Untuk Mengenang Santri di 13 tahun lalu yang ditulis 7 tahun kemudian!
Sekedar Alasan dan Pengalaman
Menggunakan istilah ‘faham,’ ‘barokahisme,’ dan ‘pesantren’ bukan saya lakukan tanpa alasan. Meski ketiga kata itu musti masih berada dalam batas pemahaman, pengalaman, dan penghayatan yang sudah terinstitusi dalam pikiran dan perasaan saya.
Faham yang saya maksudkan tidak hanya pada level pengertian melainkan juga sikap. Kata ‘barokahisme’ adalah satu dari beberapa olah inovasi leksikal saya saja dengan menambahkan ‘-isme’ di akhir kata. Manusia tidak hanya harus bisa menggunakan konvensi bahasa yang sudah ada tapi juga musti mencipta agar kaya kosa kata. Meski kata ‘barokahisme’ masih terasa wagu, atau kurang enak baik diucapkan maupun didengar. Seolah main-main saya ini! Seolah saya memaksa-maksakan istilah.
Tapi, tidak. Saya sungguh-sungguh dalam menggunakannya. Kata dasarnya adalah ‘barokah.’ Itu bahasa arab. Artinya berkah. Dan istilah ini untuk kali pertama saya kenal ngetrend di lingkungan pesantren. Kalau hal ini juga dikenal di kalangan masyarakat luas, bagi saya, itu adalah bias dari faham khas pesantren ini. Sedangkan pesantren sendiri berasal dari kata santri, yang menurut salah satu tulisan almarhum Gus Dur, adalah bahasa Sansekrit yang berarti sarjana. Dan sekarang pengertian itu sudah terbatas oleh proses sejarah yang cukup panjang.
Berikut ini pengalaman saya.
Pelajar pesantren saat ini selintas dapat dibilang kurang apresiatif (tidak respect) terhadap apa yang disebut ‘barokah.’ Taruhlah saya sebagai contohnya. Menyapu halaman rumah kiai, mencucikan bajunya (mungkin), mencium tangan, bersih-bersih pesantren, dan lain-lain adalah contoh-contoh kecil yang sekarang sudah langka dan hanya dilakukan oleh beberapa santri saja; dan saya tidak termasuk. Bahkan saya berani meninggalkan majelis taklim kiai. Padahal, kata orang dulu, pekerjaan-pekerjaan itu banyak barokahnya. Pandangan saya tentang bentuk-bentuk pengabdian tersebut berubah. Saya belum tahu apakah pandangan ini lebih baik dari sebelumnya atau justru menurun. Namun setidaknya ini menjadi alasan pertama mengapa saya memilih tema barokah ini. Utamanya sebagai bentuk refleksi perjalanan belajar saya selama ini.
Alasan kedua adalah bahwa pesantren (secara umum) adalah benteng budaya unik warisan leluhur terakhir, khususnya di kawasan pulau jawa, yang salah satu cita-cita kulturalnya adalah memfilter berbagi kebudayaan modern yang tidak cocok dengan iklim norma dunia Timur, meski saat ini sebagian sudah mengalami moderenisasi dengan mengadopsi lembaga formal sebagai salah satu menu sajiannya. Itu sebabnya, setelah selesai MI (setingkat SD), saya dijebloskan ke dalam salah satu pesantren di Paiton Probolinggo Jawa Timur selama enam tahun. Kenapa enam tahun? Karena itulah masa Mts (setingkat SMP) tiga tahun ditambah masa MA (setingkat SMA) tiga tahun pula. Singkat kata, aktifitas nyantren saya selesai karena jenjang pendidikan formal saya pun selesai.
Seandainya lembaga pendidikan formal yang konon katanya merupakan warisan Belanda itu tidak diadopsi pesantren, mungkin sekarang saya masih di Paiton itu. Pertanyaannya: di manakah barokah selama enam tahun itu? Di makam kiaikah? Di pesantrenkah? Atau, barokah itu sudah membentuk sesuatu dalam diri saya hingga tidak dapat saya lihat dengan mata kepala? Di sekolah formalkah? Saya belum tahu. Yang selama ini saya lakukan dan saya yakini dan rasakan adalah barokah itu nyata meski tangan saya tidak akan pernah bisa menyentuhnya.
Menurut sementara pakar, barokah itu adalah ziyadatu al-khair ‘ala al-khair: bertambahnya suatu kebaikan ke dalam kebaikan yang telah ada. Boleh diterjemahkan: menghadiri undangan kenduri, sudah dapat makan masih dapat ‘berkat’ pula. Berkat itu sebutan untuk satu kotak nasi lengkap dengan lauknya dan kue untuk dibawa pulang dan dinikmati bersama keluarga. Barokah, berkat, dan berkatan (bahasa Jawatimuran) satu rumpun dengan asal kata yang sama.