Contoh misalnya di Indonesia, dari data yang dikumpulkan oleh pemerintah, kelaparan tertinggi terjadi di 2 pulau di timur Indonesia, NTT dan Ambon. Tetapi di tempat lain di Indonesia, tidak terjadi kelaparan yang sama seperti di 2 tempat ini. Maka bisa kita asumsikan, kelebihan makanan itu tidak merata dalam 1 negara, hanya terjadi di beberapa tempat, sedangkan di tempat lainnya mungkin masih kekurangan makanan.
Bicara mengenai jumlah produksi waste food di Indonesia, tahukah Anda, tahun 2019 lalu Indonesia menjadi 'juara 2' dalam hal membuang-buang makanan. Kita hanya kalah dari Arab Saudi dan disusul di peringkat ketiga ada Amerika Serikat. (Menurut data The Economist Intelligence, tahun 2019)
Jika menilik data waste food di Indonesia yang dikumpulkan oleh Bappenas, penduduk Indonesia membuang sekitar 115-184 kg makanan sisa per kapita per tahun sejak rentang tahun 2000 samapi dengan 2019.
Masih menurut data Bappenas ini, mayoritas makanan sisa yang dibuang adalah sayuran. Karena kebiasaan buruk ini, diduga Indonesia telah rugi sebesar Rp213 triliun -- Rp551 triliun per tahunnya. Jika uang sebanyak itu dibelikan makanan, konon sanggup memberi makan sekitar 28 juta penduduk kurang mampu yang saat ini sedang kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya akan makanan.
Menurut KLHK, komposisi penghasil sampah makanan, jika dilihat dari tempat ia berasal adalah sebagai berikut: rumah tangga (48%), pasar tradisional (24%), fasilitas publik (19%), kawasan komersial (9%).
Lantas, kenapa isu ini menjadi perhatian dunia? Ya, karena ternyata dibalik kebiasaan yang kita anggap sepele ini, ada dampak yang sangat luar bisa besar yang akan berpengaruh pada 'kesehatan' dunia.
Seperti yang kita ketahui bersama, isu global warming atau pemanasan global masih menjadi isu yang sangat masif digaungkan oleh pemerintah-pemerintah negara-negara besar dan berkembang selama 10 tahun terakhir ini. Karena sekarang saja sudah bisa kita rasakan dampaknya, nah, apalagi 10 atau 15 tahun lagi?
Lalu apa hubungannya global warming dan waste food? Tahukah Anda, jika makanan-makanan sisa yang Anda buang itu lama kelamaan akan semakin banyak dan menumpuk di tempat pembuangan  sampah akhir. Semakin lama, semakin banyak menumpuk, dan akan membusuk di TPA.
Nah, sampah makanan sisa yang menumpuk, lama kelamaan akan membusuk. Makanan sisa yang membusuk menghasilkan gas metana. Gas metana jika menguap ke udara, jika konsentrasinya di udara semakin lama semakin tinggi, akan mengikis atmosfer bumi. Efek dari atmosfir yang menipis ini adalah ya bumi akan menjadi semakin panas, alias pemanasan global.
Belum lagi bahaya ledakan yang bisa ditimbulkan dari penumpukan gas metana hasil pembusukan waste food di antara gunungan sampah, yang mana ledakannya bisa sangat dahsyat, mengingat yang memicu ledakannya adalah gas metana yang notabene mudah sekali terbakar.
Kasus ledakan di TPA akibat dari penumpukan gas metana dari pembusukan sampah yang paling mengerikan pernah terjadi di TPA Leuwigajah, pada 21 Februari tahun 2005, yang menewaskan 157 orang. Tragedi ini disebut-sebut menjadi insiden ledakan di TPA yang paling parah kedua di dunia, setelah tragedi serupa yang pernah terjadi di TPA Payatas, di Filipina pada 10 juli 2000 yang menewaskan lebih dari 200 orang.