Dormar, tamat mengubur semua senjata lengkap perburuan. Dia menepati janji pada ibunya. “Waktu telah terkubur. Maafkan aku Ibu”, suaranya perlahan, bagai tertekan oleh entah apa.
Dormar, senantiasa ziarah ke pusara Ibunda. Terisak-isak. Meraung sejadi-jadinya, berteriak sesuka dirinya, di tengah ladang tebu liar berhutan huma bekas pabrik gula kolonial, tak jauh dari rumahnya.
Dia, anak tunggal. Ayahnya wafat gantung diri di penjara, malu berprofesi palsu bermoral palsu, telah merugikan hak-hak khalayak, bahkan pacar gelapnya ikut mati bunuh diri.
Dormar, membiayai pengobatan ibunya, selama menderita penyakit kronis. Ibu, amat dihormati sepenuh kasih sayangnya, meski akhirnya wafat jua.
***
Lagi, empat mayat, mengapung di sungai, ditemukan bersama barang bukti, empat laptop berikut perangkat tenung manipulasi profesional, berceceran di sekitar sungai, batas hutan Megapolis.
Penyidik tetap bertemu jalan buntu. Sulit menguak, siapa penembak supermisterius. Pihak keamanan, terus menerus mendapat info, lagi, ditemukan para mayat, di duga korban berperilaku sama, plus barang bukti, perangkat teknologi mutakhir.
Telah sekian lama, sejak Dormar, mengubur semua senjata perburuan. Kematian misterius-konsisten berlangsung. Korban, sosok kejahatan tingkat tinggi, sekaligus, pelaku tenung manipulasi profesional, mati satu persatu. Dormar, mungkin telah di telan bumi.
***
Jakarta Kompasiana, Juli 18, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H