1.  Alat bukti dapat berupa :
- Surat atau tulisan;
- Keterangan ahli;
- Keterangan saksi;
- Pengakuan para pihak;
- Pengetahuan Hakim
2. Â Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
Kemudian atas Putusan (PUT) Pengadilan Pajak, apabila wajib pajak dan/atau DJP masih belum puas atas PUT tersebut, selanjutnya wajib pajak dan/atau DJP yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA) atas Putusan Pengadilan apabila belum menemukan titik temu, sesuai dengan Pasal 77 ayat (3) UU PP, walapun atas pengajuan PK tersebut tidak berpengaruh kepada Putusan Pengadilan Pajak yang mengikat dan tetap dijalankan/eksekusi.
Berikut adalah data statistik hasil penyelesaian sengketa dalam kurun waktu tahun 2015 sampai dengan tahun 2021 di Pengadilan Pajak :
Dari data diatas, dalam kurun waktu 7 tahun, sengketa pajak lebih banyak dimenangkan oleh wajib pajak dari pada DJP. Mengabulkan seluruhnya sebanyak 34.509 sengketa dan mengabulkan sebagian 12.107, sedangkan Menolak sebanyak 17.983 sengketa dan Tidak Dapat Diterima sebanyak 7.298 sengketa. Hal tersebut tentunya harus dapat menjadi perhatian bagi DJP dalam melaksanakan Pemeriksaan Pajak, apakah prosedur yang diterapkan dan dilaksanakan dilapangan sudah sesuai dan sudah dijalankan secara keseluruhan, sehingga kedepan apabila terjadi sengketa tidak mudah dipatahkan oleh wajib pajak.
Kesimpulan
Kenyataan tersebut diatas, bisa menjadi bukti bahwa dalam melaksanakan pemungutan pajak sering kali tidak sesuai atau telah melanggar UU Perpajakan baik dalam proses/pelaksanaan pemeriksaan pajak, penetapan pajak maupun keberatan pajak sebagaimana diuraikan dalam penjelasan umum UU PP.
Sebenarnya bila DJP qq pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak, petugas penetapan dan petugas menghormati dan mengakui keberadaan Pasal 12 UU KUP sebagai batasan atau rambu-rambu SAS, maka adanya sengketa pajak dapat diminimalisir, karena Pasal 12 ayat (2) UU KUP telah menjamin bahwa jumlah pajak yang terutang menurut SPT yang disampaikan oleh wajib pajak adalah jumlah pajak yang terutang menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan dan menegaskan/membatasi dalam Pasal 12 ayat (3) bahwa hanya apabila DJP mendapatkan bukti bahwa pajak-pajak yang terutang menurut SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) tidak benar, maka DJP menetapkan jumlah pajak terutang yang seharusnya/semestinya.
Ketidakbenaran jumlah pajak yang terutang menurut SPT wajib pajak dapat terjadi karena kesalahan penerapan pasal-pasal undang-undang perpajakan yang bersangkutan atau karena ketidakbenaran materi/penghitungan DPP oleh wajib pajak. Dalam hal tersebut DJP harus benar-benar memperoleh bukti tentang ketidakbenaran dasar pengenaan pajak/penghasilan kena pajak dalam SPT wajib pajak tersebut.
Sehingga, konsekuensi dianutnya SAS dalam sistem pemungutan pajak di Indonesia mengharuskan Pemerintah qq DJJP menghormati ketentuan Pasal 12 UU KUP dan menerima jumlah pajak yang terutang dalam SPT wajib pajak sebagai hal yang benar apabila dalam Pemeriksaan Pajak tidak diperoleh bukti-bukti yang sah mengenai ketidakbenaran SPT wajib pajak tersebut.