Mohon tunggu...
I.G. Jali
I.G. Jali Mohon Tunggu... Guru - penikmat literasi dan suka nasi goreng

... ngalor ngidul sing penting rukun ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Barokahisme Di Pesantren

23 November 2015   02:56 Diperbarui: 23 November 2015   03:23 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Untuk Mengenang Santri di 13 tahun lalu yang ditulis 7 tahun kemudian!

Sekedar Alasan dan Pengalaman

Menggunakan istilah ‘faham,’ ‘barokahisme,’ dan ‘pesantren’ bukan saya lakukan tanpa alasan. Meski ketiga kata itu musti masih berada dalam batas pemahaman, pengalaman, dan penghayatan yang sudah terinstitusi dalam pikiran dan perasaan saya.

Faham yang saya maksudkan tidak hanya pada level pengertian melainkan juga sikap. Kata ‘barokahisme’ adalah satu dari beberapa olah inovasi leksikal saya saja dengan menambahkan ‘-isme’ di akhir kata. Manusia tidak hanya harus bisa menggunakan konvensi bahasa yang sudah ada tapi juga musti mencipta agar kaya kosa kata. Meski kata ‘barokahisme’ masih terasa wagu, atau kurang enak baik diucapkan maupun didengar. Seolah main-main saya ini! Seolah saya memaksa-maksakan istilah.

Tapi, tidak. Saya sungguh-sungguh dalam menggunakannya. Kata dasarnya adalah ‘barokah.’ Itu bahasa arab. Artinya berkah. Dan istilah ini untuk kali pertama saya kenal  ngetrend di lingkungan pesantren. Kalau hal ini juga dikenal di kalangan masyarakat luas, bagi saya, itu adalah bias dari faham khas pesantren ini. Sedangkan pesantren sendiri berasal dari kata santri, yang menurut salah satu tulisan almarhum Gus Dur, adalah bahasa Sansekrit yang berarti sarjana. Dan sekarang pengertian itu sudah terbatas oleh proses sejarah yang cukup panjang.

Berikut ini pengalaman saya.

Pelajar pesantren saat ini selintas dapat dibilang kurang apresiatif (tidak respect) terhadap apa yang disebut ‘barokah.’ Taruhlah saya sebagai contohnya. Menyapu halaman rumah kiai, mencucikan bajunya (mungkin), mencium tangan, bersih-bersih pesantren, dan lain-lain adalah contoh-contoh kecil yang sekarang sudah langka dan hanya dilakukan oleh beberapa santri saja; dan saya tidak termasuk. Bahkan saya berani meninggalkan majelis taklim kiai. Padahal, kata orang dulu, pekerjaan-pekerjaan itu banyak barokahnya. Pandangan saya tentang bentuk-bentuk pengabdian tersebut berubah. Saya belum tahu apakah pandangan ini lebih baik dari sebelumnya atau justru menurun. Namun setidaknya ini menjadi alasan pertama mengapa saya memilih tema barokah ini. Utamanya sebagai bentuk refleksi perjalanan belajar saya selama ini.

Alasan kedua adalah bahwa pesantren (secara umum) adalah benteng budaya unik warisan leluhur terakhir, khususnya di kawasan pulau jawa, yang salah satu cita-cita kulturalnya adalah memfilter berbagi kebudayaan modern yang tidak cocok dengan iklim norma dunia Timur, meski saat ini sebagian sudah mengalami moderenisasi dengan mengadopsi lembaga formal sebagai salah satu menu sajiannya. Itu sebabnya, setelah selesai MI (setingkat SD), saya dijebloskan ke dalam salah satu pesantren di Paiton Probolinggo Jawa Timur selama enam tahun. Kenapa enam tahun? Karena itulah masa Mts (setingkat SMP) tiga tahun ditambah masa MA (setingkat SMA) tiga tahun pula. Singkat kata, aktifitas nyantren saya selesai karena jenjang pendidikan formal saya pun selesai.

Seandainya lembaga pendidikan formal yang konon katanya merupakan warisan Belanda itu tidak diadopsi pesantren, mungkin sekarang saya masih di Paiton itu. Pertanyaannya: di manakah barokah selama enam tahun itu? Di makam kiaikah? Di pesantrenkah? Atau, barokah itu sudah membentuk sesuatu dalam diri saya hingga tidak dapat saya lihat dengan mata kepala? Di sekolah formalkah? Saya belum tahu. Yang selama ini saya lakukan dan saya yakini dan rasakan adalah barokah itu nyata meski tangan saya tidak akan pernah bisa menyentuhnya.

Memahami Barokah di Pesantren

Menurut sementara pakar, barokah itu adalah ziyadatu al-khair ‘ala al-khair: bertambahnya suatu kebaikan ke dalam kebaikan yang telah ada. Boleh diterjemahkan: menghadiri undangan kenduri, sudah dapat makan masih dapat ‘berkat’ pula. Berkat itu sebutan untuk satu kotak nasi lengkap dengan lauknya dan kue untuk dibawa pulang dan dinikmati bersama keluarga. Barokah, berkat, dan berkatan (bahasa Jawatimuran) satu rumpun dengan asal kata yang sama.

Demikianlah cara ulama dahulu membumikan kata ‘barokah’ dan memperkenalkan maknannya melalui berkatan. Malalui Mbah Hasyim Asy’ari Jombang, Mbah Mahfudz Termas, Mbah Darat Semarang, Mbah Ihsan Jampes, Mbah Yasin Padang, Mbah Kholil Bangkalan, Mbah Nawawi Banten, Mbah Sulaiman Pasuruan, Gus Ud Sidoarjo, Mbah Hamid Pasuruan dan tokoh-tokoh lain yang tidak hanya memahami hukum Islam tapi juga mengerti sosio-kultural masyarakat Indonesia sehingga tidak mentah cetusan hukumnya. Juga Mbah Sunan Kalijaga. Nah, sedikit banyak, melalui merekalah ‘barokah’ berubah menjadi ‘berkat’ kemudian menjelma berkatan. Barokah menemukan bentuk kulturalnya. Islam Ga’ Jowo Ga’ Apik; Jowo Ga Islam Yo Ga’ Apik [Islam tidak Jawa itu tidak bagus; Jawa saja tanpa Islam itu juga tidak bagus]. Di sini lah Jawa dan Islam menjadi sikap hidup [bukan aturan-aturan hukum yang kaku] dengan satu spektrum ‘barokah’ dalam watak mayoritas masyarakat muslim di Indonesia.

Bagi saya, dalam dada merekalah barokah dititipkan. Sehingga, saya sempat ngotot pindah pesantren hanya untuk mendapat barokah yang lebih besar. Yakni, ke Sidogiri Pasuruan, Pesantren Mbah Sulaiman, pesantren tertua se-Indonesia, atau bahkan mungkin sedunia, mengingat sistem pondokan hanya ada di Indonesia. Hari Ulang Tahun pesantren itu (Harlah) saat ini sudah ke-390an.

“Untuk apa kamu pindah?” tanya Bapak pada saya.

“Untuk nyalaf, Pak.”

Terjadilah obrolan tentang apa sesungguhnya salaf, salap (jawa), dan nyalaf. Dalam kondisi psikis yang masih labil, pertimbangan saya waktu itu, di pesantren salaf ada lebih banyak barokah dari pada di pesantren semi modern seperti yang sedang saya pesantreni waktu itu.

Nyalaf atau nyalap itu dari salap,” jelas Bapak memaklumkan saya dengan ilmu othak-athik-gathuk-nya, “Salap itu meletakkan. Jadi, kalau kamu mampu ndeleh awakmu [meletakkan dirimu], di pesantren salaf atau tidak, sama saja. Barokah tidak terletak pada pesantren salaf atau bukan. Nyalaf yang sesungguhnya adalah ketika kamu mampu meletakkan dirimu.”

Meski tidak mengerti, saya akhirnya kembali ke pesantren di Paiton itu. Saya kembali berziarah ke Mbah Zaini, pendiri pesantren itu; kepada Mbah Hasyim Zaini, putra pertama beliau. Berzirah dalam arti mendatangi medan morfik. Semacam gelombang magnet yang tetap ada dalam setiap orang, peristiwa, atau tempat. Medan morfik inilah yang sebenarnya ingin dicapai oleh para peziarah, yang dalam batas tertentu mempengaruhi kondisi psikis dan pikir mereka. Orang tidak pernah tahu wujudnya, termasuk saya, namun mereka merasa perlu datang ke makam para wali, orang saleh, atau ulama lainnya, terlepas dari apa saja macam tujuan mereka.

Evaluasi Sejenak

Usai dari mondok di pesantren Paiton itu, saya di rumah dua tahun. Tapi, memahamai barokah seperti yang sudah disebutkan banyak membantu saya untuk tidak frustasi sebab tidak bisa melanjutkan sekolah sehubungan dengan mahalnya biaya. Namun setelah semua tersedia, saya berangkat ke Kudus. Anda tahu, Kudus terkenal dengan pesantren al-Qur’an, baik yang belajar membaca maupun yang menghafalkan. Mulai dari kondisi, masyarakat, dan tempat, semua mendukung terciptanya lingkungan yang pas untuk apa yang saya cita-citakan.

Sekali lagi, Kudus memiliki medan morfik yang cukup besar terkait dengan al-Qur’an. Mbah Sunan Kudus sendiri, Mbah Arwani Amin, Mbah Hisyam, dan beberapa tokoh penghafal al-Quran telah meninggalkan medan morfik yang membentuk segala situasi di kota ini menjadi kondusif untuk urusan belajar al-Qur’an, baik membaca atau menghafalkannya. Setelah di kota ini selesai, saya berlanjut ke Krapyak Jogja. Mengapa? Saya baru menyadari bahwa belajar saya hanyalah perjalanan mencari barokah. Di pesantren Paiton, saya mendengar bahwa ilmu al-Quran di pesantren itu masih berkiblat ke Kudus. Setelah di kudus, saya tahu bahwa Mbah Arwani Amin belajar al-Qur’an kepada Mbah Munawwir Krapyak-Jogja. Jadi, hingga saat ini pun pengejaran barokah itu masih berlangsung. Bagai saya, dapat atau tidak dapat bakan persoalan.

Mungkin saya keliru sebab menganggap lembaga formal tidak ada barokahnya. Faham barokahisme dalam benak saya seolah sinis pada lembaga modern itu. Padahal, kondisi saat telah banyak membarokahkah lembaga formal dengan cara mempesantrenkannya dan pesantren mulai menambah berkah dengan mengadopsi lembaga formal sebagai bentuk bertambahnya suatu kebaikan ke dalam kebaikan yang sudah ada. Formal dipesantrenkan atau pesantren diformalkan, keduanya sama. Kini, bagi saya, letak barokah tidak pada lembaga, orang, tempat, atau apa saja yang bersifat indrawi. Bukankah sering didengar dan diucapkan  assalamualaikum warahmatullahi wa barokatuhu? Barokatuhu artinya barokahNya. Maka, kepadaNya semua berpulang. Barokah hanya milikNya. Terserah-terserah Dia mau meletakkan barokah di mana.  

Kata Terakhir          

Faham barokahisme telah mengakar di urat-urat nadi tanpa saya mengerti bagaimana ia terbentuk. Bahkan, saya kesulitan mengidentifikasi apa yang sedang saya tulis ini. Awalnya saya ingin menulis tentag kesalahkaprahan istilah ‘pendidikan’ dan ‘pengajaran.’ Tapi, entah mengapa saya kesasar ke persoalan barokah. Hanya saja, tentu ini ada hubungannya. Pendidikan berbeda dengan pengajaran. Educating berbeda dengan teaching. Tarbiyah berbeda dengan taklim. Pendidikan, di mana pun, berlangsung lebih lama dari pada pengajaran. Sebab, bukan hanya transfer ilmu; dan bagi saya, lebih lama berarti lebih payah dan lebih payah berarti lebih perihatin; sedangkan lebih perihatin tidak berarti lebih banyak barokahnya bila tidak dipulangkan kepada Pemilik Barokah. Yakni, Allah Swt. itu sendiri.

Maka, Departemen Pendidikan sebaiknya diganti dengan Departemen Pengajaran saja. Bukankah kerjanya lebih sedikit? Saya kira itu lebih tepat; dan bukankah yang dilakukannya hanya merancang, bikin ijazah, meluluskan, dan menakar anggaran ini dan itu saja? Saya ragu kalau Departemen Pendidikan itu ada barokahnya. Bahkan tidak di pesantren. Bahkan tidak di tangan para kiai. Bahkan tidak di masjid. Bahkan tidak di makam para wali dan ulama. Bahkah tidak di segala tempat yang sakral. Sebab, barokah tidak di sana melain di sini, di dalam sini, yang menjadi reciever signal-signal ‘barokais’ yang dititipkanNya di tempat-tempat itu, yang dapat dicabutNya kapanpun Dia mau.

Krapyak, 25 Februari 2010

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun