Apabila DJP mengkoreksi SPT wajib pajak tidak berdasarkan bukti sesuai dengan Pasal 12 ayat (2) dan (3) UU KUP, maka wajib pajak mempunyai hak untuk menyampaikan Pengajuan Keberatan dan Banding dengan acuan kedua pasal tersebut.
Adanya koreksi SPT/Pajak oleh DJP qq Pemeriksa Pajak dan wajib pajak tidak menyetujui atas koreksi tersebut maka berpotensi terjadinya sengketa pajak. Meskipun kewenangan OAS DJP dibatasi oleh Undang-Undang, namun pada praktik nya banyak perbedaan tafsir dan pelaksanaan dilapangan mengenai ketentuan dan peraturan perpajakan yang berlaku, adanya tumpang tindih aturan perpajakan dari UU, PP, PMK Per Dirjen, SE dan lain-lain yang terkadang tidak sinkron dengan peraturan yang ada diatasnya, sehingga membuka peluang multi tafsir dan terjadilah sengketa pajak antara DJP dengan wajib pajak.
Definisi Sengketa Pajak bila merujuk kepada Pasal 1 butir ke 5 UU PP, 1'Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau Penanggung Pajak dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa".
Dalam penjelasan umum UU PP pada alinea pertama dijelaskan bahwa "Pelaksanaan pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang Perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat/wajib pajak, sehingga dapat menimbulkan Sengketa Pajak antara wajib pajak dan Pejabat yang berwenang"
- Koreksi SPT/Pajak yang dilakukan DJP qq Pemeriksa Pajak diakhiri dengan diterbitkan nya produk hukum dapat berupa :
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), terjadi apabila koreksi yang mengakibatkan pokok pajak lebih besar dari kredit pajak.
- Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), terjadi apabila koreksi yang mengakibatkan pokok pajak lebih kecil dari kredit pajak.
- Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), terjadi apabila koreksi yang mengakibatkan pokok pajak sama dengan kredit pajak.
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), terjadi apabila adanya bukti baru (novum) dari SKPKB yang telah diterbitkan yang mengakibatkan masih terdapat kurang pajak terutang.
- Bukti Permulaan (Bukper), terjadi apabila terdapat indikasi yang mengarah kepada tindak pidana perpajakan, sehingga DJP dapat mengarahkan kepada Bukti Permulaan (Bukper).
SKPKB, SKPLB, SKPN dan SKPKBT merupakan produk hukum berbentuk Ketetapan. Koreksi SPT/Pajak yang dilakukan oleh DJP melalui mekanisme Pemeriksaan Pajak yang menurut Pasal 29 ayat (1) UU KUP dan Pasal 4 PMK-184/2015 bertujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak. Pemeriksaan Pajak juga dapat bertujuan untuk tujuan lain sesuai dengan Pasal 70 PMK-184/2015. Dalam pemeriksaan pajak, DJP qq Pemeriksa Pajak melakukan pengujian atas SPT wajib pajak, misalkan dalam praktik pengujian SPT PPh Badan, dapat meliputi :
- Kebenaran dan kevalidan dari peredaran usaha yang dilaporkan wajib pajak pada SPT;
- Kebenaran dan kevalidan dari HPP (Harga Pokok Penjualan);
- Kebenaran dan kevalidan dari Penghasilan dari luar usaha;
- Kebenaran dan kevalidan dari Biaya 3M (mendapatkan, menagih dan memelihara pendapatan) sebagai pengurang penghasilan bruto;
- Kebenaran dan kevalidan dari Biaya diluar usaha;
- Kebenaran dan kevalidan dari kredit pajak; dan
- Kebenaran dan kevalidan dari kewajiban perpajakan lainnya.
Pengujian yang dilakukan DJP qq Pemeriksa Pajak adalah dari penerapan Undang-Undang dan Peraturan Perpajakan yang berlaku oleh wajib pajak yang dilaporkan di SPT apakah sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang relevan dan pengujian dari kebenaran material nya apakah benar-benar sudah sesuai dengan dokumen, pembukan dan valid.
Atas Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan oleh DJP, wajib pajak mempunyai hak untuk dapat mengajukan Keberatan Pajak kepada DJP qq Kanwil DJP (domisili wajib pajak) sesuai dengan Pasal 25 UU KUP dan kemudian DJP akan memutuskan sengketa tersebut sesuai dengan Pasal 26 UU KUP dengan menerbitkan Keputusan (KEP). Apabila atas KEP tersebut, wajib pajak tidak setuju (tidak sependapat dengan DJP), maka terjadilah sengketa pajak. Wajib pajak mempunyai hak untuk dapat melakukan upaya hukum ke Pengadilan Pajak dengan mengajukan Banding berdasarkan Pasal 27 UU KUP. Wajib pajak juga dapat melakukan Gugatan ke Pengadilan Pajak, apabila dirasa dalam pelaksanaan Pemeriksaan Pajak dan Penelaahan/Penelitian Keberatan tidak sesuai dengan SOP berdasarkan Undang-Undang dan Ketentuan Perpajakan.
Selanjutnya, Penagadilan Pajak dalam memeriksa sengketa pajak tersebut akan menilai apakah koreksi-koreksi DJP berdasarkan bukti-bukti yang diperolehnya dan terhadap bukti-bukti tersebut dilakukan pula penilaian keabsahan/kevalidannya. Selanjutnya akan diuji apakah koreksi yang bersifat yuridis fiskal telah sesuai dengan maksud/penafsiran pasal-pasal dalam undang-undang perpajakan yang bersangkutan. Pengadilan Pajak dapat menerbitkan Putusan sesuai dengan Pasal 80 UU PP, sebagai berikut :
- Menolak;
- Mengabulkan sebagian atau seluruhnya;
- Menambah pajak yang harus dibayar;
- Tidak dapat diterima;
- Membetulkan kesalahan tulis atau kesalahan hitung, dan/atau;
- Membatalkan.
Putusan yang diambil oleh Pengadilan Pajak sesuai dengan Pasal 78 UU PP, berdasarkan :
- Hasil penilaian pembuktian,
- Peraturan Perundang-undangan Perpajakan,
- Keyakinan Hakim
Pembuktian yang dimaksud sesuai dengan Pasal 69 UU PP dapat berupa :