Perdebatan diskursus, kedok pengalihan isu. Tak bisa dibiarkan berlarutlarut, tenggat waktu tak cukup menghentikan aroma perubahan bentuk dari simbol anonim. Realitas menjawab fakta terkunci.
Keterasingan daya pikir membuncah, seolaholah penemuan warna baru. Pertanyaan menerima banyak jawaban, dari berbagai pihak. Mereka, berganti rupa serentak dalam waktu cepat mencoba cuci tangan, haluan mengalami perubahan adaptif, bumerang awal terpecah, metafora abstraksi terancam revolusi. Â
**
"Siapa dikorbankan."
"Belum jelas benar."
"Belum terungkap."
"Lakukan manuver tercepat."
"Jangan korbankan ideologi."
"Terlambat, mereka seperti bunglon."
"Manuver sedang berlangsung."
"Hanya ada satu cara."
"Komitmen awal."
"Juga sudah bergeser."
Duks! Duks! Memukul tembok berkli-kali. "Sialan!"
"Amuk tak menyelesaikan masalah."
"Kita terjebak konspirasi."
"Belum tentu. Mereka menyebar berbagai isu."
"Kaum partisan baru, bermunculan, di lini tengah."
"Data?"
"Aman," keduanya tampak semakin intens, berdialog secepat pikiran.
"Pergerakan dari dalam keluar. Kau sebaliknya," telepon genggam keduanya berdering, mereka saling memberi tanda. Dering telepon mati. Keduanya menghancurkan telepon, krack!
"Teledor kita, ada satelit."
"Maaf, sialan. Move!" mereka serentak bergerak terpisah.
**
Kesimpangsiuran informasi. Apakah tujuan kaum kesetiaan masih valid? Sebuah pertanyaan, misteri dari materi pergerakan, sebelum pecah. People power, mampukah dicegah? Jika itu terjadi kekacauan akan membabi buta. Penyusupan telah menyebar, menurut kabar terakhir. Keraguan pada kehadiran warna baru, signifikan untuk segera dibasmi, dengan cara apapun, namun akan berakibat pada situasi makin kritis, mampu mempercepat kekacauan.
Dilema tak lagi perlu dipertimbangkan ketika kekuasaan mendesak keadilan menjadi sebaliknya, di sana ruang pemicu argumentatif kelompok bayangbayang, para pengintip kesempatan meneteskan air liur triliun tanpa batas. Mengais lapar pada ranah tamak mengembang bagai ledakan nuklir, maka ismeisme gulung tikar, metafora kaum partisan bermunculan, seolaholah serba baru sebalik, sebenarnya serupa pola lama ketika kehendak menjarah kepentingan publik.
Di sana letak berbagai kemungkinan, kedendak personal ataupun kelompok, tak lagi mewakili kepentingan umum, ketika triliun menggiurkan. Lantas cara virus amuba kamuflase pemusnah massal berlaku tak peduli. Ketika kata 'Tuhan' ternisbikan, rumahrumah ibadah ada tiada, ambisi manusia menuhankan dirinya. Awalmula munculnya diktatorisme, fasisme, komunalisme, demokrasi impor di ranah itupun, telah menjadi keset berkaca buram-kalah telak di kanvaskan, knock out, tak'kan pernah bangkit lagi.
**
"Aku, masuk jalur. Pertemuan kesetiaan, tuntas," menjelaskan panjang lebar, terutama penyebaran pencegahan people power tengah berjalan.
"Stabilitas?"
"Prediksi negatif."
"Narahubung?"
"Mati semua."
"Sialan. Move. Sampai jumpa."
"Terminal bawah tanah distrik 56."
"Oke."
**
Tanah bergerak, mengguncang. Ledakan serentak menggelegar, di berbagai daerah, tsunami naik kepermukaan. Serangan debu vulkanik berbaur batu laiknya hujan deras. Terpana hati tak sempat mencapai kesadaran. Bencana iklim, lingkungan, tampaknya menyampaikan kesempurnaan kehidupan, entah apa makna di balik pesan alami itu. Kehancuran, nalar tak mampu memprediksi, keserentakan gerakan alam.
Korban, beterbangan, bergelimpangan, terpentalpental, menggunung sampah peradaban. Tak mampu menghitung jari digital. Satelit meledak, frekuensi terganggu, daya gravitasi menurun cepat, sangat mungkin bumi meledak mungkin serentak planet-planet. Alam semesta gelap gulita. Kios dunia gamers mendadak mati lampu. Belum bayar listrik tiga bulan. Â
"Hei! Jangan kabur. Bayar dulu!" Suara pemilik kios.
"Gelap Bang! Ngutang dulu!"
***
Jakarta Kompasiana, Agustus 11, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H