Pada kenyataanya, setiap bunga tidak selalu wangi seperti wangi semerbak bunga-bunga yang ada di taman. Namun terkadang, ia malah penuh dengan duri yang melukai dirinya dan seisinya. Itu pula yang terjadi di negara Indonesia, negara hukum Pancasila (katanya) yang penuh dengan nestapa dan air mata di dalamnya. Korupsi terjadi di mana-mana, hukum dijual belikan disana-sini, demokrasi menjadi slogan-slogan kemunafikan akibat suara dan narasi yang dibungkam dan dipenjarakan, serta penguasa-penguasa yang kerap kali mengkhianati dan mempermainkan konstitusi. Atas nama hukum, kekuasaan dapat merampas tanah Masyarakat adat, lalu menggusur Masyarakat dari tempatnya. Kemudian kekuasaan melakukan pencemaran lingkungan dengan menggunakan hukum sebagai alatnya sehingga rakyat yang menjadi korban, dan masih banyak lagi. Itu semua membuat rakyat terluka dan menderita serta jelas-jelas mengkhianati negara hukum dan negara demokrasi yang berlandaskan Pancasila.
Â
Padahal, merdekanya negara Indonesia itu lebih revolusioner dibandingkan negara-negara yang ada di dunia. Karena Indonesia lahir dari perjuangan kemerdekaan yang cukup lama. Dari iuran perjuangan seluruh rakyat Indonesia, dan gema-gema narasi pembebasan dan perlawanan terhadap penjajah-penjajah (yang mungkin sekarang bersalin rupa menjadi pejabat negara). Bayangkan, jika saja saat itu segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia memilih mendiamkan kesalahan dan kejahatan, tidak akan pernah ada negara yang bernama Indonesia. Oleh karena itu, ketika penguasa yang memegang tampuk kekuasaan atau pejabat-pejabat negara yang hari ini menjadi empu dan kaki tangan kekuasaan malah menciptakan penindasan dan ketidakadilan dengan cara yang sewenang-wenang, maka hanya ada satu kata; LAWAN!
Â
Semua rakyat Indonesia harus disadarkan untuk bangkit dan bersatu memperjuangkan Indonesia, memperjuangkan Pancasila. Yaitu membangun negara hukum dengan perlawanan dan membangun negara demokrasi dengan narasi. Tidak boleh lagi diam dengan kesalahan, karena itu sama saja dengan melakukan kejahatan. Tidak boleh lagi rakyat mau ditipu daya dan dijadikan permainan kekuasaan yang berpesta merampok kekayaan. Tidak boleh lagi, masyarakat tidak melawan negara (pemerintah) yang mengkhianati hukum dan Pancasila, tidak boleh lagi warga negara tunduk dan patuh terhadap penguasa yang tidak berupaya mewujudkan nilai-nilai Pancasila, malah bahkan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila karena hanya menjadikan hukum sebagai alat politik kuasa yang membabi buta warga negara. Tidak boleh lagi membenarkan kebiasaan-kebiasaan buruk nan jahat penguasaa dan pejabat-pejabat negara.
Â
Saatnya kembali membiasakan hal-hal yang benar berupa perlawanan-perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Waktunya menggaungkan gema-gema perjuangan melalui gerakan-gerakan perlawanan. Bukan saja karena itu merupakan hak kita yang sudah dijamin oleh konstitusi sebagai warga negara untuk melawan dan menolak terhadap hukum yang jahat atau kekuasaan yang menindas, melainkan juga karena tanggung jawab moral sebagai warga negara, bangsa dan negara yang lahir dan tumbuh berkat iuran perjuangan bersama melalui perlawanan-perlawanan yang penuh dengan keringat, darah dan air mata.
Â
Tentu saja, bukan dengan kekerasan seperti yang dianjurkan oleh John Locke, perlawanan yang akan dilakukan. Tetapi dengan narasi-narasi yang disuarakan untuk menentang, membangkang dan memberontak kekuasaan yang menindas dan sewenang-wenang. Seperti melalui narasi-narasi untuk mendistribusikan kesadaran terhadap sesama warga negara, seperti aksi demonstrasi atau unjuk rasa, mogok kerja, gerakan tidak membayar pajak, seruan golput pada pemilu, bersuara di berbagai media massa dan media sosial, atau barangkali melakukan pembangkangan sipil agar menjadi mercusuar penyadaran dan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara tentang pentingnya hak-hak dan kewajiban dalam memperjuangkan dan merawat Indonesia merdeka. Itulah sejatinya partisipasi, kontribusi dan sumbangsih Masyarakat (Publik) bagi Indonesia.
Â
Dengan demikian, seperti bunyi adagium, "lex iniusta non est lex" (hukum yang tidak adil bukanlah hukum sama sekali). Maka segala hukum yang tidak adil harus dilawan, harus ditentang, dibangkang dan diberontak dengan narasi-narasi yang menyuara. Dan selama penguasa menyalahgunakan kekuasaannya secara sewenenag-wenang, maka perlawanan harus terus ada dan berlipat ganda dengan perjuangan dan kegembiraan. Sebab, seperti dikutip oleh Bung Hatta, bahwa "hanya ada satu negeri yang menjadi negeriku. Ia tumbuh dengan perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatanku". Maka perbuatan aku, kamu dan kita adalah perbuatan memperjuangkan Pancasila, yaitu perbuatan memperjuangkan negara hukum dengan perlawanan dan negara demokrasi dengan narasi.