Mohon tunggu...
gitopamungkas
gitopamungkas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Play in Silance...

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Memperjuangkan Pancasila; Memperjuangkan Negara Hukum dengan Perlawanan dan Negara Demokrasi dengan Narasi!

15 Januari 2025   22:15 Diperbarui: 15 Januari 2025   22:07 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia adalah Perjuangan dan Perlawanan. Karena Indonesia merdeka tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari gerakan-gerakan perlawanan yang penuh keringat, darah dan air mata.

Mengutip pandangan yang disampaikan oleh John Locke sebagai salah satu pemikir awal negara hukum modern, bahwa "memobilisasi perlawanan terhadap pihak eksekutif, kalau perlu dengan kekerasan karena ia telah menyalahgunakan wewenangnya" merupakan salah satu cara yang harus dijalankan dalam negara hukum.[1] Bahkan sejatinya, ide dan gagasan yang melatar belakangi lahirnya negara hukum modern adalah ide yang sangat revolusioner. Karena merupakan bentuk perlawanan terhadap kekuasaan penguasa atau raja yang absolut dan sewenang-wenang. Pemikiran negara hukum modern lahir untuk membatasi kekuasaan para penguasa, dan memberikan jaminan, perlindungan, dan penghormatan terhadap hak warga negara atau hak asasi manusia.

 

Dengan adanya negara hukum, maka hukum menjamin adanya hak-hak dan kebebasan warga negara dan menuntut supaya raja atau penguasa taat kepada hukum. Agar terwujudnya hak dan kebebasan warga negara dan hak asasi manusia serta ketaatan penguasa kepada hukum, maka kekuasaan harus dibatasi oleh hukum atau konstitusi. Dalam konsep ini, penguasa diharuskan untuk bertindak sesuai dengan hukum, sehingga kekuasaannya tidak bersifat sewenang-wenang, menindas atau tidak disalahgunakan dengan cara tiran. Oleh karena itu, dalam pandangan negara hukum, yang berdaulat dalam suatu negara bukanlah negara atau penguasa, melainkan hukum. Yaitu suatu negara yang setiap aspek kehidupannya diatur sedemikian rupa sehingga segala kekuasaan dari alat pemerintahan didasarkan atas hukum, begitu pula segenap warga negaranya harus menundukkan diri pada hukum.

 

Hukum itu sendiri bersumber dari perasaan dan pikiran hukum yang ada dalam masyarakat. Atau sering pula disebut sebagai volkgeist (jiwa bangsa) menurut pandangan Carl Von Savigny. Di Indonesia sendiri, volkgeist tersebut adalah Pancasila, sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa yang merupakan peculiar of social life (yang mencerminkan nilai-nilai Masyarakat) sekaligus merupakan kompilasi dari berbagai pikiran dunia yang menjadi leitstaar (bintang penuntun) dan rechtsidee (cita hukum) negara. Maka dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, itu diatur oleh hukum dengan berdasarkan Pancasila. Sehingga kemudian disebut sebagai negara hukum Pancasila.

 

Negara hukum Pancasila tidak hanya membatasi kekuasaan penguasa dan menjamin serta melindungi hak asasi manusia warga negara, melainkan juga untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga negara yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Yaitu kebahagiaan rakyat, lahir dan batin (bonnum publicum). Karena negara Indonesia, sebagaimana yang termaktub dalam konstitusi yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia menjadi alasan, maksud dan tujuan mengapa negara hukum Pancasila dibentuk dan didirikan.

 

Atas dasar inilah, negara bukan lagi lembaga yang pasif, yang menjadi alat dan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat. Tetapi negara aktif mencampuri urusan masyarakat, untuk membentuk masyarakat yang lebih baik. Untuk itu, maka tindakan negara harus berpedoman pada kepentingan umum (masyarakat). Sehingga kemudian, negara yang melandaskan setiap kehidupan kenegaraannya didasarkan pada hukum, juga dirumuskan secara demokratis pada kepentingan rakyat. Artinya bahwa hukum yang terbentuk dan berlaku adalah hukum yang benar-benar dikehendaki oleh seluruh rakyat, bukan semata-mata dikehendaki oleh mereka yang memegang tampuk kekuasaan. Dengan demikian, negara hukum Pancasila yang di dalamnya termuat nilai kerakyatan yaitu demokrasi pada sila ke-4 dan nilai kesejahteraan yaitu keadilan sosial pada sila ke-5 dapat terwujud guna melengkapi nilai ketuhanan, kemanusiaan dan persatuan dalam bingkai NKRI yang harmonis di bawah semboyan "Bhinneka Tunggal Ika".

 

Pada kenyataanya, setiap bunga tidak selalu wangi seperti wangi semerbak bunga-bunga yang ada di taman. Namun terkadang, ia malah penuh dengan duri yang melukai dirinya dan seisinya. Itu pula yang terjadi di negara Indonesia, negara hukum Pancasila (katanya) yang penuh dengan nestapa dan air mata di dalamnya. Korupsi terjadi di mana-mana, hukum dijual belikan disana-sini, demokrasi menjadi slogan-slogan kemunafikan akibat suara dan narasi yang dibungkam dan dipenjarakan, serta penguasa-penguasa yang kerap kali mengkhianati dan mempermainkan konstitusi. Atas nama hukum, kekuasaan dapat merampas tanah Masyarakat adat, lalu menggusur Masyarakat dari tempatnya. Kemudian kekuasaan melakukan pencemaran lingkungan dengan menggunakan hukum sebagai alatnya sehingga rakyat yang menjadi korban, dan masih banyak lagi. Itu semua membuat rakyat terluka dan menderita serta jelas-jelas mengkhianati negara hukum dan negara demokrasi yang berlandaskan Pancasila.

 

Padahal, merdekanya negara Indonesia itu lebih revolusioner dibandingkan negara-negara yang ada di dunia. Karena Indonesia lahir dari perjuangan kemerdekaan yang cukup lama. Dari iuran perjuangan seluruh rakyat Indonesia, dan gema-gema narasi pembebasan dan perlawanan terhadap penjajah-penjajah (yang mungkin sekarang bersalin rupa menjadi pejabat negara). Bayangkan, jika saja saat itu segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia memilih mendiamkan kesalahan dan kejahatan, tidak akan pernah ada negara yang bernama Indonesia. Oleh karena itu, ketika penguasa yang memegang tampuk kekuasaan atau pejabat-pejabat negara yang hari ini menjadi empu dan kaki tangan kekuasaan malah menciptakan penindasan dan ketidakadilan dengan cara yang sewenang-wenang, maka hanya ada satu kata; LAWAN!

 

Semua rakyat Indonesia harus disadarkan untuk bangkit dan bersatu memperjuangkan Indonesia, memperjuangkan Pancasila. Yaitu membangun negara hukum dengan perlawanan dan membangun negara demokrasi dengan narasi. Tidak boleh lagi diam dengan kesalahan, karena itu sama saja dengan melakukan kejahatan. Tidak boleh lagi rakyat mau ditipu daya dan dijadikan permainan kekuasaan yang berpesta merampok kekayaan. Tidak boleh lagi, masyarakat tidak melawan negara (pemerintah) yang mengkhianati hukum dan Pancasila, tidak boleh lagi warga negara tunduk dan patuh terhadap penguasa yang tidak berupaya mewujudkan nilai-nilai Pancasila, malah bahkan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila karena hanya menjadikan hukum sebagai alat politik kuasa yang membabi buta warga negara. Tidak boleh lagi membenarkan kebiasaan-kebiasaan buruk nan jahat penguasaa dan pejabat-pejabat negara.

 

Saatnya kembali membiasakan hal-hal yang benar berupa perlawanan-perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Waktunya menggaungkan gema-gema perjuangan melalui gerakan-gerakan perlawanan. Bukan saja karena itu merupakan hak kita yang sudah dijamin oleh konstitusi sebagai warga negara untuk melawan dan menolak terhadap hukum yang jahat atau kekuasaan yang menindas, melainkan juga karena tanggung jawab moral sebagai warga negara, bangsa dan negara yang lahir dan tumbuh berkat iuran perjuangan bersama melalui perlawanan-perlawanan yang penuh dengan keringat, darah dan air mata.

 

Tentu saja, bukan dengan kekerasan seperti yang dianjurkan oleh John Locke, perlawanan yang akan dilakukan. Tetapi dengan narasi-narasi yang disuarakan untuk menentang, membangkang dan memberontak kekuasaan yang menindas dan sewenang-wenang. Seperti melalui narasi-narasi untuk mendistribusikan kesadaran terhadap sesama warga negara, seperti aksi demonstrasi atau unjuk rasa, mogok kerja, gerakan tidak membayar pajak, seruan golput pada pemilu, bersuara di berbagai media massa dan media sosial, atau barangkali melakukan pembangkangan sipil agar menjadi mercusuar penyadaran dan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara tentang pentingnya hak-hak dan kewajiban dalam memperjuangkan dan merawat Indonesia merdeka. Itulah sejatinya partisipasi, kontribusi dan sumbangsih Masyarakat (Publik) bagi Indonesia.

 

Dengan demikian, seperti bunyi adagium, "lex iniusta non est lex" (hukum yang tidak adil bukanlah hukum sama sekali). Maka segala hukum yang tidak adil harus dilawan, harus ditentang, dibangkang dan diberontak dengan narasi-narasi yang menyuara. Dan selama penguasa menyalahgunakan kekuasaannya secara sewenenag-wenang, maka perlawanan harus terus ada dan berlipat ganda dengan perjuangan dan kegembiraan. Sebab, seperti dikutip oleh Bung Hatta, bahwa "hanya ada satu negeri yang menjadi negeriku. Ia tumbuh dengan perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatanku". Maka perbuatan aku, kamu dan kita adalah perbuatan memperjuangkan Pancasila, yaitu perbuatan memperjuangkan negara hukum dengan perlawanan dan negara demokrasi dengan narasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun