzaga. Gereja berpelindung Santo Petrus Rasul ini memang masih bertahan hingga saat ini. Berarti umurnya sekaran menjadi 7 abad. Gereja ini dibangun dengan model arsitek Romano. Jadi, jangan heran jika di dalamnya ada banyak tiang kokoh atau collonadalam bahasa Italia.

Dari gereja ini, kami mampir di bar sambil menunggu gerimis reda. Guru kami sengaja bertanya pada kami tentang jenis minuman yang paling disukai. Ini sebenarnya bukan tujuan pertanyaan. Tujuaannya adalah mengasah kemampuan kami dalam menjawab dalam bahasa Italia. Jadi, perjalanan ini memang bukan sekadar jalan-jalan tetapi juga menjadi kesempatan untuk belajar. Termasuk belajar bahasa dan budaya dan sejarah bangsa Italia.

Setelah minum kopi hangat plus beberapa makanan hangat lainnya, kami bergegas ke palazzo T. Salah satu palazzo terkenal di Mantova. Sayangnya, kami tidak bisa masuk. Hujan terus mendera. Kami pun berhenti di pendopo setelah berlari dari halaman palazzo T yang luas itu. Dinamakan T karena bentuknya seperti huruf T.

salah satu sisi dari Kastil San Giorgio, Mantova, Italia, Semua FOTO dokpri
salah satu sisi dari Kastil San Giorgio, Mantova, Italia, Semua FOTO dokpri

Petualangan kami pun sampai di pendopo ini. Kami balik ke Parma. Dalam tempo 1,5 jam, kami tiba kembali di Parma. Terima kasih ya, grazie mille, Maestra.

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

PRM, 15/7/2016

Gordi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun