Kasus pelanggaran HAM di Mapendum (1996), Biak Numfor (1998) dan Paniai (2014) menjadi isu pelik pemerintah di Papua. Walau kasus penyerangan Mapolsek Abe (2000), dan penanganan kerusuhan di Universitas Cendrawasih (2006) sudah usai. Walau bukan penyebab utama, tersulut separatisme yang sudah 7 kali diupayakan OPM dengan mengibarkan bendera.
Akibatnya, memukul rata etnis Papua sebagai separatis menjadi stigma implisit di masyarakat. Pada tahun 2016, mahasiswa asal Papua mengalami diskriminasi untuk tinggal di kos sekitaran Yogyakarta. Sampai sebutan monyet pada mahasiswa Papua yang lalu digeruduk massa dengan dugaan tidak mengibarkan bendera Merah Putih terjadi di Malang.
Walau sudah ada riset mengenai peringkat kota intoleran di Indonesia. Dengan Jakarta sebagai kota paling intoleran. Riset spesifik demografi rasisme di Indonesia sejauh ini belum saya temui. Walau kasus rasisme berbasis etnis Tionghoa dan diskriminasi orang Papua di Jakarta sudah dan sering terjadi. Â
Linimasa sosial media publik setidaknya sempat teracuni isu rasial. Apalagi saat ada isu-isu sensitif terjadi. Seperti kasus dugaan pelecehan agama oleh Meliana yang kebetulan beretnis Tionghoa di Medan tahun lalu. Dan yang menjadi trending topic tahun 2017 adalah sentimen ke-Tionghoa-an Ahok saat diduga melecehkan agama mayoritas.
Bisa jadi ujaran kebencian berdasar rasisme di linimasa publik dianggap troll. Bukan troll yang serius dan frontal seperti neo-Nazi di negeri-negeri Barat. Namun troll yang pada akhirnya menjaga dan menginsinuasi kebencian etnis tertentu via dunia digital.
Tindakan represif dengan menangkap pelaku penyebar rasisme daring sering dilakukan. Sedang edukasi dan tindakan preventif akan isu sensitif ini urung dibahas di bangku sekolah dan akademis.Â
Pembiaran dan pelupaan rasisme di dunia online berbasis etnis yang tumbuh subur. Slentingan menyinggung ke-Cina-an dan warna hitam kulit menjadi canda beracun di linimasa.
Melenyapkan rasisme etnis di linimasa publik sulit. Bahkan di banyak negara maju. Internet, dan platform medsos secara spesifik, kadang terbentur pada kepentingan kebebasan berekspresi. Walau pada realitasnya, free speech yang terjadi adalah superioritas mayoritas diatas minoritas.Â
Apa yang dianggap norma (mayoritas) di dunia nyata, harus tak jauh berbeda di dunia maya. Nilai, perilaku, kepatuhan, dan hukuman tidak harus merugikan mayoritas yang superior. Dengan kekuatan dan peraturan mayoritas ini teramplifikasi secara superficial di dunia maya.
Konsep inklandestin manusia sebagai mahluk kedua terbaik setelah malaikat. Tertanam ke dalam mindset baik dicontohkan publik, orang sekitar, sampai orang terdekat. Baik dengan tindakan, ucapan, sampai postingan, rasisme urung binasa. Sedang linimasa publik pun kini kian tercemar dengan konten derogatori. Â
Salam,
Wonogiri, 20 Agustus 2019
08:47 pm