Zirah Sangkala Hipokrisi.
Suluk Sekarjagad
Cinta hidup di antara manipulasi nurani, kabur berkelit sembunyi dalam samudra jelaga. Amarah, berimbang pesona estetis, ketika, magma menekan sukma.
Aku, besi. Aku bara. Ambang kinanti tak bertepi. Kesabaran seluas langit tak mampu mencipta syair rembulan. Jagat Dewa Batara, aku, melanggar sumpahku, mencuci rambutku dengan darah pengkhianat.
***
Sekarjagad Trembesi, usai memenggal kepala, Sanbi-dianggap berkhianat pada kelompok Bunga Nuansa. Risiko bermakna, Sekarjagad Trembesi, akankah kehilangan Gobin.
Apa boleh buat kekasih bisa dipungut kapan saja. Ini persoalan ideologi, kehormatan harus dijaga, kesucian Partai Bunga Nuansa di kawasan para kesatria utama di lingkar satu kekuasaan maharaja.
Memenggal kepala, Sanbi, bagi Sekarjagad Trembesi, merupakan tugas kesetiaan.
***
Gobin Santosan, tafakur di ujung Gunung Mahameru. Memaknai peristiwa pemenggalan kepala, Sanbi. Apa betul, dia, pengkhianatnya.
"Apa mungkin, Sanbi, adik perguruanku, melakukan perbuatan sehina itu. Kawasan para kesatria sedang marak menunggu lahirnya putra mahkota, dianggap menjadi ancaman bagi stabilitas Partai Bunga Nuansa."
Menghela napas amat dalam. "Isu menduga, itu hasil perselingkuhan politik permaisuri dengan Partai Padma Biru." Sukma Gobin Santosan, berdialog dengan kembaran, di jiwanya.
***
Syair air sukma
Larung nestapa menyulap nuansa
Satria akar ilalang syair rembulan
Para serat kekasih menyimpan senyap
Mata air hening ning meluas lautan
Sanbi, harus dipenggal karena dia mengetahui peta perselingkuhan politik permaisuri dengan Partai Padma Biru. Apa mungkin, Sanbi, tega tidak menceritakan hal itu pada Gobin? Pertanyaan itu semakin memburu, Gobin.
Permaisuri kini dalam tahanan pribadi Pangeran Cempaka Wungu. Penjagaan di sekitar wilayah itu dipagari para Kesatria Kuning dari Asia Besar, sejajar hingga perbatasan Benua Biru. Menguasai ilmu sakti Delapan Pintu Dewa Buta, kekuatan tak tertandingi.
Belum pernah ada kesatria, mampu menembus pagar imaji Delapan Pintu Dewa Buta. Berhadapan dengan Kesatria Kuning seperti memukul cahaya, mati satu tumbuh berkali-kali, semakin banyak.
Â
"Guru belum, mewariskan pelajaran, Kitab Nagasabrang Dieng, dari Begawan Wiwaha, satu-satunya manusia aneh bisa merapal mantra Jalayudha Gautama, mantra dari kitab Empu Kajenar, beliau salah satu wali dari jazirah jauh, memiliki kekuatan 'Dat Ilahiah', apa dayaku." Gobin masih berdialog dengan sukma kembarnya.
"Kali ini aku tidak mengerti, Sanbi, mengapa kamu bisu padaku. Mengapa, kau, rela tanpa perlawanan. Sanbi, seperti kehilangan daya juangnya." Kalimat itu tiba-tiba ada di benak, Gobin. Ada jawaban hadir seakan-akan di antara logika jungkir balik di kepala, Gobin.
"Sanbi, ditangkap, tanpa perlawanan, dipenggal tanpa perlawanan. Guru, tidak pernah membedakan ilmu untuk kami, serupa namun kasat mata tampak tak sama. Guru, sujud sukma. Hamba perlu pertolongan." Nurani Gobin, terus berdialog dengan kembaran sukmanya dalam diri.
"Setiap mengajar guru senantiasa memakai zirah perak berkilat-kilat di cahaya malam, siang tak tampak berkilatan. Zirah itu, konon, pemberian Mahaguru Langit Waskita. Guru ada namun tampaknya tiada. Itu cara guru mengajar kami." Gobin masih berdialog dengan sukmanya.
***
Syair nurani bening
Interlud, merongga nurani kala Â
Dat Ilahiah, penerang multisemesta
Berjuta rebulan, berjuta matahari
Bertingkat langit, hamba bersujud
Cuaca Mahameru, merah darah matahari tunggang gunung menerpa wajah, Gobin. Malam memeluk sunyi. Bunga edelweiss memancarkan sinar rembulan pada pospor alami, terang pelahan menuju gemerlap kunang-kunang beribu cahaya bintang-bintang di langit.
Gobin, ada di antara terang itu. Di antara aura-multiwarna. Gobin, berdiri tegap memancarkan sinar media meditasi di iklim sakti Meta Ekologi Jiwa Semesta. Puncak dari kekuatan Jiwa Gautama.
Gobin, merasa melayang-layang, entah badan atau ruhnya tampak menuju langit, tapi mirip cahaya multiwarna di sekitar. Gobin menghadapi rentang waktu. Antara waktu kini ke waktu akan datang menuju putaran waktu awal.
Gobin tengah memaknai kesaktian ilmu Iman Kawula Jagad, suatu sikap meditatif setara kekuatan ruh Jagat Raya. Adalah sikap dapat membunuh diri bahkan tubuh, akan meledak berkeping-keping, ruh sirna bersejajar waktu paralel. Jika suci hati tak dimiliki oleh kesatria pelakunya.
Itu cara satu-satunya mencari jawaban dari Jagat Raya, di ranah hukum Ilahiah, meski berisiko besar. Tubuh harus menjadi alam sekaligus ruh, sebaliknya alam menjadi tubuh sekaligus ruh. Sanbi, memiliki kekuatan itu, warisan sejak lahir, meneruskan trah ibu juga ayahnya, titisan Dewa Langit.
***
Syair gelombang megatruh
Malam tak bernama, waktu merubah akal
Sang Hyang Gusti Pangeran. Ampunan-Mu
Aku lemah, ruhku kembali ke asal
Sirna segala khilaf, ikhlas...
Berbagai multicahaya bersekutu dengan supercahaya alam, membentuk gumpalan hipercahaya, berbagai warna. Merubah diri sesaat, perdetik pelahan. Menjadi wujud sosok cahaya-mayapada lestari bercercah-cercah, berbias-bias, nuansa gemerlapan dalam tematik idiom hiperwarna semburat menohok langit.
Gobin, bagaikan menyaksikan skala sublimasi transendental 'Dat Alahiah'. Memberi pencerahan jawaban. Semakin jelas, menjelma sosok dikenalnya, rinci saksama. Gobin, amat menghormati sosok itu.
Gobin, berusaha berlapis sukma mewujud gaib, perubahan supersakti itu, bak tekno abstraksi frekuensi hologram terbarukan, dunia modern nun di sana, di balik semesta jauh, mungkin pada ketika nanti dia akan sampai di sana. Gobin, perlahan meredakan nuansa meditasinya.
"Guru! Izinkan, hamba menuntut balas." Suara dari sukmanya pada frekuensi tinggi. Suara guru menggema di sukmanya. Hanya Gobin, mampu mendengar suara itu berangsur sirna perlahan.
Tak lama, Gobin meleburkan diri di frekuensi Jagat Raya. Tanah bergetar bak gempa menyalak. Pegunungan gonjang-ganjing. Lautan mengombak gigantik. Karma, bagaikan menelan jagat peradaban. Barangkali, hanya dalam mimpi, sebatas ranah meditasi. Gobin Santosan, dia menyirna.
***
Jakarta Kompasiana, Juli 26, 2024
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.
Sastra Fiksi-Mampu melukiskan dunia imaji-sains, seluas semesta. Tak melupakan seni dramatik, satire, komedi, romantik, bangsawan, stambul, tekno, kontemporer, lanjutan kemodernan. Meski tampaknya terbalut tradisi, epik, roman, beraroma tanwujud imajinatif. Tradisi, melahirkan pascamodern-keilmuan lanjutan. Salam baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H