Leher leher berkalung mimpi sibuk melukis fajar,
matahari dan dedaunan lalu menjelma jilatan api,
Lautan keruh,
orang orang yang lapar, saling mencakar
mukanya sendiri, dengan barisan berujung panjang
memanggul warna senja dan bertelanjang kaki,
lehermu dan leher leher kita,
tercemar oleh fajar yang ia lukis
dan kita di ombang ambing suara jaman
angin musim,
mencekik urat urat dalam leher kita
lalu tangan kita mencengkram rambutnya,
bergelantungan di leher leher kepalsuan
duh..belenggu rantai di tangan kita,
lama memasung kepala.
lantaran leher leher itu menghembus angin panas,
menutupi lukamu dengan lukanya.
duh...fajar yang mulai menyingsing,
cahayamu memancar kepada tunas yang lesu
karna ia begadang menunggu hujan,
matanya menjadi buta warna
kelak kembangnya menebar aroma kegelapan.
O..matahari pagi yang gemilang,
aku memandangmu melenggak lenggokkan cuaca,
selincah leher leher berkalung mimpi,
mementaskan adegan cakrawala berkalung senja
dan ambisi,
O...aku terkesima,
lantaran rantai mimpimu menjerat matahari yang telanjang,
sampai angin kemarau enggan pulang.
***
Gorontalo, 13 Okt 2018
Rasull abidin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI