Ia kembali memeluk tubuhku dengan erat. Â Rasa semangatku mengembara jiwaku. Semenjak suamiku meninggalkan aku bersama buah hatiku, kami mengalami kesulitan. Aku selalu menanggap semua tantangan hidup sebagai ujian Tuhan untuk mengetahui seberapa teguh hati kita. Suamiku meninggalkan rumah suatu hari dan tidak perna kembali. "Kita akan berjumpa kembali," ucap suamiku sebelum ditarik oleh para tentara Belanda. Aku tidak menyangka waktu kita akan berjumpa kembali adalah waktu ia menjemputku untuk pergi ke surga.
Aku tidak mempercayai kepergian suamiku, aku selalu berharap ia akan kembali setiap hari setelah ia pergi. Ketika aku melihat tubuhnya yang tidak berdaya digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri ruas jalan, aku terjatuh tak berdaya. Belanda telah bertanggung jawab atas kematian suamiku. Pembantaian masal telah melibatkan kami para pribumi. Mimpi Daendels tidak lain hanyalah sebuah mimpi buruk. Pembangunan jalanan 1000 km hanyalah impian orang gila, bukanlah jalanan terpanjang yang ia buat, namun makam terpanjanglah yang telah mereka ciptakan. Suasana sayu membawaku teringat kembali kenangan lampau.
Desa Tambang Ayam, Anyer, rumahku. Kami bahagia dahulu, aku mengingat tepat awal kehancuran terjadi. Hari itu 5 Januari 1808, sebuah kapal besar mendekati perairan pantai aku bediri. Aku berdiri terheran memandang kapal asing tersebut. Dari kejauhan aku melihat manusia dengan tampang yang asing. Telah aku sangka itu adalah kapal Belanda, namun aku tidak menyangka sebuah bencana bagi kami akan terjadi.
Namanya adalah Daendels, Herman Willem Daendels dengan lebih tepatnya. Aku mendengar para ibu-ibu mengatakan namanya ketika aku sedang berjalan menuju rumah suami dan anakku berada. Aku berhenti sejenak untuk mendengarkan perbincangan mereka.
"Dia gurbernur jendral baru," bisik ibu tersebut.
"Sedang apa dia disini?" sahut temannya.
"Entahlah, tapi sepertinya petanda buruk," balasnya.
Hati ku berdetak kencang mendengar bisikan tersebut. Dengan lekas aku ingin bertemu keluarga untuk memastikan keamanan mereka. Hatiku tenang ketika melihat mereka dengan ceria berada di rumah bersama. Kegembiraan tersebut hanyalah sebuah kenangan sekarang.
Hari ini Juni 4 1808. Pembangunan jalan sudah melewati sebulan. Suasana desa kami tidak seperti biasanya. Tawa berubah menjadi duka menggelana. Aku berjalan mengelilingi desa mencari nafkah namun hanya mendapat pilu. Aku melihat para jenazah para pekerja di Ujung Kulon. Beratnya kerja rodi, tanpa jaminan makanan, bertanggung jawab atas tewasnya para pekerja. Tumpukan tubuh-tubuh tak berdaya mengeluarkan aroma menyembilu. Tubuhku hanya dapat merinding mendengar rintihan para keluarga yang ditinggalkan.
Harus mencari kemana lagi, sesuap nasi tidak dapat kucari. Kakikku sudah tidak sanggup, tubuhku yang rapuh terjatuh. Pipiku kembali terbasahi dengan tangisan. Perutku menjerit memohon makanan. Apakah ini waktunya aku pergi? Meninggalkan buah hatiku sendiri? Mungkin inilah jalan terbaik.
Aku berbaring di tanah dengan menatap langit biru. Surya matahari mulai memudar. Sedikit demi sedikit, datang kegelapan. Aku menghela nafas.