Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Sedikit bicara, banyak menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pemilu 2024 (katanya) Pemilunya Anak Muda

25 Oktober 2023   21:23 Diperbarui: 25 Oktober 2023   21:27 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai catatan, jumlah masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dari pemilu tahun 2019 lalu ada sekitar 34,7 juta suara, atau sekitar 18 persen dari total DPT saat itu yang mencapai jumlah 192,77 juta orang. 

Pada tahun 2019 sudah banyak pemilih-pemilih muda yang menjadi pemilih pada saat itu dan diperkirakan dari 34 juta orang yang golput tersebut jumlah pemilih muda yang golput cukup signifikan saat itu. 

Apa penyebabnya? Ya apatisme mereka terhadap politik yang kebanyakan dikuasai oleh politisi-politisi 'berumur' yang menurut mereka tidak bisa atau belum bisa mewakilkan harapan-harapan dan ekspektasi mereka selama ini. Hingga akhirnya beberapa yang ekstrim menunjukkan kekecewaannya dengan golput. Lantas apa KPU selaku perwakilan pemerintah dan  penyelenggara pemilu diam-diam saja melihat kenyataan ini?

Sebagai salah satu pemilih yang masih masuk kategori milenial, sikap-sikap apatisme seperti itu rasa-rasanya dapat saya pahami darimana asal mulanya. 

Tentu sebagai anak muda yang melek teknologi, saya selalu menggunakan sosial media sebagai sumber informasi alternatif (setelah TV yang juga semakin jarang saya tonton karena kurang berimbang menurut saya) dalam mencari tahu info dan perkembangan mengenai perpolitikan di Indonesia saat ini. 

Di sosial media, saya melihat politisi-politisi sekarang ini, terutama yang sudah tidak lagi bisa dikatakan muda, masih mencoba untuk relevan dengan zaman. Mungkin itu salah satu usaha mereka untuk mendekatkan diri kepada anak-anak muda juga. 

Seringkali mereka meluapkan emosinya, gagasannya, pendapatnya ke sosial media. Ini saya apresiasi. Usaha mereka untuk tetap relevan sangat saya hargai. 

Tetapi yang mungkin lupa mereka pelajari adalah kenyataan bahwa dunia sosial media itu sangat kejam. Tak ubahnya sebuah hutan belantara yang di dalamnya ada banyak hewan buasa yang siap menerkam jika kita lengah. 

Statement-statement inkonsistensi yang sering mereka tunjukkan, rasisme terselubung lewat permainan kata-kata, bahkan hate speech pun mereka lempar semuanya di sana, seolah mereka lupa kalau anak-anak muda ini sedang memantau pergerakan Anda sekalian dari sosial media. 

Belum lagi soal perkara-perkara yang berujung penjara hanya karena aktivitas di sosial media dengan penggunaan pasal-pasal karetnya. Sekalinya mereka mengerakanmassa di sosial media, yang dikerahkan malah buzzer-buzzer yang seringkali terkesan berani dan dengan kasar menyerang personal dan doxing sana sini. 

Memang, di samping itu ada indikasi banyaknya hoax  dan disinformasi, tetapi bukankah itu juga adalah ulah-ulah buzzer yang mereka ciptakan sendiri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun