Belum lagi penyalahgunaan wewenang dengan pengerahan aparat untuk melakukan tindak kekerasan pada mahasiswa yang berunjuk rasa, korupsi dan bancakan proyek yang makin ketara. Konflik kepentingan yang makin jelas terasa, tetapi tetap dipaksakan.Â
Sekalinya ada berita baik malah nampak sekali settingannya. Pencitraan sana sini. Berlagak menjadi orang paling mulia, paling sopan, dan paling merakyat.Â
Bapak-bapak dan ibu-ibu politisi sekalian, mohon maaf, pemilu itu adalah arena untuk adu gagaran, visi dan misi, bukan berlomba-lomba jadi orang baik, jadi orang sopan.Â
Biarkan kami menjadi pemilih-pemilih yang cerdas yang memilihmu dari hasil kerja nyatamu, bukan dari seberapa banyak sembako dan pelukan serta cium tangan yang kalian akan berikan.
Sialnya, masih banyak sekali pemilih-pemilih yang mabuk sopan santu, mabuk agama, dan kurang teredukasi secara politik sehingga termakan dengan politik-politik sopan santun macam itu.Â
Dan sialnya lagi, justru mereka-mereka yang 'dangkal' ini yang sangat berisik, sehingga yang mengerti dan memiliki pandangan dan gagasan lebih baik kalah nyaring suaranya dengan mereka.Â
Mau sampai kapan kita dengar partai politik menyuapi kita dengan caleg-caleg yang asal terkenal, asal dikenal, tidak peduli track record. Yang penting masyarakat suka, maju. Mau sampai kapan kita memilih seseorang karena terkenal dan bukan berdasarkan meritokrasi?
Ayolah, pak, bu. Jujurlah pada kami, pemilih-pemilih muda ini, apa sebenarnya arti kami ini di matamu? Apakah kami ini hanya sekedar angka yang akan kalian otak atik sedemikian rupa hingga memenangkan ego kalian untuk berkuasa, atau kami ini juga bagian dari rakyat yang patut didengar suaranya setelah di luar bilik suara?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H