Kata Terakhir         Â
Faham barokahisme telah mengakar di urat-urat nadi tanpa saya mengerti bagaimana ia terbentuk. Bahkan, saya kesulitan mengidentifikasi apa yang sedang saya tulis ini. Awalnya saya ingin menulis tentag kesalahkaprahan istilah ‘pendidikan’ dan ‘pengajaran.’ Tapi, entah mengapa saya kesasar ke persoalan barokah. Hanya saja, tentu ini ada hubungannya. Pendidikan berbeda dengan pengajaran. Educating berbeda dengan teaching. Tarbiyah berbeda dengan taklim. Pendidikan, di mana pun, berlangsung lebih lama dari pada pengajaran. Sebab, bukan hanya transfer ilmu; dan bagi saya, lebih lama berarti lebih payah dan lebih payah berarti lebih perihatin; sedangkan lebih perihatin tidak berarti lebih banyak barokahnya bila tidak dipulangkan kepada Pemilik Barokah. Yakni, Allah Swt. itu sendiri.
Maka, Departemen Pendidikan sebaiknya diganti dengan Departemen Pengajaran saja. Bukankah kerjanya lebih sedikit? Saya kira itu lebih tepat; dan bukankah yang dilakukannya hanya merancang, bikin ijazah, meluluskan, dan menakar anggaran ini dan itu saja? Saya ragu kalau Departemen Pendidikan itu ada barokahnya. Bahkan tidak di pesantren. Bahkan tidak di tangan para kiai. Bahkan tidak di masjid. Bahkan tidak di makam para wali dan ulama. Bahkah tidak di segala tempat yang sakral. Sebab, barokah tidak di sana melain di sini, di dalam sini, yang menjadi reciever signal-signal ‘barokais’ yang dititipkanNya di tempat-tempat itu, yang dapat dicabutNya kapanpun Dia mau.
Krapyak, 25 Februari 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H