Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sebuah Refleksi, Mengapa Saya Menjadi Jurnalis?

3 Mei 2016   02:24 Diperbarui: 3 Mei 2016   19:25 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surat itu memang tidak saya kirim melalui Pos, saya tiitipkan melalui sahabat saya. Lelaki itu membacanya, tetapi dia tak merespon apa-apa. Namun sejak saat itu hubungan kami merenggang, dia menjauh, saya menjauh, dan sampai cerita ini saya turunkan kami tidak pernah bertemu lagi. Sekiranya itu adalah memori termanis, bahwa saya merasa sangat bebas dengan menulis ketimbang berbicara langsung atau hanya pakai WA, LINE, Chatting, dan lain sebagainya.

Sejak saat itu saya berprinsip, ada banyak hal yang tidak selalu bisa dibahasakan secara verbal. Ada banyak hal di dunia ini yang butuh direnungkan dalam-dalam, direfleksikan, diolah, diterima semua pergulatannya. Respon-respon reaktif menjadi kurang berharga bagi saya. 

Kebiasaan menulis surat itu masih terus saya lanjutkan. Saat kuliah, saya terpisah dengan sahabat saya saat SMA. Dia kuliah di Bandung, sementara saya di Tangerang. Kami juga sama-sama sibuk kuliah dan organisasi, sangat tidak memungkinkan kami curhat se intens SMA. 

Kami pun mengambil inisiatif membuat diary bersama. Apakah anda pernah menonton film Sisterhood and the travelling pants? Ya kira-kira miriplah, hanya saja saya dan sahabat saya tidak memiliki celana untuk dipakai bergantian hahaha. Kami hanya punya diary yang ditukar setiap seminggu sekali, di antar melalui Pos atau JNE untuk dibaca masing-masing dari kami, apa yang kami alami, pergulatan apa yang kami rasakan, apa temuan kami atas analisa perasaan kami, dan bagaimana saran kami satu sama lain. Bagi beberapa orang itu aneh, tetapi bagi kami, itu mengolah batin, cara kami memahami diri dan berkomunikasi dengan diri sendiri.

Menulis kebenaran itu butuh kontemplasi. Butuh kesadaran sekaligus kejujuran dan keberanian. Hal ini terbukti saat jatuh cinta kedua kalinya, saya masih memakai metode surat padahal sudah ada WA, LINE, Facebook, yang memungkinkan dia kapan pun bisa mengetahui perasaan saya. Ya, tetapi buat apa? Mengapa saya begitu memudahkan masalah perasaan dengan ungkapan-ungkapan singkat tanpa mengolahnya terlebih dahulu.

Pria yang kedua memang membalas surat saya sih, tetapi via WA, alasan tidak bisa berkirim surat karena tulisan dia jelek. Ya entahlah, bisa jadi tulisan dia memang jelek, bisa jadi juga dia malas. Kamu tahu kan, pekerjaan menulis dengan tangan (bukan komputer loh ya) jauh lebih menguras tenaga ketimbang mengetik. Setidaknya, pria kedua ini bisa jadi sample risetnya Pak Gilarsi soal tipikal generasi milenia yang gemar mengetik di WA atau LINE ketimbang kirim surat via POS hahaha. Jadi, Pak Gilarsi, maybe next time kalau saya wawancara lagi bapak, saya kasih tahu, tantangan bapak menghadapi generasi milenial ini sulit, bisa jadi filosofi berkirim surat untuk memperkuat memori dan emosi akan berubah, karena yang dikirim besok-besok bukan hanya surat, akan lebih banyak paket barang-barang dari Lazada dan Zalora.

Beberapa tulisan lain yang saya simpan di lemari kamar (lama-lama lemari saya jadi terlihat kayak tong sampah hahaha) adalah surat cinta dari angkatan 2012 UMN kepada saya, sebagai koordinator Keamanan Orientasi Mahasiswa Baru. Saya mendapatkan gelar kakak tergalak hahaha, Angkatan 2012, angkatannya Niko, Ghina, Guido, itu memang paling takut sama saya, karena selama Ospek saya paling garang hahaha. Eh tetapi sesudahnya kami jadi dekat haha (sok dekat aja sih guenya). Saya mendapatkan banyak surat cinta bertulis tangan dari angkatan 2012. Saya menyimpan dengan baik surat-surat itu, bahkan salah satunya menulis bahwa suara saya begitu besar dan menggelegar seperti bunyi ombak yang syahdu di Pantai Selatan Jawa yang dijaga Nyai Roro Kidul. Hahahahaha. Saya bersyukur adik-adik ini masih mau menulis surat untuk kakak tergalak dengan beragam kata yang membuat saya bahagia sekaligus merasa kecelek hahaha.

Saat saya mau memulai kerja di sebuah koran, wakil pemimpin redaksi yang mewawancarai saya bahkan kaget dengan CV saya. Dia sampai berkata, "Kamu nih saya lihat dari SMP sudah menulis jadi jurnalis. Kamu tidak punya cita-cita lain ya selain jadi jurnalis?" Saya hanya cengengesan jawabnya, "Dulu saya pernah mau jadi dokter Pak, tetapi tidak kesampean..Hehehehe.." 

Sempat saya berpikir, karakter saya yang sangat introvert ini membutuhkan kebebasan lebih hanya dengan menulis. Hal itu membuat saya juga lebih suka menulis untuk mengaudit pikiran saya ketimbang mengungkapkannya secara lisan. Karakter saya ini juga sempat saya pikir akan menyulitkan saya mendapatkan pasangan hidup. Hari gini, siapa yang suka dengan old-style girl yang masih suka berkirim surat? Hahahahaha. Ada WA gitu loh broooo! Lu tinggal di goa mana? Hahahahaha.

Lalu saya ingat seorang tokoh bernama Rangga? Ya, Rangga dalam film Ada Apa Dengan Cinta. Hari Minggu kemarin saya menonton lagi film AADC #2 dimana Rangga akhirnya kembali dari New York. Saya mencoba mencari kesamaan karakter saya dengan yang ada di AADC. Saya ini sepertinya irisan Cinta dengan Rangga. Saya tak se introvert Rangga, tetapi saya juga tak se ekstrovert Cinta. Saya senang menulis puisi seperti Rangga, menyendiri. Tetapi saya juga senang membaca dan menikmati seni seperti Cinta, tidak menyendiri, memiliki sahabat meski tak banyak. Hanya itu-itu saja. Sekilas melihat keramaian Cinta dan tiga kawannya saya, spontan mengingatkan saya kepada tiga sahabat saya, perempuan semua. Kami juga pernah melakukan liburan seperti Cinta dkk ke Jogja. Saya dan ketiga sahabat saya berlibur ke Bandung setahun lalu.

AADC membawa penggalan impian saya yang belum tercapai. Soal masa depan. Soal menikmati kopi saat menulis di sebuah kedai yang tenang. Soal menikmati alam raya bersama tawa sahabat-sahabat dengan kegembiraan yang membuncah. Saya sungguh sangat suka dengan nama kedai kopi milik Rangga di New York. Namanya Daily Press Coffee. Mungkin, kalau saya di New York, setiap hari saya akan melansir bertemu dengan Rangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun