Mohon tunggu...
Gita Yulia
Gita Yulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

I am a student of Journalistic Communication Studies, I actively read and share writing on several online media sites, both in the form of light articles, short stories, poetry and short opinions related to actual interesting issues. The reason I joined Kompasiana was because I was interested in the various features available to spread kindness to the public

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ramai Istilah 'Tone Deaf' di Media Sosial, Begini Penyebab dan Cara Mengatasinya!

26 September 2024   21:46 Diperbarui: 26 September 2024   21:57 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tone Deaf (8photo/ Freepik) 

Di era digital ini, media sosial telah menjadi ruang utama interaksi publik. Namun, di balik ramainya aktivitas online, sering kali muncul perdebatan seputar perilaku yang disebut "tone deaf." 

Istilah ini mengacu pada ketidakpekaan seseorang terhadap perasaan atau situasi orang lain, terutama dalam konteks sosial yang sensitif. 

Fenomena ini semakin sering terlihat di media sosial, di mana beberapa pengguna melontarkan pernyataan yang tidak tepat, dalam situasi yang tidak tepat dan berpotensi menyinggung pihak lain. 

Tentunya, sikap tone deaf ini kebanyakan tidak disadari, alih-alih meminta maaf untuk memulihkan situasi sosial, justru banyak orang yang membela diri dan merasa benar. 

Hal tersebut karena tone deaf dalam percakapan media sosial memang tidak tercipta begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh kombinasi beberapa indikator sebagai berikut. 

1. Keterasingan Informasi (Filter Bubble)

Tidak bisa dipungkiri, bahwa banyak pengguna media sosial terjebak dalam "filter bubble," di mana algoritma menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi dan pandangan mereka. 

Akibatnya, informasi yang berseberangan atau penting tentang situasi sosial-politik dapat terabaikan begitu saja. Sehingga keterasingan informasi inilah yang membuat masyarakat tidak menyadari peristiwa penting yang terjadi, meskipun aktif bersosial media. 

2. Prioritas dan Kepentingan Pribadi

Isu sosial yang berkaitan dengan dengan politik dan hajat hidup banyak orang terkadang dianggap sebelah mata, bagi sebagian orang, justru kepentingan pribadi atau hobi lebih menarik. 

Seperti dapat dibuktikan, banyaknya orang yang berbondong-bondong menikmati konten-konten ringan berupa trend viral dan gaya hidup, dibandingkan terlibat dalam diskusi politik yang cenderung berat, sehingga hal inilah yang menyebabkan tone deaf berpotensi terjadi. 

3. Kelelahan Emosional

Konsumsi berlebihan terhadap berita negatif dan konflik memang adakalanya menimbulkan stigma semakin liar sehingga pikiran beradu dan menyebabkan kelelahan emosional. 

Beberapa orang mungkin merasa lelah dengan diskusi sosial atau politik yang terus-menerus dan memilih untuk mengabaikannya, sehingga ketinggalan perkembangannya. 

4. Kurangnya Kesadaran dan Pendidikan Sosial

Seperti diketahui bersama, bahwa pendidikan tentang cara bersosial kebanyakan menjadi aturan tidak tertulis yang tidak dipelajari di bangku sekolah, sehingga tidak semua orang memiliki pemahaman mendalam tentang isu sosial yang kompleks. 

Kurangnya kesadaran inilah yang dapat menyebabkan sesorang berkontribusi pada perilaku "tone deaf" karena seseorang mungkin tidak tahu bagaimana cara merespons situasi dengan tepat.

Namun, tak perlu risau berlebihan, jika memang berniat untuk mencegah perilaku tone deaf dan memperbaiki diri, ada beberapa cara untuk mengatasinya. 

1. Lebih Banyak Mendengar dan Belajar

Meningkatkan kesadaran sosial bisa dimulai dengan lebih banyak mendengar orang lain, terutama mereka yang berasal dari latar belakang berbeda. 

Belajar memahami perasaan dan pengalaman orang lain, serta belajar menempatkan diri adalah kunci untuk menghindari perilaku yang terkesan tidak peka sosial. 

2. Perbanyak Paparan ke Berbagai Perspektif

Ketika menerima informasi yang sifat kebenarannya tidak mutlak, sebaiknya jangan hanya bergantung pada satu sumber informasi atau pandangan. 

Penting untuk memperluas cakrawala dengan mengonsumsi berita dan opini dari berbagai sudut pandang yang akan membantu memahami situasi dengan lebih baik.

3. Refleksi Sebelum Berbicara

Seperti kata pepatah, menjaga lebih baik daripada mengobati, itu artinya, sebelum berpendapat atau memposting sesuatu di media sosial, penting untuk mempertimbangkan resikonya. 

Meskipun media sosial merupakan hak milik pribadi, namun ada etika sosial yang tetap harus dipatuhi, tentang bagaimana pernyataan tersebut akan diterima oleh orang lain. Apakah ada kemungkinan menyakiti perasaan atau lebih memperburuk keadaan?

Jika iya, dan tidak siap dengan resikonya, mungkin lebih baik menahan diri.

4. Berani Mengakui Kesalahan

Terakhir, namun tentunya tidak kalah penting yaitu mengakui kesalahan, jika sudah terlanjur membuat pernyataan yang tone deaf, langkah terbaik adalah segera mengakui dan meminta maaf atas kekeliruan yang dibuat. 

Hal ini menunjukkan kesadaran dan komitmen untuk memperbaiki diri dan memulihkan kembali ruang sosial yang sempat mengeruh. 

Dengan demikian, istilah "tone deaf" tidak hanya menggambarkan ketidakpekaan, tetapi juga mencerminkan kurangnya kesadaran sosial, sehingga penting untuk mengetahui penyebab dan cara mengatasinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun