Mohon tunggu...
Gitanyali Ratitia
Gitanyali Ratitia Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemilik SPA dan Healing Therapy di Jerman

53 yrs old Mom with 3 kids, Fans of Marilyn Monroe, Jazz & Metallica , Bali - Java Wellness & Healing di Jerman, Positive thinker, Survival. Reiki Teacher, Angelic healer, Herbalis. I’m not the girl next door, I’m not a goody goody, but I think I’m human and I original. Life Is beautiful but sometimes A Bitch and someday It F***s You In The Ass but heeey dude! be positive.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pendidikan Dokter Spesialis di Jerman: Sebuah Pengalaman Pribadi

21 November 2014   00:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:16 3134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_376849" align="aligncenter" width="425" caption="Uniklinik Magdeburg Tampak Depan."][/caption]

Saya mengenal sosok Dokter muda ini sebagai pribadi yang pendiam , introvert. Pertemuan pertama kali di rumah seorang teman yang sedang berulang tahun. Saya mengamatinya , dia orang yang sangat pendiam. Saya berpikir saya harus mengajaknya berbicara . Dan begitulah setelah pertemuan -pertemuan tersebut baru Pak Dokter Chrisen lie ini bisa enak diajak mengobrol. Ternyata Kita semua doyan makan , kita disini sering mengadakan acara kumpul-kumpul dan berbagi resep . Hanya ada beberapa saja orang Indonesia di Magdeburg jadi kita semua kenal secara baik keluarga Indonesia disini.

[caption id="attachment_376852" align="aligncenter" width="470" caption="Arisan di Halaman apartement Dokter Chrisen Lie Pas Musim Panas."]

1416478800886871288
1416478800886871288
[/caption]

Teman-teman saya baik semua disini termasuk Dokter Chrisen Lie . Saya titip buah Kluwak dan jeruk limau kepada orang tuanya untuk di bawa ke Magdeburg . Dan saya mendapatkan titipan tersebut dengan hati senang berbunga-bunga. Hingga akhirnya Dokter Christ saya undang makan Ayam Buah Kluwak Ala Nyonya Peranakan. Mereka senang masakan ini , teman-teman saya juga.

Tetapi tulisan ini bukan tentang Kluwak , tetapi tentang Dokter Chrisen Lie dan Pengalamannya Menjadi Dokter Specialist di Magdeburg , berikut kisahnya. Saya yakin akan banyak sekali orang Indonesia yang mencari-cari info berharga ini . ( untuk Kompasiana , saya sudah mendapatkan ijin dari Dokternya sendiri , jangan dihapus lagi ya ).

-------------

Apa? Sekolah spesialis di Jerman dibayar? Jaga malam hanya tiga kali sebulan? Tidak ada senioritas? Di Jerman sedang kekurangan dokter? Demikianlah desas-desus yang berhembus di telinga para calon lulusan fakultas kedokteran yang sedang mencari peluang untuk melanjutkan pendidikan menjadi dokter spesialis. Benar, semua hal yang saya sebutkan di atas bukan isapan jempol belaka. Namun, seperti biasa, iklan selalu menonjolkan sisi positif dari sebuah produk. Sebelum memantapkan pilihan, lebih baik kita menimbang kelebihan dan kekurangan pilihan kita.

Sebagai salah seorang yang telah berhasil masuk ke dalam program pendidikan spesialis di Jerman, saya seringkali mendapat banyak pertanyaan senada: „apakah desas-desus itu benar?“ „Jika ya, wah menyenangkan sekali ya PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) di Jerman.“ „Saya juga mau ah kuliah di Jerman.“ Pertanyaan lain yang muncul adalah: „Susah nggak sih kuliah (PPDS) di Jerman?

Pertanyaan ini terkesan lumrah dan sangat spontan untuk ditanyakan, tapi jika saya minta penanya untuk memikirkan kira-kira jawaban apa yang harus saya berikan, saya yakin kita semua bisa menjawab pertanyaan itu sendiri.

Di dalam artikel ini saya tidak akan membahas sisi teknis dari persiapan menjalani PPDS di Jerman. Selain karena peraturan yang berbeda-beda di setiap negara bagian, informasi mengenai kelengkapan dokumen serta proses yang harus dilalui dapat ditemukan di dunia maya/mesin pencari dengan kata kunci „Berufserlaubnis“ dan negara bagian yang diinginkan.

Sekilas tentang sistem pendidikan dokter spesialis di jerman

Setelah lulus dari fakultas kedokteran, berbeda dengan di Indonesia, semua peserta pendidikan dokter di Jerman tidak diperbolehkan praktek sebagai dokter umum. Untuk menjadi dokter umum (Hausarzt), lulusan FK di Jerman harus menempuh pendidikan sebagai spesialis kedokteran umum (Facharzt für Allgemein Medizin) atau spesialis penyakit dalam (Facharzt für Innere Medizin).

Seperti negara-negara maju lain PPDS di Jerman adalah sebuah pekerjaan. Istilah untuk dokter yang bekerja dalam rangka PPDS adalah Assistenzarzt.[1]Jadi untuk memulai PPDS di Jerman yang kita butuhkan adalah lowongan kerja sebagai Assistenzarzt di RS di Jerman. Hampir semua RS di Jerman mampu untuk menyelenggarakan program ini, karena sebagian besar RS tersebut adalah RS Jejaring dari Universitätsklinikum (RS Pendidikan sebuah fakultas kedokteran, seperti RSCM-FKUI, RS M.Djalil-FKUnand dsbnya). Program pendidikan dokter spesialis ini berlangsung rata-rata selama 6 tahun. Untuk program penyakit dalam ada dua opsi,yaitu (1) mengambil penyakit dalam selama 6 tahun, kemudian mengambil kekhususan selama 2 tahun atau (2) langsung mengambil pulmonologi, kardiologi,dll selama 6 tahun. Kedua program tersebut sama-sama diakui di Jerman. Namun,ada perbedaan kompetensi saat selesai menempuh program tersebut. Rekan-rekan yang memilihi opsi (1) dapat bekerja dan membuka praktek pribadi sebagaiHausarzt selain kekhususan yang mereka miliki karena memiliki titel Facharzt für Innere Medizin, sementara rekan-rekan yang memilihi opsi (2) hanya boleh berpraktek sesuai kekhususan mereka [misal sebagai spesialis jantung (Kardiologe)].

Karena proses pendidikan spesialis di Jerman adalah sebuah pekerjaan, maka sudah sewajarnya jika kita yang berhasil memperoleh lowongan tersebut mendapatkan gaji. Di beberapa negara bagian bekas Jerman Barat (Nordrhein-Westfallen,Hessen) masih memungkinkan kita melamar sebagai dokter tamu (Gastarzt). Sebagai Gastarzt kita tidak akan mendapatkan gaji, meskipun pendidikan spesialis tetap berjalan. Kita hanya perlu membiayai diri sendiri (akomodasi,tempat tinggal, transport, dsbnya) dan tidak perlu membayar SPP dsbnya.

Setelah minimal 6 tahun kita dapat mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian (Facharztprüfung). Jika kita lulus ujianini maka otomatis kita mendapatkan titel Sp/Facharzt. Ujian ini akan diadakan di Uniklinikum di negara bagian tempat kita bekerja saat mendaftarkan diri untuk ujian.

Implikasi dari program seperti ini adalah tidak ada pendidikan terstruktur. Jumlah ilmu yang kita dapat, yang sedikit banyak menentukan kompetensi kita, tergantung dari performa kita selama bekerja dan keinginan kita pribadi.

Persiapan menempuhPPDS di Jerman

Adadua hal mendasar yang diperlukan untuk menempuh pendidikan spesialis di Jerman, yaitu (1) modal bahasa Jerman yang baik dan (2) niat yang sangat kuat untuk menempuh pendidikan spesialis tersebut. Mengapa dua hal ini sangat penting? Karena untuk mendapatkan lowongan pekerjaan sebagai Assistenzarzt, kita harus mencari lowongan pekerjaan, menulis suratl amaran, kemudian kita harus berhubungan dengan berbagai badan pemerintahan di Jerman untuk mengurus berbagai kelengkapan dokumen, dan kita harus membaca semua peraturan mengenai dokumen-dokumen yang harus kita lengkapi. Semua ini tentu saja membutuhkan bahasa Jerman yang lebih dari „Ich heiße …“ atau „Auf Wiedersehen“. Terlebih lagi setelah kita bekerja, kita akan berkomunikasi dengan pasien. Bagaimana mungkin kita bisa membina raport dengan pasien, jika kita tidak menguasai bahasa Jerman dengan baik?

Poin kedua, yaitu niat yang kuat, juga sangat penting, karena mencari lowongan pekerjaan di Jerman bagi lulusan negara ketiga, terlepas dari Ärztemangel (kekurangan dokter), tidak mudah. Bayangkan anda seorang direktur kepegawaian RSCM yang menerima lamaran dari dokter yang berasal dari Timbuktu, tentu Anda akan mempertimbangkan setidaknya dua hal: (1) apakah pelamar mampu berbahasa Indonesia dan dapat dimengerti oleh pasien? Jangan sampai RS ini mendapatkan tuntutan malpraktek akibat komunikasi yang tidak lancar; (2) kompetensi, apakah ia mampu bekerja sebagai dokter yang memenuhi standar RSCM sebagai RS pusat rujukan nasional di Indonesia? Tentu saja sebagai RS ternama di Indonesia, RSCM tidak akan kekurangan dokter umum yang ingin melamar sebagai peserta dokter spesialis. Terlepas dari fakta bahwa pelamar adalah lulusan FK terbaik di Timbuktu, Anda tentu saja tidak punya waktu untuk melakukan background checksecara menyeluruh pada kandidat ini (Anda mungkin juga tidak tahu apakah FK tersebut memang FK terbaik di Timbuktu). Masih banyak lulusan FKUI atau FK PTN ternama di Indonesia lain atau FK Swasta lain yang ingin bekerja di RSCM. Inilah gambaran posisi kita sebagai lulusan dari Indonesia/negara ketiga.

Banyak yang bertanya kepada saya: „Jika ingin PPDS X (program studi) di Jerman, paling bagus di kota apa ya?“ Saya paham, kita semua ingin mendapatkan pendidikan yang terbaik di universitas bergengsi, namun apakah kita sadar akan posisi kita? Jika kita sebagai lulusan negara ketiga ingin mencari pekerjaan di tempat terbaik di Jerman, apakah kita memiliki nilai jual? Inilah yang saya maksud dengan niat. Mencari lowongan pekerjaan sebagai AA (Assistenzarzt) di Jerman sangat sulit, pengalaman saya pribadi menghabiskan dua tahun. Ditambah lagi masa studi minimal 6 tahun. Jika dijumlahkan saya akan menghabiskan waktu 8 tahun. Tapi, yang perlu diingat adalah selama 6 tahun itu kita bekerja, mendapatkan gaji, membangun karir dan dapat membangun rumah tangga. Jadi saran saya adalah bulatkan tekad dan niat,jika memang ingin menempuh PPDS di Jerman. Kita harus siap susah, harus siap mulai dari nol. Peluang kita untuk mendapatkan pekerjaan lebih besar di RS di kota kecil yang bahkan mungkin orang Jerman pun tidak kenal. Dari sana kita dapat membangun karir kita, pindah ke RS yang lebih besar, pindah ke center yang baik. Jadi, terlepas dari kita lulusan terbaik FKUI, kita bukanlah siapa-siapa di Jerman. Jika Anda berhasil mendapatkan lowongan kerja, saran saya, ambil saja tanpa pikir panjang. Anda tidak akan tahu kapan anda mendapat kesempatan itu lagi. Namun, sekali lagi, hidup adalah pilihan, Anda bisa saja kekeuh ingin bekerja di Uniklinik Heidelberg, Charité Berlin, atau di kota besar lain (kabar burung mengatakan bahwa di kalangan orang Jerman sendiri bekerja di Uniklinik tidak lagi menjadi incaran mereka karena beban kerja yang jauh lebih besar dari RS biasa: trias pendidikan-pelayanan-penelitian). Risiko dari pilihan tersebut adalah Anda harus menunggu mungkin tahunan atau bahkan tidak pernah mendapat lowongan sama sekali.

Pengalaman menempuh PPDS di Jerman

Saya akan berbagi pengalaman saya sejak mempersiapkan diri (kursus bahasa) sampai akhirnya tiba di Jerman dan memulai keseharian sebagai Assistenzarzt di Jerman.

1.      Persiapan bahasa

Tanpa benar-benar merencanakan untuk melanjutkan pendidikan spesialis di Jerman, saya memulai kursus bahasa Jerman sejak tahun kedua pendidikan dokter umum. Saya kebetulan termasuk pribadi yang senang mempelajari bahasa asing dan karena saya sempat berkeinginan untuk sekolah kedokteran di Jerman, saya memutuskan untuk memenuhi hasrat belajar bahasa Jerman yang tertunda. Bahasa Jerman termasuk bahasa yang relatif kompleks dari segi tata bahasa. Oleh karena itu saya menyarankan belajar bahasa Jerman sedini mungkin, terutama jika memang sudah ada keinginan untuk melanjutkan pendidikan di Jerman. Toh kemampuan bahasa asing selalu menjadi nilai lebih di CV, meskipun pada akhirnya kita mengurungkan niat melanjutkan pendidikan ke Jerman. Memulai sedini mungkin juga memberikan kita kesempatan untuk belajar sedikit demi sedikit. Memang ada kursus intensif dan semiintensif yang ditawarkan oleh lembaga kursus sehingga kita bisa mencapai level yang diinginkan (level B2/intermediate akhir) dalam waktu 6 bulan. Namun, dengan kompleksitas tata bahasa Jerman, kita akan lebih mudah mencerna jika kita memiliki lebih banyak waktu. Pada akhir pendidikan dokter umum saya sudah lulus ujian level C1 (advanced awal).

2.      Mencari lowongan pekerjaan

Saya mengawali pencarian saya dengan mempersiapkan surat lamaran dalam bahasa Jerman, CV singkat dalam bahasa Jerman dan hasil pindaian sertifikat bahasa. Penting untuk mempersiapkan isi surat lamaran dan CV sendiri karena yang akan diwawancara nantinya adalah kita sendiri dan kita harus bisa mempertanggungjawabkan apa yang kita tulis dan kita cantumkan. Tips untuk CV: singkat, padat, berikan foto dan lückenlos (tidak ada periode menganggur). Selanjutnya saya mulai mencari lowongan di dunia maya. Laman www.aerzteblatt.de adalah salah satu sumber lowongan pekerjaan yang cukup komprehensif. Google tentu saja juga dapat membantu. Setelah 2 tahun mencari lowongan dan tidak membawa hasil (tidak intensif, karena saya juga sembari bekerja di fakultas dan sebagai dokter umum di PKM dan klinik swasta), saya memutuskan untuk melakukan sesuatu. Saya harus berangkat ke Jerman dengan cara apapun. Pada saat itu saya mencari summer course bahasa di laman DAAD,karena ingin pada saat yang bersamaan memperbaiki kemampuan bahasa jerman saya. Satu-satunya summer courseyangmungkin saya hadiri saat itu (karena masalah waktu pengurusan visa dsbnya) berlangsung di Gießen pada bulan September. Pada saat yang bersamaan, saya mendapatkan info bahwa pada awal Oktober akan berlangsung ESC (European Student Conference) di Berlin dengan tema sel punca dan kedokteran regeneratif. Sebuah tema yang memang saya minati. Semakin mantap persiapan saya untuk berangkat ke Jerman. Pada saat itu melalui Google saya mendapatkan info bahwa di Uniklinik Magdeburg sedang ada lowongan sebagai AA di Kardiologie. Saya berencana untuk melamar ketika saya sudah berada di Jerman dan sekalian menawarkan diri untuk Vorstellungsgespräch(wawancara). Hal yang sulit saya lakukan jika melamar dari Indonesia.

3.      Mendapatkanlowongan

Pada saat persiapan menuju Gießen dan Berlin, sayaberkesempatan berkenalan dengan seorang mahasiswa kedokteran asal Taiwan melaluiakun Facebook panitia ESC. Ia pernah berkunjung ke Indonesia dalam rangka lombapresentasi penelitian yang kebetulan juga diadakan oleh organisasi penelitianyang saya ikuti. Dari sana saya menceritakan keinginan saya untuk melanjutkanspesialis di Jerman. Ia bercerita bahwa ia pernah melakukan program pertukaranpelajar di Jerman dan memiliki hubungan baik dengan Chefarzt(direktur) di Kardiologie, Uniklinik Magdeburg.Benar-benar sebuah kebetulan yang luar biasa. Dari rekan saya ini saya bisamendapatkan kesempatan untuk mendapat lowongan di Uniklinik Magdeburg. Di sini saya ingin menekankan kembalibetapa besar peran niat dan tekad. Saya pribadi percaya jikakita memang sudah membulatkan tekad, pasti akan ada jalan. Jika saya bertukar ceritadengan beberapa teman sesama AA dari Indonesia, banyak cerita-cerita menarik yangsaya peroleh mengenai bagaimana mereka bisa mendapat jalan untuk bekerja diJerman. Oleh karenaitu, jangan khawatir tentang bagaimana Anda bisa mencapai Jerman, tapipersiapkanlah diri Anda dengan matang. Peluangtersebut akan muncul dengan sendirinya.

4.      Persiapan dokumen dan kelengkapan lainnya

Karena Magdeburg secara geografis adalah bagian dari negara bagian Sachsen-Anhalt, maka setelah berkontak via E-mail dengan bagian kepegawaian, saya diminta untuk mengurus pembuatan Berufserlaubnis (SIP sementara) di Landesprüfungsamt (LPA).[2]Untuk pengurusan Berufserlaubnis ini saya diminta untuk menyerahkan berbagai dokumen (ijazah, akte lahir, dsbnya) yang harus diterjemahkan dalam bahasa Jerman oleh penerjemah tersumpah dan bukti bahwa saya sudah mendapatkan lowongan pekerjaan di Jerman. Berdasarkan info yang saya peroleh, akte lahir dan ijazah harus dilegalisir oleh kementerian hukum dan kementerian luar negeri. Hal ini diperlukan jika anda ingin mendapatkan legalisir dokumen ybs dari kedutaan Jerman. Proses pengurusan ini sangat transparan dan tidak memerlukan calo sama sekali. Saya mendapatkan sedikit kesulitan dalam proses legalisir dan pengiriman salinan dokumen, karena LPA meminta semua salinan dokumen yang dikirimkan harus dilegalisir oleh kedutaan besar Jerman/notaris. Sementara menurut info dari kedutaan mereka tidak dapat melegalisir semua dokumen. Alternatif lain adalah menunjukkan dokumen tersebut langsung di LPA. Alhasil saya terbang ekstra ke Jerman hanya untuk menunjukkan dokumen asli. Kebetulan karena saya belum sempat Vorstellungsgespräch dengan Chefarzt saya, maka saya menawarkan diri untuk wawancara. Keseluruhan proses mulai dari komunikasi, legalisir dokumen, penerjemahan dokumen sampai saya mendapatkan Berufserlaubnis berlangsung selama 6 bulan. Jika semua sudah dipersiapkan dengan baik, tentu akan lebih cepat. Jika Anda berada di Jerman, mungkin keseluruhan proses hanya memakan waktu 2 bulan. Setelah saya mendapatkan Beruferlaubnis, saya melanjutkan ke pengajuan visa di kedutaan besar Jerman. Untuk pengajuan visa, saya harus mencari tempat tinggal dan menunjukkan kontrak tempat tinggal sementara ke kedutaan. Proses ini berlangsung cukup cepat hanya sekitar 3 minggu dan pada akhir September 2012 saya berangkat ke Jerman.[3]

5.     Proses adaptasi dengan sistem PPDS di Jerman

Pada tahap awal saya mendapatkan Halbestelle (kontrak kerja dengan waktu kerja 50% dari waktu kerja normal/kerja paruh waktu). Sebelum memulai pekerjaan saya harus mendaftarkan diri di Burger Büro (kantor pelayanan kependudukan) kemudian saya harus mendapatkan NPWP di Finanzamt, terdaftar di asuransi kesehatan milik pemerintah (gesetzliche Krankenversicherung) dan dana pensiun (Renteversicherung). Pajak, premi asuransi dan dana pensiun akan dipotong langsung dari gaji saya setiap bulan. Dalam semua proses ini saya sangat dibantu oleh bagian kepegawaian di klinik. Jadi sekali lagi, jangan khawatir, kita pasti akan dibantu. Setelah semua dokumen terpenuhi, saya mulai bekerja. Pada awalnya saya diminta untuk mempelajari bagaimana sistem bekerja mereka dan diminta untuk mengikuti kolega yang lebih berpengalaman. Selama saya bekerja paruh waktu, saya diberi kesempatan untuk belajar melakukan anamnesis dalam bahasa Jerman, menulis Entlassungsbrief (surat ringkasan perawatan pasien selama di RS untuk Hausarzt), dsbnya. Karena saya hanya bekerja setengah hari, siang-sore hari saya manfaatkan untuk memantapkan bahasa jerman saya dengan mengikuti kursus bahasa. Tuntutan kerja di dunia kesehatan memang selalu tinggi, dan di Jerman tuntutan untuk bekerja dengan lege artis,hygienis dan evidence-based juga sangat tinggi. Kesulitan terbesar saya adalah bekerja dan berpikir dalam bahasa jerman, karena saya masih terbiasa untuk berpikir dalam bahasa indonesia dan kemudian menerjemahkan ke dalam bahasa jerman, sementara kita harus bekerja dengan cepat. Namun, saya terus mendapat dukungan dari rekan-rekan kerja dan perawat sehingga dalam 6 bulan saya mulai terbiasa dengan ritme kerja mereka. Setelah saya bekerja full-time, saya mulai bekerja sebagai Stationsarzt, kemudian saya mulai jaga malam. Jumlah jaga saya 3-4 kali/bulan, dan setelah jaga malam, saya mendapatkan Dienstfrei (hari bebas kerja). Perbedaan dengan PPDS di Indonesia, saya bertanggung jawab sendiri untuk seluruh pasiendi bangsal danintermediate care/CCU dan tidak memiliki tim jaga.

6.     Ujian penyetaraan dan pengakuan sebagai dokter di Jerman

Hampirsemua negara bagian di Jerman saat ini telah menjalankan peraturan baru.[4] Sejak tahun 2012 semua dokter lulusan negara ketiga akan mendapatkan Berufserlaubnisselama kurun waktu tertentu (6 bulan-2 tahun). Sebelum masa berlaku Berufserlaubnis kita habis, kita wajib untuk mengajukan diri untuk mengikuti ujian penyetaraan (Gleichwertigkeitsprüfung). Ujian ini saat ini terdiri atas ujian pasien (presentasi pasien dan diskusi kasus berorientasi pasien) dan sesi tanya jawab yang meliputi kasus-kasus yang sering ditemui/wajib diketahui dokter (penyakit dalam dan bedah). Saya menjalani ujian ini pada bulan Agustus 2014. Kesan saya ujian ini seperti ujian pasien pada saat koas. Pertanyaannya berorientasi pada kompetensi dokter umum dan penguji juga menanyakan hal-hal yang seharusnya kita ketahui sebagai dokter umum. Setelah lulus ujian penyetaraan, kita dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh SIP/Approbation als Arzt. Dengan Approbation ini kita sudah dianggap setara dengan dokter lulusan Jerman dan bebas bekerja di negara bagian manapundi Jerman.

7.     Hal-hal lain

Selainmasalah medis, banyak hal-hal baru yang saya pelajari selama saya di Jerman. Saya belajar bagaimana hidup sendiri, mengurus kesehatan sendiri, membagi waktu antara pekerjaan, pengembangan diri/belajar dan pekerjaan di rumah dan belajar menjadi minoritas. Semua itu tidak mudah karena seringkali saya pulang ke rumah dengan keadaansuper lelah setelah seharian bekerja dan masih banyak hal yang harus dibereskan di rumah. Banyak hal-hal kecil yang membuat kita semakin menghargai rumah/tanah air, seperti betapa mudahnya mendapatkan sayuran diIndonesia, keberadaan teman-teman, bioskop dan mall yang serba ada, starbucks, dll. Semakin kecil kota yang kita tinggali, maka semakin besar kemungkinan di kota tersebut tidak ada toko yang menjual bahan-bahan kebutuhan dari asia. Semua itu menuntut fleksibilitas dan pengorbanan dan untuk beberapa orang mungkin perlu menjadi bahan pertimbangan. Pada awalnya saya cukup kesulitan untuk mengerti pembicaraan lebih dari dua arah, kesulitan untuk mengerti humor orang Jerman dan saya yakin rekan-rekan kerja saya juga kesulitan untuk mengerti saya, apalagi kebetulan saya termasuk orang yang introvert. Untuk saya, waktulah yang menjadi jawaban. Seiiring dengan berjalannya waktu, saya semakin diterima dan perlahan menjadi bagian dari keluarga besar di klinik saya. Hal yang saya pelajari adalah jadilah pribadi yang lebih terbuka dan jangan merasa minder/rendah diri karena berada di negeri orang. Kita memiliki hak yang sama dengan mereka.

Demikianlah sedikit pengalaman saya selama dua tahun menjadi AA di Jerman. Mudah-mudahan bisa memberikan gambaran bagi rekan-rekan yang ingin melanjutkan pendidikan spesialis di Jerman.

Salam sejahtera.

[1]Di negara-negara bagian bekas Jerman Barat lulusan negara ketiga (non-Jerman dan non-EU) dapat juga menempuh pendidikan di tahap awal sebagai Gastarzt.

[2] Saya mengurus semua dokumen dari Indonesia, sehingga semua komunikasi dilakukan via E-Mail. Tips: kirimkan E-Mail ke badan pemerintah di pukul 8 pagi/waktu kerja waktu Eropa. Peluang untuk cepat dibalas lebih tinggi.

[3]Menurut saya penting untuk mengurus birokrasi ini sendiri, karena dalam 2 tahun, kita kembali harus mengurus hal yang kurang lebih sama di badan pemerintahan yang sama.

[4]Kecuali Niedersachsen

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun