Najwa Shihab menanyakan pertanyaan yang sama, seberapa teryakinkah anda (Maruarar dan Fadli Zon) dengan orasi kubu lawannya. Maruarar menegaskan, bahwa dalam posisi kami (yaitu Maruarar dan Fadli Zon) tentu sudah sangat meyakini dengan capresnya masing-masing. Maruarar kemudian melanjutkan orasi yang tadi terpotong, yang tidak berhubungan lagi dengan pertanyaan. (Inilah omong kosong Maruarar, menghabiskan waktu yang seharusnya dipakai oleh Fadli Zon menjawab pertanyaan yang sama dari Najwa Shihab).
Maruarar menyatakan, Jokowi adalah orang yang berproses. Pemimpin itu bagaimana dia jadi walikota, dia melakukan pelayanan publik, kesehatan, pendidikan. Bagaimana Solo – kata Maruarar – diakui tidak hanya oleh warga Solo tetapi juga oleh warga Indonesia bahkan internasional. Begitu banyak penghargaan yang didapatkan bahkan termasuk walikota terbaik di dunia. Pada saat gubernur, Jokowi – klaim Maruarar – menghasilkan begitu banyak perubahan. Makanya – kata Maruarar – Fadli Zon mau mendukung jadi gubernur. Kalau track record-nya bagus di Solo, tidak mungkin tidak didukung. Jadi jelas, sebagai gubernur, Jokowi juga melakukan perubahan. Ada KJS, KJP.
Giliran selanjutnya adalah Fadli Zon. Dia mengungkapkan ciri-ciri pemimpin ambisius yaitu dia belum menyelesaikan tugasnya, tetapi kemudian mau menyelesaikan tugas yang lain Kalau janjinya 5 tahun ya 5 tahun diselesaikan. Itu namanya tidak ambisius. (Sebuah sindiran telak dari Fadli Zon kepada Maruarar sebagai pendukung Jokowi).
Sayangnya, waktu mengungkapkan pemimpin ambisius ini, Maruarar langsung memotong omongan Fadli Zon kemudian berbicara yang tidak substantif untuk mengganggu Fadli Zon. Maruarar terpancing dengan pernyataan cerdas – bernas dari Fadli Zon.
Fadli Zon juga mengungkapkan bahwa dalam memberikan dukungan kepada Jokowi waktu di pilkada 2012 ternyata banyak fakta yang baru diketahui di kemudian hari. Misalnya, PAD di Solo yang ternyata terus menurun dari tahun ke tahun. Maruarar kembali memotong ucapan Fadli Zon dengan mengatakan “Kalau nggak, nggak jadi walikota terbaik di dunia” yang langsung dibalas Fadli Zon bahwa kontes walikota terbaik dunia itu hanyalah karangan saja. Penghargaan walikota terbaik dunia bukan berasal dari institusi resmi, melainkan dari organisasi abal-abal saja.
Najwa memberikan pertanyaan kedua, yaitu tentang 3 kriteria kepemimpinan; rekam jejak, karakter personal dan visi-misi.
Fadli mengulas soal Prabowo. Karakter Prabowo – kata Fadli – adalah apa adanya. Dari latar belakangnya yang militer, Prabowo adalah orang yang berani, tegas dan disiplin. Prabowo selalu mengatakan, bedanya gerombolan dengan tentara itu disiplin. Sehingga kedisiplinan itu menjadi satu faktor yang penting. Oleh publik, Prabowo dianggap emosional. Tidak. Tidak seperti itu. Itu masalah gaya. Bung karno adalah seorang yang sangat temperamental, dalam arti yang lain. Bung Karno kalau marah bilang, Amerika kita setrika Inggris kita linggis.
Dari sudut pandang Maruarar tentang karakter Prabowo, Maruarar bilang, bahwa semua hal tentang sosok Prabowo dan Jokowi sudah terbuka di media sosial. Tentang persepsi publik soal Prabowo yang temperamental dan melakukan kekerasan, jujur itu ada di publik – kata Maruarar.
Kemudian, Najwa membahas soal isu negatif yang menimpa Jokowi. Yaitu capres boneka dan tunduk dengan kepentingan asing. Maruarar menjawab bahwa hal itu tidak perlu dijawab dengan omongan tetapi dengan tindakan. Dia mencontohkan soal bantuan dari pihak asing, tidak perlu mengatur-ngatur pihak asing itu. (Sayangnya, Maruarar tidak membantah isu bahwa Jokowi adalah capres boneka. Yang dia jawab adalah isu mengenai Jokowi tunduk pada kepentingan asing. Tampaknya, Maruarar lupa bahwa yang memberikan pernyataan tentang tidak bolehnya pihak asing mengatur-atur bantuan yang diberikan adalah Ahok, kader partai Gerindra, dan Ahok-lah yang mengurus semua bantuan tersebut, bukan Jokowi).
Maruarar kemudian melanjutkan, Jokowi ini tidak pandai bicara, tidak jago pidato, tetapi dia selalu bersama rakyat, menyelesaikan masalah bersama rakyat.
Fadli Zon mengakui hal itu dan setuju dengan pendapat Maruarar. Bahwa soal style pemimpin boleh lembut, keras, berapi-api, lunak, tetapi masalah visi-misi dan program, hal itu wajib ada. Karena dari pemikiran menjadi kata-kata. Dari kata-kata jadi tingkah laku dan kemudian menjadi kebiasaan, karakter serta takdir.