Kaluna nggak sendirian. Kehadiran sahabat-sahabatnya, yaitu Danan, Miya, dan Tanish, membuktikan bahwa lingkungan sosial yang suportif bisa jadi penyelamat di masa sulit. Mereka nggak cuma nongkrong bareng, tapi juga jadi tempat curhat dan saling dukung.
Di dunia kerja yang kompetitif dan penuh tekanan, punya teman yang bisa dipercaya adalah privilege. Lingkar pertemanan sehat kayak gini jadi pengingat bahwa kebahagiaan nggak hanya soal uang, tapi juga soal siapa yang selalu ada saat di titik terendah.Â
3. Utang Bisa Menghancurkan Hubungan Keluarga
Salah satu konflik utama dalam film ini adalah bagaimana pinjol menghancurkan kehidupan keluarga Kaluna. Utang yang nggak terkendali membawa dampak yang lebih dari sekadar masalah finansial, tetapi juga soal kepercayaan dan stabilitas hubungan keluarga.
Banyak keluarga yang terjebak dalam siklus utang tanpa memahami konsekuensinya. Film ini mengajarkan bahwa mengelola keuangan dengan bijak bukan hanya tentang angka banyak dan sedikit, tapi juga tentang menjaga kedamaian dalam keluarga.
4. Sandwich Generation Itu Berlapis-lapis
Sebagai bagian dari sandwich generation, Kaluna menghadapi tekanan dari dua sisi, antara membantu keluarganya membayar kebutuhan seperti listrik dan lain lain, sambil mengejar mimpi pribadinya untuk membeli rumah.Â
Namun, film ini juga menyoroti bahwa ada berbagai level di dalam sandwich generation. Tidak semua orang berada di situasi yang sama, ada yang lebih berat, ada yang sedikit lebih ringan.
Kaluna sendiri berada di level yang bisa dibilang menengah. Tabungan 330 jutanya jadi topik hangat di kalangan netizen, yang melihatnya sebagai simbol bahwa dengan perencanaan yang baik, mimpi tetap bisa digapai meski beban finansial keluarga menghimpit.Â
Tetapi kata-kata Kaluna, seperti "Orang biasa kayak saya, untuk bermimpi saja harus sadar diri," menjadi gambaran bagaimana banyak orang harus berkompromi dengan realita hidup ketika memperjuangkan mimpi.Â
5. Financial Freedom Itu Wajib Sebelum Menikah