"Ibu, kita makan apa hari ini?"
Wajahku pucat mendengar kalimat itu. Kalimat begitu sederhana menusuk hatiku dengan begitu dashyat. Aku menatapnya dengan hampa. Mulutku terkunci bisu, tidak ada keberanian dalam diriku untuk menjawab pertanyaan itu. Tanpa sadar pipiku yang kusam terbasahi air mata, aku tidak mampu lagi menjadi seorang sosok yang teguh.
"Ibu mengapa sedih?"
Pertanyaan sulit kembali diutarkannya. Tubuhnya yang rapuh mendekat kepada diriku. Pelukannya yang erat telah mengembalikan bagian-bagian hatiku yang hancur. Aku tidak dapat menjadi ibu yang baik, sesuap nasipun tidak dapat aku berikan kepada anakku. Hanya anakkulah satu-satunya alasan aku masih berjuang hidup hingga saat ini, ketika suami tercinta telah mengangkat kakinya dari dunia ini, dunia terasa hampa. Aku selalu berharap dia akan kembali suatu hari, aku mengetahui hari akan kunjung jumpa.
"Ibu jangan sedih lagi,"
Kalimat yang sungguh sederhana telah mengembalikan jiwaku. Aku mengusap tangisan dan bersenyum. Aku menaruh tangaku di pundaknya dan menatapnya.
"Bayu, saat ini Tuhan belum memberi kita rezeki, Tuhan lagi menguji keteguhan hati kita, kita harus bersabar, kelak nanti Tuhan akan memberi kamu semua makanan yang kamu mau," tuturku kepadanya.
"Bahkan ayam goreng bu?" tanyanya dengan semangat.
"Tentu, kita hanya harus bekerja lebih keras!" ucapku kepadanya.
"Ibu janji?" tanyanya dengan serius.
"Ibu janji," Jawabku dengan tulus.
Ia kembali memeluk tubuhku dengan erat. Â Rasa semangatku mengembara jiwaku. Semenjak suamiku meninggalkan aku bersama buah hatiku, kami mengalami kesulitan. Aku selalu menanggap semua tantangan hidup sebagai ujian Tuhan untuk mengetahui seberapa teguh hati kita. Suamiku meninggalkan rumah suatu hari dan tidak perna kembali. "Kita akan berjumpa kembali," ucap suamiku sebelum ditarik oleh para tentara Belanda. Aku tidak menyangka waktu kita akan berjumpa kembali adalah waktu ia menjemputku untuk pergi ke surga.
Aku tidak mempercayai kepergian suamiku, aku selalu berharap ia akan kembali setiap hari setelah ia pergi. Ketika aku melihat tubuhnya yang tidak berdaya digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri ruas jalan, aku terjatuh tak berdaya. Belanda telah bertanggung jawab atas kematian suamiku. Pembantaian masal telah melibatkan kami para pribumi. Mimpi Daendels tidak lain hanyalah sebuah mimpi buruk. Pembangunan jalanan 1000 km hanyalah impian orang gila, bukanlah jalanan terpanjang yang ia buat, namun makam terpanjanglah yang telah mereka ciptakan. Suasana sayu membawaku teringat kembali kenangan lampau.
Desa Tambang Ayam, Anyer, rumahku. Kami bahagia dahulu, aku mengingat tepat awal kehancuran terjadi. Hari itu 5 Januari 1808, sebuah kapal besar mendekati perairan pantai aku bediri. Aku berdiri terheran memandang kapal asing tersebut. Dari kejauhan aku melihat manusia dengan tampang yang asing. Telah aku sangka itu adalah kapal Belanda, namun aku tidak menyangka sebuah bencana bagi kami akan terjadi.
Namanya adalah Daendels, Herman Willem Daendels dengan lebih tepatnya. Aku mendengar para ibu-ibu mengatakan namanya ketika aku sedang berjalan menuju rumah suami dan anakku berada. Aku berhenti sejenak untuk mendengarkan perbincangan mereka.
"Dia gurbernur jendral baru," bisik ibu tersebut.
"Sedang apa dia disini?" sahut temannya.
"Entahlah, tapi sepertinya petanda buruk," balasnya.
Hati ku berdetak kencang mendengar bisikan tersebut. Dengan lekas aku ingin bertemu keluarga untuk memastikan keamanan mereka. Hatiku tenang ketika melihat mereka dengan ceria berada di rumah bersama. Kegembiraan tersebut hanyalah sebuah kenangan sekarang.
Hari ini Juni 4 1808. Pembangunan jalan sudah melewati sebulan. Suasana desa kami tidak seperti biasanya. Tawa berubah menjadi duka menggelana. Aku berjalan mengelilingi desa mencari nafkah namun hanya mendapat pilu. Aku melihat para jenazah para pekerja di Ujung Kulon. Beratnya kerja rodi, tanpa jaminan makanan, bertanggung jawab atas tewasnya para pekerja. Tumpukan tubuh-tubuh tak berdaya mengeluarkan aroma menyembilu. Tubuhku hanya dapat merinding mendengar rintihan para keluarga yang ditinggalkan.
Harus mencari kemana lagi, sesuap nasi tidak dapat kucari. Kakikku sudah tidak sanggup, tubuhku yang rapuh terjatuh. Pipiku kembali terbasahi dengan tangisan. Perutku menjerit memohon makanan. Apakah ini waktunya aku pergi? Meninggalkan buah hatiku sendiri? Mungkin inilah jalan terbaik.
Aku berbaring di tanah dengan menatap langit biru. Surya matahari mulai memudar. Sedikit demi sedikit, datang kegelapan. Aku menghela nafas.
"Suamiku?" sahutku saat melihat sosok yang tidak asing di kejauhan.
Ia berjalan menujuku dengan perlahan.
"Akhirnya kita berjumpa kembali," tuturnya dengan senyuman.
"Aku tahu kamu tidak akan membohongiku," balasku dengan tangisan.
"Ayo tunggu apalagi, Bayu sudah menunggu di pintu surga," ucapnya dengan lembut.
      Jalan Anyer-Panarukan, saksi bisu tragedi lampau.
     Â
Daftar Pustaka
Wibowo, Wasis. "Jalan Raya Pos: Saksi Kekejaman Dan Pembatasan Atas Nama Pembangunan." SINDOnews.com, SINDOnews.com, 14 Jan. 2018, daerah.sindonews.com/read/1273597/29/jalan-raya-pos-saksi-kekejaman-dan-pembatasan-atas-nama-pembangunan-1515954806.
F, Hendri. "Sepuluh Fakta Di Balik Pembangunan Jalan Daendels Dari Anyer Ke Panarukan." Historia - Obrolan Perempuan Urban, historia.id/kuno/articles/sepuluh-fakta-di-balik-pembangunan-jalan-daendels-dari-anyer-ke-panarukan-6ae2W.
Ratna, Dewi. "Simak Kisah 'Kejam' Kerja Rodi Di Indonesia." Merdeka.com, 14 Apr. 2016, www.merdeka.com/pendidikan/simak-kisah-kejam-kerja-rodi-di-indonesia.html.
Kompas, 2008, Ekspedisi Anjer-Panaroekan: laporan jurnalistik Kompas : 200 tahun Anjer-Panaroekan jalan (untuk) perubahan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H