Mohon tunggu...
Taufan S. Chandranegara
Taufan S. Chandranegara Mohon Tunggu... Buruh - Gong Semangat

Kenek dan Supir Angkot

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Amaran Langit

26 Juli 2024   05:54 Diperbarui: 26 Juli 2024   05:56 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apa mungkin, Sanbi, adik perguruanku, melakukan perbuatan sehina itu. Kawasan para kesatria sedang marak menunggu lahirnya putra mahkota, dianggap menjadi ancaman bagi stabilitas Partai Bunga Nuansa."

Menghela napas amat dalam. "Isu menduga, itu hasil perselingkuhan politik permaisuri dengan Partai Padma Biru." Sukma Gobin Santosan, berdialog dengan kembaran, di jiwanya.

***

Syair air sukma

Larung nestapa menyulap nuansa
Satria akar ilalang syair rembulan
Para serat kekasih menyimpan senyap
Mata air hening ning meluas lautan

Sanbi, harus dipenggal karena dia mengetahui peta perselingkuhan politik permaisuri dengan Partai Padma Biru. Apa mungkin, Sanbi, tega tidak menceritakan hal itu pada Gobin? Pertanyaan itu semakin memburu, Gobin.

Permaisuri kini dalam tahanan pribadi Pangeran Cempaka Wungu. Penjagaan di sekitar wilayah itu dipagari para Kesatria Kuning dari Asia Besar, sejajar hingga perbatasan Benua Biru. Menguasai ilmu sakti Delapan Pintu Dewa Buta, kekuatan tak tertandingi.

Belum pernah ada kesatria, mampu menembus pagar imaji Delapan Pintu Dewa Buta. Berhadapan dengan Kesatria Kuning seperti memukul cahaya, mati satu tumbuh berkali-kali, semakin banyak.
 
"Guru belum, mewariskan pelajaran, Kitab Nagasabrang Dieng, dari Begawan Wiwaha, satu-satunya manusia aneh bisa merapal mantra Jalayudha Gautama, mantra dari kitab Empu Kajenar, beliau salah satu wali dari jazirah jauh, memiliki kekuatan 'Dat Ilahiah', apa dayaku." Gobin masih berdialog dengan sukma kembarnya.

"Kali ini aku tidak mengerti, Sanbi, mengapa kamu bisu padaku. Mengapa, kau, rela tanpa perlawanan. Sanbi, seperti kehilangan daya juangnya." Kalimat itu tiba-tiba ada di benak, Gobin. Ada jawaban hadir seakan-akan di antara logika jungkir balik di kepala, Gobin.

"Sanbi, ditangkap, tanpa perlawanan, dipenggal tanpa perlawanan. Guru, tidak pernah membedakan ilmu untuk kami, serupa namun kasat mata tampak tak sama. Guru, sujud sukma. Hamba perlu pertolongan." Nurani Gobin, terus berdialog dengan kembaran sukmanya dalam diri.

"Setiap mengajar guru senantiasa memakai zirah perak berkilat-kilat di cahaya malam, siang tak tampak berkilatan. Zirah itu, konon, pemberian Mahaguru Langit Waskita. Guru ada namun tampaknya tiada. Itu cara guru mengajar kami." Gobin masih berdialog dengan sukmanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun