Dengan perkembangan teknologi, AI mulai menggantikan peran ghost writer dalam beberapa aspek. AI dapat menghasilkan tulisan secara otomatis berdasarkan input tertentu. Namun, apakah AI bisa dianggap sebagai ghost writer?Â
AI tidak memiliki kesadaran, kreativitas personal, atau pengalaman hidup, sehingga karya yang dihasilkannya lebih menyerupai proses otomatis daripada refleksi kreativitas manusia.Â
Namun, penggunaannya menimbulkan tantangan baru dalam hal keaslian, karena semakin banyak penulis atau pengusaha yang menggunakan AI untuk menghasilkan konten tanpa mencantumkan keterlibatan teknologi tersebut.
Solusi dan Jalan Tengah
Transparansi adalah solusi paling etis dalam menghadapi fenomena ghost writing. Menyebutkan ghost writer sebagai co-author atau memberikan kredit secara terbuka adalah salah satu cara untuk menjaga integritas sebuah karya.Â
Beberapa penulis sudah mulai menerapkan langkah ini, memberikan kejelasan kepada pembaca mengenai siapa saja yang terlibat dalam proses kreatif.
Di sisi lain, industri penerbitan juga dapat memberlakukan standar yang lebih jelas terkait peran ghost writer.Â
Dengan meningkatkan kesadaran tentang praktik ini dan memberikan apresiasi yang layak kepada penulis bayangan, ghost writing bisa dilakukan tanpa harus mengorbankan kejujuran dalam dunia literasi. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H