Terakhir, tetapi tidak kalah perannya, yaitu faktor budaya dan streotif yang berkembang di Indonesia, berjalan kaki sering dianggap sebagai "opsi terakhir" kalau kendaraan tidak tersedia.Â
Sebenarnya, hal ini tidak terlalu mengkhawatirkan, bila mana rendahnya minat berjalan kaki di landasi alasan kuat bahwa fasilitas kendaraan umumnya sudah berkembang pesat hingga jarang pejalan kaki dan kemacetan teratasi.Â
Sayangnya, hal ini tidak begitu akurat dan bahkan mungkin hanya terjadi di segelintir kota-kota besar tertentu. Karena kenyataannya, fasilitas kendaraan umum tidak merata di seluruh wilayah, hingga masyarakat lebih memilih kendaraan pribadi.Â
Ditambah lagi, tren layanan seperti halnya ojek online semakin mempermudah orang untuk segala keperluan aktivitas bepergian tanpa harus melangkah atau membawa kendaraan pribadi.Â
Dalam artikel yang diterbitkan oleh Jakarta Post, disebutkan bahwa layanan antar jemput online di Indonesia mengalami peningkatan hingga 35% per tahun, menjadikan kendaraan sebagai pilihan utama masyarakat. Â
Dalam hal ini, berjalan kaki di Indonesia memerlukan mental yang cukup kuat, karena sering kali dianggap kekurangan dana dan bahkan dikasihani. Seperti halnya mendapatkan tatapan prihatin atau tawaran tumpangan.Â
Namun, yang lebih parahnya, pejalan kaki harus lebih menyiapkan mental karena jalanan yang sepi pada beberapa daerah terkadang rawan terjadi kriminalitas seperti copet maupun cat calling.Â
Sebenarnya, tidak membiasakan diri untuk jalan kaki bukan cuma soal abai dan gaya hidup semata, tapi juga membawa dampak serius pada kesehatan.Â
Kementerian Kesehatan RI menyebutkan, rendahnya aktivitas fisik seperti berjalan kaki meningkatkan risiko penyakit seperti obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular.Â
Data WHO juga mendukung ini, dengan menyatakan bahwa 25% penduduk dunia yang kurang aktivitas fisik berisiko lebih tinggi terkena penyakit kronis. Â