Keempat, faktor cari sensasi.Â
Bukan saja postingan yang ditujukan mencari sensasi. Tak jarang komentar yang agak kasar bisa juga mendapat social gesture atau reward semu seperti like, heart, atau retweet.Â
Komentar kasar yang mendapat banyak perhatian tentu mendatangkan sensasi tertentu. Maka, kenapa tidak lain waktu berkomentar kasar juga pada postingan orang.
Kelima, faktor kebosanan.Â
Media digital jelas berisi hiburan dan media interaksi dan komunikasi. Kadang juga menjadi media mengikis kebosanan dari dunia nyata. Saking bosannya scroll tanpa henti, berkomentar kasar kadang menghapus rasa bosan. Sehingga menjadi cara untuk mencari sensasi, seperti faktor di atas. Siklus pun terjadi.
Keenam, faktor banyak kuota.Â
Kuota internet kini seolah sudah menjadi kebutuhan primer. Tidak online mengindikasikan kita akan tertinggal banyak hal. Mulai dari informasi viral, diskon belanja, kabar teman, sampai urusan kerja atau bisnis.Â
Saking banyaknya kuota atau akses WiFi berlimpah, berkomentar sana-sini pun terjadi. Satu atau dua kali pun berkomentar nyerempet amarah orang lain.
Ketujuh, faktor katarsis dari dunia nyata.Â
Amarah, keluh kesah, dan rasa jengah kadang sulit diungkap di dunia nyata. Karena akan ada konsekuensi langsung. Medsos atau dunia maya secara umum, sering menjadi media katarsis.Â
Sengaja berkomentar kasar ke akun yang dikenal atau tak disukai dengan akun kedua menjadi 'pelepasan' emosi sesaat. Tak jarang akun random pun disasar komentar kasar.