Cerpen Monokrom (Part 2). Lanjutan Cerpen Monokrom sebelumnya. Cerita tentang kita, setelah peristiwa itu terjadi. Mereka tetap hidup di antara publik. Salam baik saudaraku.
***
Peristiwa. Sudut Kota Lain. Siang.
Kehidupan berjalan sebagaimana mestinya. Budaya, teknologi perkotaan meriah, karnaval semarak beragam rupa. Gaya hidup pilihan, bagian dari kebebasan menentukan nasibnya sendiri. Gemerlap papan reklame digital tak jemu informasi memandang, dipandang, tersenyum, tertawa riang gembira. Minuman ringan bergaya pop, Â berjas pink, bercelana ungu muda. Berbunga-bunga merona memikat.
"Copet! Copet!" Suara saling berteriak. Memaki, amarah siang malam menjadi satu. Kejar mengejar, massal. Ramailah sebuah kerumunan di trotoar jalan kota. Lolos, berkelit, meloncat, terbang berlari kian kemari tumpang tindih suara-suara kota.
"Aku bilang aku minta putus. Titik!"
"Apa alasannya?"
Perdebatan pinggir jalan, dua sejoli asmara bergincu, hijau tua, merah menyala, kuning langsat, biru kronis, sepia pedih sedih sekali, di kafe, resto, warung-warung, angkringan, stasiun, halte bus, tempat nangkring kapan saja sesuka hati, sesuai kantong. Ramailah hidup berwarna, tak sewarna kata hati, komitmen kalau besok tak lupa. Kalau ingat jumpa kembali. Bye bye love, cintrong meradang waktu.
'"Dor! Dor!" tembakan melumpuhkan sosok itu. Terkapar mati pelipisnya bolong.
"Dia, buronan paling dicari."