K6_Paradoks Self Assessment, Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia
Indonesia merdeka sejak diproklamirkan nya Proklamasi oleh Ir. Soekarno yang ditandatangani atas nama bangsa Indonesia Soekarno Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Sejak itu Indonesia melakukan pemungutan pajak sesuai dengan UUD tepat nya pada Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 dengan menerapkan Official Assessment System (OAS). OAS adalah sistem pemungutan dengan membebankan wewenang dalam menentukan besarnya pajak yang terutang pada petugas perpajakan. Indonesia menganut OAS sampai dengan tahun 1983. Sedangkan setelah tahun 1983 Indonesia menganut Self Assessment System (SAS) dengan hadir nya tax reformasi dengan disahkan nya UU No. 6 Tahun 1983 tentang KUP. SAS merupakan sistem pemungutan pajak dengan cara wajib pajak diberikan kepercayaan untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, mulai dari kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, mengurus PKP, menghitung, membayar dan melaporkan pajak nya sendiri.
Jadi di Indonesia muncul dan berlakunya SAS sejak tahun 1984. Perubahan sistem tersebut perlu dilakukan karena semakin banyaknya jumlah wajib pajak serta semangat sebagai bangsa yang telah merdeka, sistem penetapan besarnya pajak yang terutang oleh Kantor Inspeksi Pajak diubah ke sistem self assessment (WP menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak penghasilan yang terutang). Sejalan dengan itu, Kantor Inspeksi Pajak diubah menjadi Kantor Pelayanan Pajak (Bawazier, 2011). Perubahan tersebut juga bisa dikarenakan semakin sadar dan penting nya menerapkan cara yang lebih efisien dalam pemungutan pajak, mengingat penduduk Indonesia atau wajib pajak akan menjadi semakin banyak, dengan cara self assessment pemerintah qq DJP tidak perlu lagi pusing untuk menghitung satu persatu pajak terutang dari wajib pajak, DJP cukup melakukan pengawasan dan melakukan tindakan pemeriksaan apabil ada wajib pajak yang terindikasi tidak atau kurang membayar pajak dan adanya salah penerapan peraturan perpajakan.
SAS dapat diartikan juga bahwa wajib pajak diberikan kepercayaan untuk melakukan kewajiban perpajakan nya dengan :
- Menghitung sendiri DPP;
- Menghitung sendiri pajak terutang nya;
- Membayar sendiri jumlah pajak yang terutang nya;
- Memperhitungkan sendiri pembayaran pajak nya (dibayar sendiri atau melalui mekanisme pemotongan atau pemungutan pihak lain); dan
- Melaporkan sendiri perhitungan tersebut dengan SPT.
Dalam mengisi dan menyampaikan SPT, sesuai dengan Pasal 12 ayat (2) UU KUP, wajib pajak harus mengisi SPT dengan benar, lengkap dan jelas, sehingga SPT yang dilaporkan tersebut dijamin oleh Undang-Undang dan dipertegas dengan Pasal 12 ayat (3) UU KUP.
Pasal 12 UU KUP ayat :
(2) Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh WP adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
(3) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti bahwa pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terutang.
Atas dua pasal tersebut, sangat jelas bahwa konsekwensi dianutnya SAS, pajak yang terutang yang sudah disampaikan wajib pajak di SPT adalah benar menurut Undang-Undang, kecuali DJP mendapatkan bukti bahwa wajib pajak tidak benar dalam mengisi SPT nya.
Secara tidak langsung sebenarnya, Pemerintah qq DJP dalam praktik nya masih menerapkan OAS dengan adanya Pasal 13 UU KUP, akan tetapi OAS yang dimaksud dibatasi kewenangan nya, sangat berbeda dengan OAS sebelum tahun 1983. Pembatasan kewenangan tersebut pada Pasal 12 ayat (3) UU KUP terdapat kata-kata apabila DJP "mendapatkan bukti", berarti apabila DJP tidak mendapatkan bukti otomatis harus mengakui bahwa SPT yang telah disampaikan oleh wajib pajak sudah benar menurut Undang-Undang. Ketentuan Pasal tersebut juga secara tidak langsung membatasi DJP penerapan OAS dengan tidak diperbolehkan mengoreksi jumlah pajak secara analisa, taksiran, perbandingan dengan usaha sejenis dan lain sebagainya. Kesimpulannya bahwa DJP dapat menerapkan OAS apabila mendapatkan bukti adanya kesalahan penerapan ketentuan dan peraturan perpajakan sehingga menurut DJP masih terdapat pajak yang terutang.
Apabila DJP mengkoreksi SPT wajib pajak tidak berdasarkan bukti sesuai dengan Pasal 12 ayat (2) dan (3) UU KUP, maka wajib pajak mempunyai hak untuk menyampaikan Pengajuan Keberatan dan Banding dengan acuan kedua pasal tersebut.
Adanya koreksi SPT/Pajak oleh DJP qq Pemeriksa Pajak dan wajib pajak tidak menyetujui atas koreksi tersebut maka berpotensi terjadinya sengketa pajak. Meskipun kewenangan OAS DJP dibatasi oleh Undang-Undang, namun pada praktik nya banyak perbedaan tafsir dan pelaksanaan dilapangan mengenai ketentuan dan peraturan perpajakan yang berlaku, adanya tumpang tindih aturan perpajakan dari UU, PP, PMK Per Dirjen, SE dan lain-lain yang terkadang tidak sinkron dengan peraturan yang ada diatasnya, sehingga membuka peluang multi tafsir dan terjadilah sengketa pajak antara DJP dengan wajib pajak.
Definisi Sengketa Pajak bila merujuk kepada Pasal 1 butir ke 5 UU PP, 1'Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau Penanggung Pajak dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa".
Dalam penjelasan umum UU PP pada alinea pertama dijelaskan bahwa "Pelaksanaan pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang Perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat/wajib pajak, sehingga dapat menimbulkan Sengketa Pajak antara wajib pajak dan Pejabat yang berwenang"
- Koreksi SPT/Pajak yang dilakukan DJP qq Pemeriksa Pajak diakhiri dengan diterbitkan nya produk hukum dapat berupa :
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), terjadi apabila koreksi yang mengakibatkan pokok pajak lebih besar dari kredit pajak.
- Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), terjadi apabila koreksi yang mengakibatkan pokok pajak lebih kecil dari kredit pajak.
- Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), terjadi apabila koreksi yang mengakibatkan pokok pajak sama dengan kredit pajak.
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), terjadi apabila adanya bukti baru (novum) dari SKPKB yang telah diterbitkan yang mengakibatkan masih terdapat kurang pajak terutang.
- Bukti Permulaan (Bukper), terjadi apabila terdapat indikasi yang mengarah kepada tindak pidana perpajakan, sehingga DJP dapat mengarahkan kepada Bukti Permulaan (Bukper).
SKPKB, SKPLB, SKPN dan SKPKBT merupakan produk hukum berbentuk Ketetapan. Koreksi SPT/Pajak yang dilakukan oleh DJP melalui mekanisme Pemeriksaan Pajak yang menurut Pasal 29 ayat (1) UU KUP dan  Pasal 4 PMK-184/2015 bertujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak. Pemeriksaan Pajak juga dapat bertujuan untuk tujuan lain sesuai dengan Pasal 70 PMK-184/2015. Dalam pemeriksaan pajak, DJP qq Pemeriksa Pajak melakukan pengujian atas SPT wajib pajak, misalkan dalam praktik pengujian SPT PPh Badan, dapat meliputi :
- Kebenaran dan kevalidan dari peredaran usaha yang dilaporkan wajib pajak pada SPT;
- Kebenaran dan kevalidan dari HPP (Harga Pokok Penjualan);
- Kebenaran dan kevalidan dari Penghasilan dari luar usaha;
- Kebenaran dan kevalidan dari Biaya 3M (mendapatkan, menagih dan memelihara pendapatan) sebagai pengurang penghasilan bruto;
- Kebenaran dan kevalidan dari Biaya diluar usaha;
- Kebenaran dan kevalidan dari kredit pajak; dan
- Kebenaran dan kevalidan dari kewajiban perpajakan lainnya.
Pengujian yang dilakukan DJP qq Pemeriksa Pajak adalah dari penerapan Undang-Undang dan Peraturan Perpajakan yang berlaku oleh wajib pajak yang dilaporkan di SPT apakah sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang relevan dan pengujian dari kebenaran material nya apakah benar-benar sudah sesuai dengan dokumen, pembukan dan valid.
Atas Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan oleh DJP, wajib pajak mempunyai hak untuk dapat mengajukan Keberatan Pajak kepada DJP qq Kanwil DJP (domisili wajib pajak) sesuai dengan Pasal 25 UU KUP dan kemudian DJP akan memutuskan sengketa tersebut sesuai dengan Pasal 26 UU KUP dengan menerbitkan Keputusan (KEP). Apabila atas KEP tersebut, wajib pajak tidak setuju (tidak sependapat dengan DJP), maka terjadilah sengketa pajak. Wajib pajak mempunyai hak untuk dapat melakukan upaya hukum ke Pengadilan Pajak dengan mengajukan Banding berdasarkan Pasal 27 UU KUP. Wajib pajak juga dapat melakukan Gugatan ke Pengadilan Pajak, apabila dirasa dalam pelaksanaan Pemeriksaan Pajak dan Penelaahan/Penelitian Keberatan tidak sesuai dengan SOP berdasarkan Undang-Undang dan Ketentuan Perpajakan.
Selanjutnya, Penagadilan Pajak dalam memeriksa sengketa pajak tersebut akan menilai apakah koreksi-koreksi DJP berdasarkan bukti-bukti yang diperolehnya dan terhadap bukti-bukti tersebut dilakukan pula penilaian keabsahan/kevalidannya. Selanjutnya akan diuji apakah koreksi yang bersifat yuridis fiskal telah sesuai dengan maksud/penafsiran pasal-pasal dalam undang-undang perpajakan yang bersangkutan. Pengadilan Pajak dapat menerbitkan Putusan sesuai dengan Pasal 80 UU PP, sebagai berikut :
- Menolak;
- Mengabulkan sebagian atau seluruhnya;
- Menambah pajak yang harus dibayar;
- Tidak dapat diterima;
- Membetulkan kesalahan tulis atau kesalahan hitung, dan/atau;
- Membatalkan.
Putusan yang diambil oleh Pengadilan Pajak sesuai dengan Pasal 78 UU PP, berdasarkan :
- Hasil penilaian pembuktian,
- Peraturan Perundang-undangan Perpajakan,
- Keyakinan Hakim
Pembuktian yang dimaksud sesuai dengan Pasal 69 UU PP dapat berupa :
1.  Alat bukti dapat berupa :
- Surat atau tulisan;
- Keterangan ahli;
- Keterangan saksi;
- Pengakuan para pihak;
- Pengetahuan Hakim
2. Â Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
Kemudian atas Putusan (PUT) Pengadilan Pajak, apabila wajib pajak dan/atau DJP masih belum puas atas PUT tersebut, selanjutnya wajib pajak dan/atau DJP yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA) atas Putusan Pengadilan apabila belum menemukan titik temu, sesuai dengan Pasal 77 ayat (3) UU PP, walapun atas pengajuan PK tersebut tidak berpengaruh kepada Putusan Pengadilan Pajak yang mengikat dan tetap dijalankan/eksekusi.
Berikut adalah data statistik hasil penyelesaian sengketa dalam kurun waktu tahun 2015 sampai dengan tahun 2021 di Pengadilan Pajak :
Dari data diatas, dalam kurun waktu 7 tahun, sengketa pajak lebih banyak dimenangkan oleh wajib pajak dari pada DJP. Mengabulkan seluruhnya sebanyak 34.509 sengketa dan mengabulkan sebagian 12.107, sedangkan Menolak sebanyak 17.983 sengketa dan Tidak Dapat Diterima sebanyak 7.298 sengketa. Hal tersebut tentunya harus dapat menjadi perhatian bagi DJP dalam melaksanakan Pemeriksaan Pajak, apakah prosedur yang diterapkan dan dilaksanakan dilapangan sudah sesuai dan sudah dijalankan secara keseluruhan, sehingga kedepan apabila terjadi sengketa tidak mudah dipatahkan oleh wajib pajak.
Kesimpulan
Kenyataan tersebut diatas, bisa menjadi bukti bahwa dalam melaksanakan pemungutan pajak sering kali tidak sesuai atau telah melanggar UU Perpajakan baik dalam proses/pelaksanaan pemeriksaan pajak, penetapan pajak maupun keberatan pajak sebagaimana diuraikan dalam penjelasan umum UU PP.
Sebenarnya bila DJP qq pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak, petugas penetapan dan petugas menghormati dan mengakui keberadaan Pasal 12 UU KUP sebagai batasan atau rambu-rambu SAS, maka adanya sengketa pajak dapat diminimalisir, karena Pasal 12 ayat (2) UU KUP telah menjamin bahwa jumlah pajak yang terutang menurut SPT yang disampaikan oleh wajib pajak adalah jumlah pajak yang terutang menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan dan menegaskan/membatasi dalam Pasal 12 ayat (3) bahwa hanya apabila DJP mendapatkan bukti bahwa pajak-pajak yang terutang menurut SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) tidak benar, maka DJP menetapkan jumlah pajak terutang yang seharusnya/semestinya.
Ketidakbenaran jumlah pajak yang terutang menurut SPT wajib pajak dapat terjadi karena kesalahan penerapan pasal-pasal undang-undang perpajakan yang bersangkutan atau karena ketidakbenaran materi/penghitungan DPP oleh wajib pajak. Dalam hal tersebut DJP harus benar-benar memperoleh bukti tentang ketidakbenaran dasar pengenaan pajak/penghasilan kena pajak dalam SPT wajib pajak tersebut.
Sehingga, konsekuensi dianutnya SAS dalam sistem pemungutan pajak di Indonesia mengharuskan Pemerintah qq DJJP menghormati ketentuan Pasal 12 UU KUP dan menerima jumlah pajak yang terutang dalam SPT wajib pajak sebagai hal yang benar apabila dalam Pemeriksaan Pajak tidak diperoleh bukti-bukti yang sah mengenai ketidakbenaran SPT wajib pajak tersebut.
Â
Referensi :
- Undang -- Undang Dasar 1945 ("UUD 1945")
- Undang -- Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sttd Undang -- Undang No. 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ("UU KUP");
- Undang -- Undang No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak ("UU PP");
- Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.03/2013 sttd PMK No. 184/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pemeriksaan ("PMK-17/2013 jo PMK-184/2015")
- Setpp.kemenkeu.go.id, diakses tanggal 13 April 2022;
- Bawazie, F. (2011). Reformasi Pajak di Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, 8(1), 1-12.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H