Berbagai multicahaya bersekutu dengan supercahaya alam, membentuk gumpalan hipercahaya, berbagai warna. Merubah diri sesaat, perdetik pelahan. Menjadi wujud sosok cahaya-mayapada lestari bercercah-cercah, berbias-bias, nuansa gemerlapan dalam tematik idiom hiperwarna semburat menohok langit.
Gobin, bagaikan menyaksikan skala sublimasi transendental 'Dat Alahiah'. Memberi pencerahan jawaban. Semakin jelas, menjelma sosok dikenalnya, rinci saksama. Gobin, amat menghormati sosok itu.
Gobin, berusaha berlapis sukma mewujud gaib, perubahan supersakti itu, bak tekno abstraksi frekuensi hologram terbarukan, dunia modern nun di sana, di balik semesta jauh, mungkin pada ketika nanti dia akan sampai di sana. Gobin, perlahan meredakan nuansa meditasinya.
"Guru! Izinkan, hamba menuntut balas." Suara dari sukmanya pada frekuensi tinggi. Suara guru menggema di sukmanya. Hanya Gobin, mampu mendengar suara itu berangsur sirna perlahan.
Tak lama, Gobin meleburkan diri di frekuensi Jagat Raya. Tanah bergetar bak gempa menyalak. Pegunungan gonjang-ganjing. Lautan mengombak gigantik. Karma, bagaikan menelan jagat peradaban. Barangkali, hanya dalam mimpi, sebatas ranah meditasi. Gobin Santosan, dia menyirna.
***
Jakarta Kompasiana, Juli 26, 2024
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.
Sastra Fiksi-Mampu melukiskan dunia imaji-sains, seluas semesta. Tak melupakan seni dramatik, satire, komedi, romantik, bangsawan, stambul, tekno, kontemporer, lanjutan kemodernan. Meski tampaknya terbalut tradisi, epik, roman, beraroma tanwujud imajinatif. Tradisi, melahirkan pascamodern-keilmuan lanjutan. Salam baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H