Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Peringatan

14 November 2015   14:14 Diperbarui: 14 November 2015   14:14 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

di tempat

 

Puisi pembukaan surat saya adalah sebuah puisi yang saya ketahui sebagai salah satu puisi favorit Bapak. Sebuah puisi yang dibuat oleh Widji Thukul tahun 1986 dalam upaya perlawanan terhadap rezim represif Orde Baru. Wiji Thukul, sang penyair dan aktivis pro demokrasi yang sampai saat ini hilang bersama dengan 13 aktivis lainnya. Tak seorangpun mengetahui dimana keberadannya, hingga saat ini. Adapun Bapak juga sudah pernah membacakan puisi ini di depan khalayak ramai, tepatnya saat peringatan Orang Hilang di rumah dinas Walikota Solo, Loji Gandrung. Tak heran jika Wahyu Susilo, adik dari Wiji Thukul mengaku senang mendengar Bapak membacakan puisi buatan kakaknya, yang hingga kini tak memberikan kejelasan dimana ia berada. Masihkah Wiji Thukul hidup? Ataukah ia sudah meninggal? Tidak ada kepastian.

Pak Jokowi tentu ingat, bapak pernah menyatakan sebuah pernyataan yang menjadi lilin bagi kegelapan nasib seorang pejuang pro demokrasi, Wiji Thukul. Bapak pun mengatakan sang penyair yang hilang, Wiji Thukul, mutlak harus ditemukan. Kemutlakan ini terlepas apakah Wiji Thukul masih hidup ataukah sebaliknya, sudah meninggal. Dengan gamblang bapak menegaskan kejelasan mengenai nasibnya harus menjadi perhatian pemerintah. Tak hanya itu, bapak pun menjanjikan rekonsiliasi dari fakta-fakta yang sudah mencuat.

Banyak dugaan sementara yang menjadi bahan acuan investigasi bahwa Wiji Thukul menjadi korban penculikan dan pembunuhan menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1998. Istri dan beberapa kerabat dekatnya percaya dia masih hidup. Sayangnya, hingga hari ini, Wiji Thukul tak pernah kembali. Lelaki kurus dan  cadel ternyata terlalu dianggap membahayakan Orde Baru lewat syair-syair buatannya. Persis seperti syair yang saya lampirkan, syair yang bapak favoritkan.

Puisi-puisi buatan Wiji banyak diedarkan dalam bentuk selebaran, poster, stensilan, dan buletin propaganda. Ia membuat dan tersebar luas di kalangan buruh serta petani. Misi Wiji Thukul melalui puisi-puisinya yakni memberikan pemaparan realitas bangsa dan negaranya yang mengenaskan kala itu. Sayangnya, gerakan Wiji dan 13 orang aktivis lainnya dinilai sebagai aksi yang melawan pemerintah karena mendidik anak-anak kampung untuk menggerakkan kebencian terhadap pemerintahan Orde Baru. Padahal, aksi Wiji Thukul yang memperjuangkan demokrasi, perjuangan hak hidup, hak berwarganegara, yang bertahun telah digegoroti oleh sikap represif pemerintah. Apa yang Wiji Thukul lakukan merupakan bentuk perjuangan hak asasi manusia. Wiji Thukul, meskipun seorang penyair, tetapi ia adalah orang yang berada dalam garis depan perjuangan akan pernghormatan HAM. Sayangnya, hilangnya Wiji Thukul semakin menandakan upaya mereka tidak terakomodir oleh negara.

Tak hanya Wiji tentu yang bisa kita ingat Pak sebagai pelaku pembela HAM di Indonesia. Masih ada Udin, jurnalis Bernas yang dibunuh setelah menulis kasus korupsi Bupati Sleman, Jaf’ar Siddiq yang dibunuh karena memperjuangkan referendum bagi rakyat Aceh, Marsinah, yang dibunuh karena melakukan unjuk rasa menuntut kenaikan Upah Minimum Regional (UMR), serta meninggalnya aktivis HAM, Munir, yang disebut karena keracunan zat arsenik yang mematikan dalam pesawat menuju Belanda, 6 September 2004, untuk melanjutkan S2-nya.

Bapak tentu melihat adanya benang merah yang sama antar kasus-kasus ini yakni pengabaian yang cukup lama dari pemerintah untuk mengusutnya. Bayangkan saja, setelah Co-Pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto, terpaksa duduk di kursi terdakwa Munir sementara jaringan konspirator yang seharusnya dalam hierarki memberikan perintah kepada Polly justru tak dikejar. Tentunya ada juga beberapa aktor intelektual, dan dugaan keterlibatan aparat intelijen negara. Kondisi selanjutnya adalah ketika hasil rekomendasi Tim Pencari Fakta (TPF) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memeriksa para mantan petinggi Badan Intelijen Negara, namun sampai tak pernah dilakukan oleh Presiden.

Oleh sebab itu saya akan membuka sebuah pernyataan yang mungkin sudah Pak Jokowi dengar sebelumnya, bahwa presiden kita saat ini, orang nomor satu di Indonesia telah melakukan pembangkangan hukum atau obstruction of justice yakni karena mengabaikan TAP MPR No. V/2000 tentang mandat penegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau. Presiden juga mengabaikan rekomendasi Ombudsman RI (ORI) yang jelas-jelas memperingatkan, bahwa telah terjadi penundaan pelayanan yang berlarut-larut dalam penuntasan kasus Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998, yang jelas merupakan bentuk perbuatan maladministrasi dan mengingkari prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

Pernyataan bapak yang berjanji akan mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM lampau seolah menjadi angin segar bukan hanya bagi mereka, para keluarga yang ditinggalkan tanpa kabar oleh orang-orang hilang, tetapi juga bagi warga negara yang mendambakan kepastian hukum, kesetaraan hukum, dan kemerdekaan.

Kita tidak bisa naif pak, bahwa kematian adalah salah satu resiko yang harus dihadapi oleh para aktivis Pembela HAM. Tak hanya itu, ancaman kekerasan yang dihadapi oleh Pembela HAM dalam melakukan kerjanya terdiri dari berbagai bentuk, mulai dari hambatan prosedural, ancaman ringan, hingga tindakan nyata yang membawa kematian. Padahal, jelas-jelas dalam hukum nasional Pasal 28 I ayat (4) menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Landasan hukum ini juga sudah ada sebelumnya dan dijamin oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Pasal 28 E UUD 1945. Oleh sebab itu, Apakah segelintir landasan hukum ini masih kurang memberikan jaminan bagi implementasi HAM dan bagi para Pembela HAM?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun