Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

8 Alasan Mengapa Netizen Menjadi Julid

4 Januari 2023   23:24 Diperbarui: 5 Januari 2023   10:17 1548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anger dari freestocks.org (pexels.com)

Dunia digital adalah dunia euforis. Dunia di mana kita bisa jadi apa saja dan siapa saja. Menjadi sebuah akun dengan sifat dan perilaku yang begitu sempurna. Atau menjadi akun yang berkebalikan dari dunia nyata. Jadi telur saja bisa mendapat jutaan followers di Instagram.

Kebebasan ini memang menjadi daya tarik tersendiri dunia digital. Namun banyak yang memaknai kebebasan ini secara serampangan. Tak jarang merugikan orang lain. Mulai dari menyebarkan hoaks, meretas, doxing, sampai dengan mencaci maki di kolom komentar. Di berbagai platform medsos misalnya, fenomena sering ditemukan.

Mengapa begitu banyak netizen kini, yang galak-galak? Sedikit-sedikit ngegas kalau di kolom komentar. Tak jarang dari kolom komentar bisa berakhir adu pukul seperti kasus Jefri Nichol. Dari pengamatan saya pribadi, setidaknya ada 8 alasan atau faktor netizen bisa dan jadi julid di medsos.

Pertama, konsep dislokasi. 

Dislokasi adalah konsep di mana ada jarak atau proximity antar pengguna. User medsos tentu memiliki perbedaan jarak, waktu, dan bahasa. 

Didorong dislokasi, netizen pun merasa 'aman' jika mencaci maki seseorang. Jika ia berkomentar kasar, si empunya posting tidak bisa memukulnya. Apalagi kalau tahu akun yang digunakan adalah akun kedua atau palsu.

Kedua, sifat anonimitas. 

Faktor kedua ini juga menjadi pendorong konsep dislokasi. Merasa menjadi akun yang bukan diri aslinya, seseorang menjadi punya 'kekuatan'. Bak memakai topeng, seseorang pun bebas melakukan apa saja, termasuk mencaci-maki. Kadang tak cuma satu akun topeng dimiliki. User bisa memiliki puluhan sampai ratusan akun.

Ketiga, faktor ikut-ikutan. 

Nuansa psikologi massa memang tercermin di medsos. Jika beberapa akun mengeroyok akun yang dicap salah. Netizen lain pun ikut 'menggebuki'. Mulai dari berkomentar kasar, posting cyberbully, doxing, sampai menyerang keluarga atau tempat kerja. Panjang lebar fenomena digital lynching saya jelaskan di sini.

Keempat, faktor cari sensasi. 

Bukan saja postingan yang ditujukan mencari sensasi. Tak jarang komentar yang agak kasar bisa juga mendapat social gesture atau reward semu seperti like, heart, atau retweet. 

Komentar kasar yang mendapat banyak perhatian tentu mendatangkan sensasi tertentu. Maka, kenapa tidak lain waktu berkomentar kasar juga pada postingan orang.

Kelima, faktor kebosanan. 

Media digital jelas berisi hiburan dan media interaksi dan komunikasi. Kadang juga menjadi media mengikis kebosanan dari dunia nyata. Saking bosannya scroll tanpa henti, berkomentar kasar kadang menghapus rasa bosan. Sehingga menjadi cara untuk mencari sensasi, seperti faktor di atas. Siklus pun terjadi.

Keenam, faktor banyak kuota. 

Kuota internet kini seolah sudah menjadi kebutuhan primer. Tidak online mengindikasikan kita akan tertinggal banyak hal. Mulai dari informasi viral, diskon belanja, kabar teman, sampai urusan kerja atau bisnis. 

Saking banyaknya kuota atau akses WiFi berlimpah, berkomentar sana-sini pun terjadi. Satu atau dua kali pun berkomentar nyerempet amarah orang lain.

Ketujuh, faktor katarsis dari dunia nyata. 

Amarah, keluh kesah, dan rasa jengah kadang sulit diungkap di dunia nyata. Karena akan ada konsekuensi langsung. Medsos atau dunia maya secara umum, sering menjadi media katarsis. 

Sengaja berkomentar kasar ke akun yang dikenal atau tak disukai dengan akun kedua menjadi 'pelepasan' emosi sesaat. Tak jarang akun random pun disasar komentar kasar.

Kedelapan, faktor cancel culture. 

Cancel culture menjadi aktivitas untuk meng-cancel tokoh, produk, dan gerakan via media sosial. Kultur ini menjadi kian subur seiring dunia digital tidak mengenal batas. Korban cancel culture bukan hanya dapat cemoohan via komentar, tapi bisa mematikan bisnis, reputasi dan jejak digital baik.

Dan jelas, berkomentar kasar di kolom komentar tidak ada tujuan berdiskusi. Jikapun berdebat, yang terjadi adalah model ad hominem. Pelaku komentar kasar pun kadang tidak ingin menang atau kalah. Mereka hanya ingin melakukan sealioning.

Batas-batas dunia nyata dan maya kian tipis. Setipis rambut dibelah tujuh, mungkin. Saking tipisnya, tak jarang peranan akun julid seseorang malah menjangkit ke dunia nyata. Medsos pun dianggap telah menjadi toxic. Semoga kita bisa tetap waras di medsos.

Salam,

Wonogiri, 04 Januari 2023

23:23 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun